Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Patung-patung, tampak muka dan belakang

Pameran yang mencoba menyuguhkan karya patung dari masa ke masa di balai seni rupa jakarta. kecenderungan patung modern indonesia memang mengeksploatasi bentuk indah. (sr)

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAI sebilah keris bertuah di Jawa, sebuah patung kayu yang dianggap keramat di Maluku tak mudah dilihat sembarang orang -- apalagi dipinjamkan. Antara lain karena itulah, pameran yang mencoba menyuguhkan karya patung Indonesia dari masa ke masa pekan ini di Balai Senirupa, Jakarta tak lengkap diwakili patung primitif atau tradisional yang asli dari berbagai daerah -- kecuali dua buah dari Kalimantan Timur. Sedang beberapa patung tradisional Nias misalnya hanyalah barang tiruan. Patung yang bergaya primitif, bukan patung primitif, kata Sudarmadji, direktur balai tersebut. Toh pameran yang menyuguhkan sekitar 100 karya ini menyuguhkan berbagai bahan, gaya dan ide yang bisa langsung dilihat di satu ruang. Satu perbandingan kecenderungan dan dasar penciptaan tiap masa jadi bisa lebih terasa. Tiga patung tradisional Maluku, tiruan, oleh Wiroto Watumlawar, 19 tahun, agaknya dibuat dengan cermat. Terasa meyakinkan sebagai patung tradisional -- mungkin karena Wiroto paham benar latar belakang penciptaan barang yang ditirunya. Ini adalah patung wanita setinggi 75 cm, rambutnya dijalin dua, memegang sosou (semacam piring), konon gambaran perempuan yang sedang berjalan ke tetangga-tetangganya untuk minta makan. Tak jelas lagi legenda yang menciptakan tokoh wanita peminta-minta ini. Tapi dengan sedikit latar belakang yang masih bisa diungkap itu Wiroto bisa dapat bantuan. Pun untuk patung orang tua duduk yang tingginya juga sekitar 75 cm dan ekspresi wajahnya nampak tenang -- yang menurut Wiroto adalah patung makalte (kakek) yang lagi istirahat, dalam suasana syukur setelah lelah mencari nafkah. Hubungan Gelap Sebuah lagi hasil tiruannya patung bertubuh wanita berkepala dua. Patung aslinya disimpan oleh keluarga tuan tanah yang menguasai Tumbur, desa di tengah hutan di Tanimbar, Maluku Tenggara, dan dianggap keramat. Yang bukan keluarga tuan tanah itu susah sekali untuk hanya melihatnya. Tak diceritakan bagaimana Wiroto berhasil menirunya. Tapi legenda yang melatarbelakangi patung ini memang misterius: menggambarkan seorang anak perempuan (dan ibunya?) hasil hubungan gelap sang ibu. Ibunya melahirkannya di tengah hutan, mengasuhnya di situ pula. Dan setelah si anak bisa berjalan, ditinggalkannya begitu saja. Kisah seperti itu tentulah tak mendasari penciptaan patung modern. Sebagian besar patung jenis mutakhir yang dipamerkan dengan mudah bisa dilihat sebagai upaya menyuguhkan bentuk yang merupakan ekspresi pribadi. Bukan lagi 'benda keramat', tentunya. Dan mungkin lebih diciptakan untuk hiasan ruang. Terutama patung-patung nonfiguratif. Lihat saja karya Arbi Samah yang, kecuali mencoba menciptakan bentuk berlenggok, pun berusaha memasukkan unsur lubang. Atau patung But Muchtar dari Bandung yang membuat komposisi tiga dimensi dengan batang-batang besi. Atau ciptaan Sunarya, juga dari Bandung, yang seperti batang kayu lurus ditoreh dan dililit rotan di beberapa bagian. Semuanya terasa bebas dari maksud bercerita. Ditancapi Paku Kalau toh bercerita, tentulah bukan cerita model legenda. Patung kuda dengan dua penunggangnya karya G. Sidharta dari Bandung misalnya. Dengan bentuk kuda yang realistis, tapi dengan dua figur penunggang yang berwajah bukan -- manusla, lebih menyerupai topeng, seakan hadir sebuah cerita. Tapi bentuknya yang 'modern' mencegah munculnya dugaan ini. Patung ini terasa, lagi-lagi, lebih mengundang penikmatan bentuknya sendiri: kuda yang gagah dengan telinga tegak dan dua bentuk figur yang santai tapi misterius bertengger di punggung. Pun patung kuda meloncat karya Nyoman Nurta -- lebih sebagai bentuk artistik daripada yang lain. Apalagi satu karya Sidharta yang dibuat dari bahan fiber glass. Dua bentuk merah melengkung bagai sepasang tanduk, di tengahnya muncul barang seperti gada berwarna kuning. Asosiasi boleh macam-macam, tapi yang kemudian terbayang: betapa indahnya benda ini ditaruh di sebuah ruang dengan interior modern. Keindahan bentuk memang sah bagi senirupa modern. Untuk sementara, seperti bisa dilihat dalam pameran ini, karya-karya patung modern yang tak terbayangkan sebagai karya hiasan susah sekali dicari hal yang mendasari penciptaannya. Sebuah patung karya Much. Chodli dari Jepara, Jawa Tengah, yang merupakan bentuk figur lelaki yang ditancapi banyak sekali paku di kepala dan tubuhnya, toh jauh dari suasana magis. Karena itu sungguh menonjol karyakarya Suparta dari Jakarta, yang terasa tak punya pretensi apa pun kecuali, agaknya, hiasan itu. Pohon Hayat-nya merupakan deformasi bentuk pohon yang kemudian diberi warna-warni menyenangkan. Juga dua topeng keramiknya yang dirias dengan garis-garis artistik. Yang paling menarik adalah Kupu-Kupu-nya -- terutama bentuknya yang memang tidak aneh-aneh dan warnanya yang menyenangkan. Konsep kesenian Suparta, yang lebih dikenal sebagai pelukis ini, tampaknya tidak mengandung sesuatu yang muluk. Maka kita kembali mencatat nilai-nilai klasik yang mendasari terciptanya sebuah karya yang baik: kejujuran dan keyakinan pada fungsi, yang bisa berbeda -- sebagai bagian dari upacara adat atau agama, bagi patung primitif, atau sebagai hiasan seperti pada patung Suparta misalnya. Bisa dipahami kalau kemudian sejumlah patung Bali terasa tak lagi mencekam --karena tiadanya kejelasan pada fungsi tersebut, kecuali fungsi barang dagangan yang diharap cepat laku. Dan hanya 'barang dagangan' memang tidak mencekam. Tak berarti di Bali kini tak ada kejutan. I Gusti Ketut Suwena menciptakan patung realistis di luar kelaziman senirupa Bali selama ini. Meski karyanya masih terasa kaku, belum luwes, teoritis ia sangat jago dalam anatomi dan. proporsi manusia. Orang Tua Duduk dengan tongkat di tangannya adalah karyanya yang paling luwes dibanding empat yang lain. Patung ini terasa enak komposisinya sedang wajahnya pun berekspresi. Yang menimbulkan kekakuan mungkin karena rasa ruang belum terpancar secara pas. Dari telapak kaki hingga kepala, patung ini punya kekuatan bentuk sama -- mungkin hasil pengaruh senirupa Bali yang dekoratif itu, yang selalu menampilkan ruang hanya dalam dua dimensi. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus