Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Panel-Panel Yang Kehilangan Identitas

29 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rasanya belum jauh masa itu, sebuah masa ketika kita bisa mengenali seorang komikus dari karyanya. R.A. Kosasih, Taguan Hardjo, Ganes T.H., Jan Mintaraga, dan Djair memiliki ciri individual yang kuat yang tampak dalam goresan garis, angle gambar, plot, dan pengadeganan. Beberapa komikus lain punya ciri kuat dalam tema cerita dan cara bertutur.

Di era 1990-an, kita punya Mice dan Benny Rachmadi (seri Lagak Jakarta), Ahmad Faisal Ismail dan kelompok Kiri Komik (pemenang terkerap sayembara komik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan komikus seri 1001 Malam Mizan), studio Dwianto Setiawan (produk paling populernya: Dulken), dan sekian studio komik "independen" di Yogya-Bandung-Jakarta. Tentu saja beberapa komikus senior Indonesia masih aktif, misalnya Hans Jaladara, Jan Mintaraga, Man, Teguh Santosa, dan Wid N.S. Bahkan ada beberapa empu mutakhir yang terhitung sudah senior seperti Dwi Koen, Libra, Jitet, dan Ramli Badrudin yang lebih suka berkiprah di mancanegara.

Dari barisan muda, Mice dan Benny terhitung paling menonjol. Benny berhasil menemukan humor sekaligus warna Indonesia dalam detail: perkakas tukang bajaj, stiker "gadis jujur", dan plang dukun impotensi di pohon jalan. Sedangkan Mice, di samping memiliki kelebihan dalam detail, luar biasa ekspresif dalam anatomi para tokohnya. Mereka terlihat serba menyimpang, ekstrem, dan karena itu menjadi dinamis—berhasil membetot perhatian pembaca.

Tapi yang fenomenal dari kedua komikus ini adalah keberhasilannya dalam menaklukkan pasar. Mereka ditemukan oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), bersedia bekerja dalam sebuah desain produksi yang ketat dan amat berorientasi pasar, tapi tak kehilangan identitas karya. Mereka menemukan sukses.

Sementara itu, ada barisan yang lebih besar, yakni sekumpulan studio "independen" yang berisi komikus-komikus muda penuh semangat dan harus sungsai menyusuri pasar. Problem terbesar yang mereka hadapi adalah sebuah masalah yang telah menjadi penyakit tahunan dalam dunia komik (serta film dan musik) Indonesia: peniruan.

Contohnya, saat komik Jepang tengah digemari, karya mereka menjelma menjadi "Jepang", yang memiliki ciri mata bulat, bentuk panel, dengan ekspresi cartoony (jika kaget, panik, atau marah). Sebagian komikus lain lebih suka meniru genre superhero Amerika, khususnya yang dikembangkan oleh Image Comic (dan pemukanya Spawn), yang memiliki ciri penonjolan otot, aksi—terkadang memakan satu halaman penuh—dan warna-warna yang diolah komputer. Ada juga yang lebih suka meniru produk-produk indie comic di Amerika dan Australia—khususnya genre satire dan avant-garde.

Sejak awal, komik modern Indonesia gemar meniru. Sri Asih, serial pertama R.A. Kosasih (terbit tahun 1954), juga merupakan sebuah tiruan superhero Amerika. Tapi, setidaknya, di tangan Kosasih, sang wonder woman diberi kebaya. Sementara itu, tokoh-tokoh Godam, Gundala, Maza, dan Aquanus dibuat dengan gaya dagelan khas Jawa oleh Hasymi. Fiksi sains, pahlawan super, diberi wajah dan konteks kampung.

Sedangkan kini sebaliknya yang terjadi. Seorang komikus Bandung menggambar Gatot Kaca dengan gaya meniru Rob Liefeld (pendiri Image): kekar ala binaragawan Ade Rai dan serba garang dengan garis-garis yang tajam. Godam, Gundala, Maza, dan Aquanus mengalami transformasi serupa yang dilakukan oleh Qomik Nasional.

Para komikus muda di dalam kelompok Qomik Nasional punya perkakas bahasa komik yang lebih lengkap ketimbang para komikus senior. Mereka memiliki literatur dan referensi Understanding Comics karya Scott McLoud (seperti tampak dalam sebuah buletin dari Studio Ajaib Bandung) atau mengoleksi komik impor sehingga acuan mereka menjadi luas. Sebagian dari komikus itu memiliki alat gambar yang lengkap dan piawai menggunakan komputer. Bandingkan dengan komikus 1970-an, yang—tentu saja karena masa yang masih sederhana—bermodalkan pensil, pena, dan tinta Cina.

Tapi kesenian komik bukan sekadar permalahan "alat gambar yang tepat", "cara menggambar yang pas", atau "acuan yang benar". Keberhasilannya bergantung pada seberapa optimal sang komikus bisa menggambarkan hal-hal yang gaib seperti waktu, bau, emosi, gerak, suasana, dan ide melalui garis dan warna di atas kertas. Lalu, dengan itu, ia menyusun sekuens (sebuah teknik yang, menurut McLoud, menjajarkan gambar dan imaji lainnya, termasuk kata, secara sengaja) demi sebuah "cerita".

Dalam menghadapi tantangan ini, seorang komikus harus bergelut dengan masalah kreatif secara terus-menerus. Jawaban yang dituangkan dalam kertas itu akan menentukan identitas dan gayanya. Ini karena setiap komikus, sebagaimana setiap seniman, menghadapi persoalan yang berbeda, secara berbeda, dan memberikan jawaban yang berbeda-beda.

Identitas hadir dalam tanda: dalam "gaya" sebuah karya. Gaya pribadi adalah tanda dari sebuah pergulatan kreatif. Sebaliknya, jika identitas itu raib, yang terjadi adalah sebuah kekalahan kreatif. Gampangnya: komik mestinya bukan karya kesenian "gampangan". Ia bukan sekadar menggambar, menyusun dalam panel-panel, dan memberikan kata-kata. Komik adalah ekspresi, pernyataan, dan seni. Komik adalah medium. Dan "medium adalah pesan" (Marshal McLuhan).

Harap ingat, di balik kebesaran Tintin (Herge), Donal Bebek (Carl Barks), Garfield (Jim Davis), Akira (Katsuhiro Otomo), Spiderman (Lee-Kirby), dan Arzach (Moebius), ada serangkaian kerja keras penciptaan. Kerja keras yang mencakup teknik, keterampilan, riset, jam terbang, perenungan, bahkan filosofi. Kerja keras inilah yang, meminjam ungkapan kreativitas Danarto, bernama: proses, proses, proses, proses, proses, proses, proses....

Hikmat Darmawan (pengamat komik)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus