Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bermula dari ide liar yang tumbuh nun di Desa Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta. Beberapa mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ingin melukis komik. Tapi media kertas tampaknya tak cukup. Maka di pagar tembok rumah kos-kosan yang memagari tanah 700 meter persegi itu, nafsu itu pun dilampiaskan. Tiga belas perupa muda, mahasiswa, berambut gondrong-gondrong itu melemparkan cat ke dinding batako di sebuah rumah di Yogyakarta. Sebagian dengan cat tembok yang disemprot dengan teknik airbrush, sebagian lainnya menggunakan cat genting agar lebih awet. Tiap perupa mendapat jatah bidang 18 meter persegi.
Dua minggu berkutat, hasilnya adalah sebuah komik raksasa yang unik. Ada pecahan piring, gelas, dan belang-beling lainnya yang menempel di dinding. Ada gambar orang yang sedang membaca buku (yang ternyata kosong), ada pesawat televisi yang pada layarnya dipenuhi kaleng minuman ringan. Pokoknya segala macam. Konsep awal yang disepakati bahwa mereka akan menggambar dengan tema "melayang", diinterpretasikan dengan bebas, sebebas-bebasnya. "Kami ingin membuat karya yang asyik-asyik saja," kata Samuel Indratama, salah satu dari 13 perupa itu.
Dari ide yang liar dan membuat karya yang asyik-asyik itulah kelompok Apotek Komiksebuah kelompok bawah tanah para perupa komikterbentuk. Nama Apotek pun dipilih secara sembarangan. Apotek mengingatkan orang pada rumah obat yang menyembuhkan. Maka Apotek Komik maunya juga bisa menyembuhkan penyakit orang yang membaca karya-karya komik mereka. Dan terbukti orang-orang kampung yang memandang seni rupa publik di dinding rumah kos itu merasa terhibur.
Dari lukisan dinding, Apotek Komik kemudian mulai bergerilya masuk ke arena komik cetak. Tapi, karena bukan sebuah industri yang besar, komik ala gerilyawan ini diperbanyak dengan cara fotokopi dan diedarkan dari tangan ke tangan yang konvensional.
Mereka pernah ikut pameran acara Pasar Seni ITB, sebuah pameran kesenian berkala yang dilangsungkan di kampus Ganesha Bandung. Modal dasar Rp 75 ribu dihimpun dari berbagai tangan, adapun ongkos cetak Rp 400 ribu diperoleh dengan cara ngutang. Ternyata, dari hasil penjualan 2.000 eksemplar komik yang berharga Rp 3.000 per komik itu, mereka berhasil mengais uang Rp 600 ribu. Praktis tidak ada untung yang berarti kecuali nama mereka yang mulai melambung di kota-kota besar.
Tiga tahun lalu, dengan menggunakan bendera Core Comic, mereka pun "berdagang" lagi. Karena ini bukan organisasi resmi, Apotek Komik atau Core Comic terdiri dari orang yang itu-itu juga, yakni Samuel Indratma, Rahmat, Ade Tanesia, Vica, Iwan Ifu, dan Menfo Tantono. Serial Komik Haram yang mereka terbitkan dengan teknik fotokopi di atas kertas duplikator dan screenprint cover di atas karton dicetak hanya 100 eksemplar.
Yang menarik, seri Komik Haram menunjukkan ekspresi seni rupa yang liar. Dalam sebuah frame, Rahmat, misalnya, menggambar sosok manusia dalam posisi tidur. Dari kepala hingga lutut, tubuh itu ditusuk anak panah. Lalu ada komentar nyleneh, "norma-norma yang dulu tertanam di kepala sekarang pindah ke dengkul". Sebuah sinisme terhadap aturan dan moral.
Apotek Komik tidak sendirian. Di Yogyakarta ada kelompok bawah tanah lainnya yang bernama Kirikomik. Kelompok ini mulai "manggung" ketika Faisal Ismail yang juga mahasiswa ISI menang dalam sayembara komik yang diselenggarakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1996. Serial karya tim Kirikomik, Ayam Majapahit, dipuji oleh kritikus karena ide ceritanya yang segar tentang seorang anak kos yang "tertukar"melalui perantaraan seorang dukundengan ayam yang datang dari era Majapahit. Perjalanan "ayam Majapahit" yang nyasar pada zaman kini itulah yang dieksplorasi oleh tiga sekawan Ismail, Adi Darmawan, dan Bintang dengan dialog dan gambar-gambar yang kocak.
Penggarapan Ayam Majapahit memang berbeda dari komik-komik pada era R.A. Kosasih atau Jan Mintaraga. Pada masa R.A. Kosasih, sebuah komik digarap sendirian, one man show. Tapi sekarang, seperti lazimnya industri komik di negara-negara Barat, sebuah komik dikerjakan oleh sebuah tim secara bersamaan. Untuk serial Ayam Majapahit, Ismail bertindak sebagai penulis naskah cerita dan teks; ia juga membuat gambar pensil dan menentukan karakter. Lalu Adi Darmawan menerjemahkannya ke dalam plot gambar dan tata letak. Terakhir, Bintang memolesnya dengan tinta.
Kemenangan komik Ayam Majapahit dalam sayembara komik itulah yang kemudian mengantarkan komik milik kelompok Kirikomik itu terbang ke Australia. Royalti? Menurut Ismail, baik penerbit Balai Pustaka maupun pihak Australia belum membayar royalti.
Soal penghargaan yang minim bukan cerita baru bagi komikus underground itu. Mereka juga tampaknya sudah biasa dengan pola-pola distribusi yang semaunya, hingga jika distribusi yang normal tidak menguntungkan, setidaknya bagi Ismail, tidak terlalu banyak masalah.
Dan pengalaman selama ini membuktikannya. Ketika Koor Komikkelompok lain yang beranggotakan orang-orang Kirikomik jugamenerbitkan Windi, pemasarannya juga dilakukan dengan cara gerilya. Terbitan diperbanyak dengan teknik fotokopi. Lalu digandakan sesuai dengan permintaan pasar, yang tidak lain adalah teman-teman peminat komik yang mendapatkannya dari tangan ke tangan. Tapi, menurut Ismail, cara ini justru sangat efektif dan lebih otonom.
Windi sesunguhnya adalah koreksi terhadap pola-pola manajemen penerbitan modern yang sangat mengutamakan kebutuhan pasar. Ketika itu, cerita Ismail, pengarang komik merasa ada tekanan penerbit, terutama terhadap aspek kreatif. "Ketika komikus menyalahkan penerbit, kita mencoba membuat kelompok yang tidak menyalahkan penerbit," kata Ismail. Caranya, ya, dengan melupakan penerbit besar dan menggantinya dengan cara kaki lima. Dan hasilnya lumayan. Windi "dicetak ulang" enam kali dengan beberapa ratus eksemplar setiap kali terbit.
Apakah semua komik underground harus berciri kere dan kaki lima? Tidak juga. Di Bandung pada 1992 sempat berdiri kelompok Qomik Nasional (QN), yang berpersonel mahasiswa seni rupa ITB. Di bawah pimpinan Agit Arianto, QN menerapkan manajemen pola Amerika, yang menggaji bulanan setiap anggota, tidak peduli apakah mereka berkarya atau tidak. Setelah berkarya pun, masih ada pembagian royalti. Dengan gaya hidup yang "mewah" tersebut, tidak aneh kalau biaya produksi satu komik jauh di atas rata-rata kelompok komik eceran di Yogya. Ongkos produksi satu judul komik per bulan bisa mencapai Rp 12 juta.
Meski mahal, dari sisi kreasi, karya komik QN tidak banyak berbeda dengan teman-temannya di Yogya. Komik Caroq ciptaan Ahmad Thariq, misalnya, banyak mengadaptasi konsep superhero ala Amerika. Sosok carok muncul dalam bentuk vigilante, yakni pembela kebenaran tidak ingin melalui jalur hukum seperti halnya superhero macam Superman, Batman, atau Spiderman. Dan satu hal yang menandakan kesamaan QN dengan kelompok lainnya, mereka bukanlah kelompok yang ajek. Terbukti hingga kini nama QN hampir tak terdengar.
Lalu, adakah kelompok-kelompok komik eceran ini risau terhadap serbuan komik asing yang memenuhi rak komik di toko buku besar seperti Gramedia? "Tidak apa-apa. Berjubelnya komik itu akhirnya akan menjadikan orang bosan," kata Ismail tenang. Ia tak peduli. Atau, mungkin itulah enaknya jadi komikus kaki lima. Tidak peduli, karena mereka memang mencipta bukan untuk berdagang semata.
Arif Zulkifli, L.N. Idayanie (Yogyakarta), Hani Pudjiarti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo