Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESUNGGUHNYA dia berparas manis, berambut ikal, dan berotak cerdas. Namun di tengah pergaulan Tokyo yang gaduh itu Usagi memilih untuk diam di pojok karena malu dengan fantasinya tentang teman lelakinya. Satu-satunya teman Usagi berbagi duka adalah seekor kucing bernama Luna. Namun, pada saat darurat, misalnya ketika teman-temannya dihipnotis oleh seorang penipu, Usagi tinggal mengucapkan mantra, gadis itu berubah secara fisik. Rok biru yang panjang mengkeret menjadi rok mini, sepatu sekolah itu mendadak tumbuh menjadi sepatu lars panjang berwarna merah, dan blus seragam sekolah yang dikenakan sehari-hari menjelma menjadi blus pelaut dengan pita merah yang besar. Si gadis pemalu dan cengeng usia 14 tahun bernama Usagi itu telah berubah menjadi Sailor Moon, pahlawan pembela kebenaran.
Sailor Moon, Wedding Peach, Candy-Candy, Kung Fu Boy, dan Dragon Ball adalah kosakata anak-anak masa kini. Mereka tampil dalam buku komik berukuran 17x11, luks, dan berwarna cerah dengan harga Rp 6.000 untuk setiap eksemplar. Komik yang sebetulnya relatif mahal itu duduk bertumpuk di setiap pojok toko bukuyang kemudian disebut sebagai pojok komik impor Jepang. Inilah "pahlawan" terbaru anak-anak kota besar di Jakarta, setelah pada 1980-an Indonesia diserbu komik impor Eropa macam Tintin karya Herge, Asterix karya Rene Gosciny, dan Albert Uderzo serta Smurf karya Peyo. Lalu, bagaimana dengan Sri Asih, Siti Gahara, dan Sri Dewi? Sori. Siapa sih itu? Perempuan superhero pembela kebenaran ciptaan komikus R.A. Kosasih itu sudah lama terbenam di bawah rok mini pendekar Sailor Moon. Kisah hidup tragis Panji Tengkorak yang tertatih-tatih menyeret peti mati berisi jenazah istrinya itu kini juga sudah tak terlalu dikenal anak-anak masa kini. Kung Fu Boy dan Dragon Ball adalah pahlawan baru ciptaan komikus Jepang. Naoko Takeuchi (Sailor Moon), Takeshi Maekawa (Kung Fu Boy), Fujiko F. Fujio (Doraemon) menjadi komikus ternama bagi penikmat komik masa kini. Bayangkan saja, serial Sailor Moon sudah mencapai edisi ke-44, Kung Fu Boy sudah melejit hingga edisi ke-39, dan Doraemonyang bersama Sailor Moon populer, antara lain karena serial kartunnya juga diputar di televisi swastasudah mencapai edisi ke-62. Menurut Retno Kristi, Wakil Pemimpin Redaksi Pt Elex Media Komputindo, sejak 1990 penerbitnya sudah menerbitkan lebih dari 2.000 judul komik Jepang terjemahan, dan rata-rata komik ini laris manismeski Retno tidak bersedia menyebutkan penjualan komik itu.
Yang jelas, secara kasatmata sudah terlihat, pojok komik Jepang di Toko Buku Gramedia, misalnya, pasti akan lebih penuh dikerumuni anak-anak remaja, dibandingkan dengan rak buku komik Indonesia.
Padahal, sebetulnya, seperti yang dikatakan penulis Arswendo Atmowiloto, komik impor Jepang itu tidak istimewa. Tidak seperti serial Tintin ciptaan Herge yang lebih menembus batas usia dan benua, komik impro Jepang yang diterbitkan oleh PT Elex Media Komputindo itu memiliki pembaca yang sangat tersegmentasi, yakni remaja sekolah SD dan SMP.
Ini sebuah kenyataan yang pahit. Komik Indonesia (dengan wajah Indonesia) memang sudah lama hilang pamornya. Kartunis Dwi Koendoro menyebutkan periode 1990-an sebagai tahun-tahun stagnan bagi komik Indonesia. Padahal, pada 1960-an dan periode 1970-an komik Indonesia mampu mendominasi dan memengaruhi kehidupan pembacanya.
Pengamat komik Marcell Bonneff menguraikan, sejarah komik di Indonesia bisa ditelusuri sejak surat kabar Sin Po sering memuat comic strip secara berseri. Namun pada awal 1950-anlah sebetulnya kehidupan komik sebagai buku serial mulai semarak. Adalah komikus R.A. Kosasih yang memperkenalkan sosok Sri Asih, seorang superhero perempuan. Ia mengaku tokoh Sri Asih tercipta karena terpengaruh komik Wonder Woman. Bedanya, superhero Indonesia versi Kosasih tentu saja mengenakan baju ala Sunda. Setelah itu, Kosasih menciptakan sosok Siti Gahara dan Sri Dewi. Namun, adalah Mahabharata dan Ramayana yang kemudian mengubah hidup Kosasih maupun pembacanya (baca: Mereka, Para Pencipta). Serial komik yang dimulai dengan kisah Leluhur Pandawa dan kisah Pandawa dan Kurawa itu kemudian menjadi kosakata para pembacanya tanpa batas usia. Sebetulnya, secara artistik lukisan Kosasih masih kalah detail dibandingkan dengan, katakanlah, Ardisoma yang saat itu juga dikenal sebagai komikus wayang. Namun cerita panjang keturunan Bharata itu dikisahkan dengan menarik, lancar, mudah dicerna, tanpa menghilangkan kedalaman filsafat Mahabharata. Dalam memvisualkan episode Bhagawat Gita, misalnya, Kosasih memilih bagian filsafat yang tepat untuk diketengahkan dalam gambar sehingga dialog antara Kresna dan Arjunayang aslinya sepanjang 18 babmampu menjadi "sastra dalam gambar".
Serial Mahabharata, Bharatayudha, Pandawa Seda, dan Parikesit yang diterbitkan oleh PT Melodi ini menurut Marcell Bonneff telah berhasil membendung arus komik asing di Indonesia. Sayang, tidak ada catatan penjualan serial komik wayang ini secara rinci. "Seingat saya, paling tidak satu bulan bisa terjual 30.000 eksemplar untuk satu buku. Saya cuma ingat, setiap minggu selalu habis dan dicetak lagi," kata Kosasih (TEMPO edisi 21 Desember 1991).
Sukses itu tentu saja tidak hanya dituai oleh R.A. Kosasih sendirian. Pada 1970-an, ada istilah the big five yang dialamatkan pada para komikus yang sukses di pasaran. Mereka adalah Hans Jaladara, Jan Mintaraga, Sim, Zaldy, dan Ganes T.H. Menurut sastrawan dan pengamat komik Seno Gumira Ajidarma, para komikus di zaman ini memiliki identitas yang jelas dibandingkan dengan komikus Indonesia angkatan baru pada 1990-an. Seno memuji Panji Tengkorak karya Hans Jaladara sebagai karya yang puitis dan memiliki kemampuan narasi yang luar biasa. "Dampaknya mengharukan," tutur Seno yang kemudian terinspirasi menulis cerita pendek berdasarkan sosok Panji Tengkorak. "Misalnya, ada adegan dua orang bercaping berjalan di lembah yang sunyi sementara hujan turun. Hujan yang menerpa caping itu terasa seolah menerpa kita, para pembaca," kata Seno dengan nada bersemangat. Jan Mintaraga sebagai komikus roman Jakarta, menurut Seno, adalah komikus yang menangkap semangat zamannya. Sementara itu, Ganes T.H. (Si Buta dari Goa Hantu), di mata Dwi Koendoro, mampu menjelajahi misteri kehidupan, misalnya tentang seseorang yang buta yang bisa melihat. Dia bisa menunjukkan bahwa kreativitas telah menciptakan sesuatu yang berada di luar kehidupan umum. Pendeknya, seperti yang diutarakan Arswendo Atmowiloto, para komikus di zaman itukarena memang mengabdikan diri untuk melukis komiklebih mampu bercerita. Mereka mampu menjadi narator yang mengikat pembaca untuk terus-menerus setia mengikuti perkembangan kisah berikutnya. Sebagian besar karya dari "The Big Five" ini malah sudah difilmkan, sehingga untuk ukuran zamannya para komikus ini cukup makmur (baca: "Mereka, Para Pencipta).
Namun, tibalah hari nahas itu. Tintin, Asterix, dan rekan-rekannya dari Eropa datang menggedor urat saraf histeria pembaca komik. Di samping para penikmat komik mendapat suatu pengalaman yang baru, yang asing dan asyik, penerbit juga tampaknya merasa lebih mudah menerjemahkan komik asing daripada mengangkat komik karya Indonesia.
Menurut Dwi Koendoro, untuk memproduksi komik terjemahan, penerbit Indonesia cukup membeli plat halaman komik itu dari luar negeri, kemudian mereka hanya tinggal menerjemahkan teks dan mencetak saja. Namun, Wakil Pemimpin Redaksi PT Elex, Retno Kristi, menyatakan bahwa ongkos produksi untuk penerbitan komik impor dan komik Indonesia sebetulnya sama saja. "Prosesnya memakan waktu yang sama, satu bulan. Untuk komik impor Jepang, proses penghapusan huruf kanji akan memakan waktu yang lama, sementara pembuatan komik Indonesia biasanya akan memakan waktu pada saat pewarnaan," ungkap Retno.
Sukses komik Tintin yang lisensinya dipegang oleh penerbit PT Indira dimulai dari penerbitan Rahasia Pulau Hitam yang dicetak sebanyak 5.000 eksemplar dan dijual seharga Rp 625. Sejak saat itu, karakter wartawan berjambul Tintin dengan anjing Snowy, kapten Haddock yang temperamental, Profesor Calculus yang pikun, menjadi kosakata pembaca komik Indonesia. Penjualan meledak. Menurut Direktur Utama PT Indira, Bambang P. Wahyudi, 10 ribu eksemplar komik Tintin ludes dalam waktu beberapa bulan saja. Pada 1977, PT Indira mencetak 30 ribu eksemplar saat terselenggara pameran IKAPI, "hingga stand kami ambruk dan uang penjualan komik Tintin kami jejalkan saja ke dalam karung," tutur Bambang.
Sementara pamor komik Eropa di Indonesia, dengan masuknya Tintin dan Asterix, bersinar-sinar, komik wayang karya R.A. Kosasih yang kini diterbitkan oleh Maranatha semakin merana.
Salah satu sebabnya tampaknya adalah karena jaringan distribusi dan pemasaran komik lokal tidak sehebat PT Elex Media. Namun yang lebih memprihatinkan adalah karena mutu lukisan komik Kosasih tampak menurun. Itu disebabkan karena untuk penghematan biaya, penerbit Maranatha meminta Kosasih melukis langsung di atas kertas kalkir. "Penerbit akan langsung membuat film berdasarkan kertas itu tanpa harus membuat copy master," tutur Kosasih. Pada masa lalu, ketika buku komik Mahabharata dicetak dalam ukuran kecil oleh PT Melodi, Kosasih melukis di atas kertas yang besar dan penerbit akan membuat filmnya dengan memperkecil gambar tersebut sehingga detail halus lukisan Kosasih terekam dengan baik.
Erlina Marcus dari penerbit Maranatha mengakui bahwa setiap bulan Maranatha hanya sanggup menjual sekitar 100 sampai 150 eksemplar dengan harga Rp 10.000 per jilid.
Persoalan penurunan mutu akibat perombakan secara teknis juga dialami penerbitan ulang Panji Tengkorak. Maskot Hans Jaladara ini, yang lukisannya dikenal begitu puitis, kini diterbitkan kembali oleh PT Elex Media Komputindo dengan gaya yang sangat berbeda, yaitu meniru gaya komik Jepang. Maka, wajah Panji Tengkorak versi baru ini menjadi steril, bersih, dan kaku tanpa jiwa. "Semangat PT Elex untuk mengembalikan komik Indonesia ke derajat semula memang patut dihargai, tetapi mereka tidak memahami bahwa justru keindonesiaan itu yang harus dikembalikan," tutur Seno berapi-api. Menurut dia, Panji Tengkorak jadi kehilangan seluruh wibawa keagungan dan mitologi yang telah diciptakannya selama puluhan tahun. Tidak mengherankan jikaseperti yang diakui Retno Kristihasil penjualan komik Panji Tengkorak versi PT Elex ini tak terlalu bagus.
Soal pengaruh Jepang ini memang jadi persoalan. Dwi Koendoro mengakui, saat menjadi juri perlombaan komik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 75 persen dari peserta tampak terpengaruh oleh gaya lukisan komik Jepang. Ciri sosok yang ditampilkan komikus Jepang umumnya bermata bulat lebar, rambut berkilat, dan saat sang tokoh dalam keadaan marah, wajahnya mendadak menjadi komikal. Apa boleh buat, karena sikap para penerbit (besar) umumnya hanya untuk bisnis dan memandang komik sebagai barang dagangandan bukan ekspresi budayamaka jika wajah Panji Tengkorak berubah menjadi wajah Jepang, why not?
Pada 1990-an, seiring dengan berdirinya kelompok Qomik Nasional yang terdiri dari komikus Bandung, lahirlah sosok-sosok baru seperti Caroq dan Kapten Bandung. Dari segi teknis, para komikus angkatan 1990-an ini memang jauh lebih unggul ketimbang para seniornya. Artinya, komik sudah menjadi sebuah hasil kerja tim seperti halnya cara kerja komikus negara-negara Barat.
Meski secara teknis serial Caroq dianggap unggul, seperti dinyatakan Seno Gumira, para komikus aliran Bandung ini lebih mengutamakan unsur visual daripada unsur literer. "Bak sebuah video klip, karya komikus masa kini lebih mementingkan special effect dan tidak memiliki identitas apa-apa meski KTP mereka adalah Indonesia," ungkapnya kritis. Meski mereka mencoba mengetengahkan superhero bernama Caroq dan Kapten Bandung, serial ini belum memiliki kekuatan naratif yang mampu mengikat pembaca untuk membaca episode berikutnya.
Lalu, apa jalan keluar untuk menemukan komik dengan identitas Indonesia yang menarik dibaca? "Sebaiknya para penerbit cukup jeli untuk menerbit-ulangkan karya R.A. Kosasih dan Hans Jaladara yang klasik. Jangan meminta mereka melukis lagi dengan gaya baru," tutur Seno. Ia memberi contoh bagaimana sebuah lembaga di AS menerbitkan enam episode pertama Superman klasik. "Gambarnya tetap menggunakan gambar lama. Hanya saja, mereka menggunakan kertas yang lebih bagus, hard cover, dan tinta emas," ungkapnya.
Tampaknya, kalau PT Gramedia konsisten dengan rencananya, keinginan kita untuk menikmati karya klasik itu akan tercapai. Menurut Kosasih, PT Gramedia sedang menyusun perjanjian untuk mencetak ulang serial Mahabharata yang diterbitkan Melodi. Ini kabar gembira, dan semoga memang terlaksana. Sebab, para pembaca remaja kini sungguh berhak mendapat jedayang bermutusetelah terbang bersama Sailor Moon, Kung Fu Boy, dan rekan-rekannya itu.
Leila S.Chudori, Hani Pudjiarti, Raju Febrian, Iwan Setiawan, N.R. Bintari, Rinny Srihartini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo