BAGAI sebilah keris bertuah di Jawa, sebuah patung kayu yang
dianggap keramat di Maluku tak mudah dilihat sembarang orang --
apalagi dipinjamkan.
Antara lain karena itulah, pameran yang mencoba menyuguhkan
karya patung Indonesia dari masa ke masa pekan ini di Balai
Senirupa, Jakarta tak lengkap diwakili patung primitif atau
tradisional yang asli dari berbagai daerah -- kecuali dua buah
dari Kalimantan Timur. Sedang beberapa patung tradisional Nias
misalnya hanyalah barang tiruan. Patung yang bergaya primitif,
bukan patung primitif, kata Sudarmadji, direktur balai tersebut.
Toh pameran yang menyuguhkan sekitar 100 karya ini menyuguhkan
berbagai bahan, gaya dan ide yang bisa langsung dilihat di satu
ruang. Satu perbandingan kecenderungan dan dasar penciptaan tiap
masa jadi bisa lebih terasa.
Tiga patung tradisional Maluku, tiruan, oleh Wiroto Watumlawar,
19 tahun, agaknya dibuat dengan cermat. Terasa meyakinkan
sebagai patung tradisional -- mungkin karena Wiroto paham benar
latar belakang penciptaan barang yang ditirunya.
Ini adalah patung wanita setinggi 75 cm, rambutnya dijalin dua,
memegang sosou (semacam piring), konon gambaran perempuan yang
sedang berjalan ke tetangga-tetangganya untuk minta makan. Tak
jelas lagi legenda yang menciptakan tokoh wanita peminta-minta
ini. Tapi dengan sedikit latar belakang yang masih bisa diungkap
itu Wiroto bisa dapat bantuan.
Pun untuk patung orang tua duduk yang tingginya juga sekitar 75
cm dan ekspresi wajahnya nampak tenang -- yang menurut Wiroto
adalah patung makalte (kakek) yang lagi istirahat, dalam suasana
syukur setelah lelah mencari nafkah.
Hubungan Gelap
Sebuah lagi hasil tiruannya patung bertubuh wanita berkepala
dua. Patung aslinya disimpan oleh keluarga tuan tanah yang
menguasai Tumbur, desa di tengah hutan di Tanimbar, Maluku
Tenggara, dan dianggap keramat. Yang bukan keluarga tuan tanah
itu susah sekali untuk hanya melihatnya. Tak diceritakan
bagaimana Wiroto berhasil menirunya. Tapi legenda yang
melatarbelakangi patung ini memang misterius: menggambarkan
seorang anak perempuan (dan ibunya?) hasil hubungan gelap sang
ibu. Ibunya melahirkannya di tengah hutan, mengasuhnya di situ
pula. Dan setelah si anak bisa berjalan, ditinggalkannya begitu
saja.
Kisah seperti itu tentulah tak mendasari penciptaan patung
modern. Sebagian besar patung jenis mutakhir yang dipamerkan
dengan mudah bisa dilihat sebagai upaya menyuguhkan bentuk yang
merupakan ekspresi pribadi. Bukan lagi 'benda keramat',
tentunya. Dan mungkin lebih diciptakan untuk hiasan ruang.
Terutama patung-patung nonfiguratif.
Lihat saja karya Arbi Samah yang, kecuali mencoba menciptakan
bentuk berlenggok, pun berusaha memasukkan unsur lubang. Atau
patung But Muchtar dari Bandung yang membuat komposisi tiga
dimensi dengan batang-batang besi. Atau ciptaan Sunarya, juga
dari Bandung, yang seperti batang kayu lurus ditoreh dan dililit
rotan di beberapa bagian. Semuanya terasa bebas dari maksud
bercerita.
Ditancapi Paku
Kalau toh bercerita, tentulah bukan cerita model legenda. Patung
kuda dengan dua penunggangnya karya G. Sidharta dari Bandung
misalnya. Dengan bentuk kuda yang realistis, tapi dengan dua
figur penunggang yang berwajah bukan -- manusla, lebih
menyerupai topeng, seakan hadir sebuah cerita. Tapi bentuknya
yang 'modern' mencegah munculnya dugaan ini. Patung ini terasa,
lagi-lagi, lebih mengundang penikmatan bentuknya sendiri: kuda
yang gagah dengan telinga tegak dan dua bentuk figur yang santai
tapi misterius bertengger di punggung. Pun patung kuda meloncat
karya Nyoman Nurta -- lebih sebagai bentuk artistik daripada
yang lain.
Apalagi satu karya Sidharta yang dibuat dari bahan fiber glass.
Dua bentuk merah melengkung bagai sepasang tanduk, di tengahnya
muncul barang seperti gada berwarna kuning. Asosiasi boleh
macam-macam, tapi yang kemudian terbayang: betapa indahnya benda
ini ditaruh di sebuah ruang dengan interior modern.
Keindahan bentuk memang sah bagi senirupa modern. Untuk
sementara, seperti bisa dilihat dalam pameran ini, karya-karya
patung modern yang tak terbayangkan sebagai karya hiasan susah
sekali dicari hal yang mendasari penciptaannya. Sebuah patung
karya Much. Chodli dari Jepara, Jawa Tengah, yang merupakan
bentuk figur lelaki yang ditancapi banyak sekali paku di kepala
dan tubuhnya, toh jauh dari suasana magis.
Karena itu sungguh menonjol karyakarya Suparta dari Jakarta,
yang terasa tak punya pretensi apa pun kecuali, agaknya, hiasan
itu. Pohon Hayat-nya merupakan deformasi bentuk pohon yang
kemudian diberi warna-warni menyenangkan. Juga dua topeng
keramiknya yang dirias dengan garis-garis artistik.
Yang paling menarik adalah Kupu-Kupu-nya -- terutama bentuknya
yang memang tidak aneh-aneh dan warnanya yang menyenangkan.
Konsep kesenian Suparta, yang lebih dikenal sebagai pelukis ini,
tampaknya tidak mengandung sesuatu yang muluk.
Maka kita kembali mencatat nilai-nilai klasik yang mendasari
terciptanya sebuah karya yang baik: kejujuran dan keyakinan pada
fungsi, yang bisa berbeda -- sebagai bagian dari upacara adat
atau agama, bagi patung primitif, atau sebagai hiasan seperti
pada patung Suparta misalnya.
Bisa dipahami kalau kemudian sejumlah patung Bali terasa tak
lagi mencekam --karena tiadanya kejelasan pada fungsi tersebut,
kecuali fungsi barang dagangan yang diharap cepat laku. Dan
hanya 'barang dagangan' memang tidak mencekam.
Tak berarti di Bali kini tak ada kejutan. I Gusti Ketut Suwena
menciptakan patung realistis di luar kelaziman senirupa Bali
selama ini. Meski karyanya masih terasa kaku, belum luwes,
teoritis ia sangat jago dalam anatomi dan. proporsi manusia.
Orang Tua Duduk dengan tongkat di tangannya adalah karyanya yang
paling luwes dibanding empat yang lain. Patung ini terasa enak
komposisinya sedang wajahnya pun berekspresi. Yang menimbulkan
kekakuan mungkin karena rasa ruang belum terpancar secara pas.
Dari telapak kaki hingga kepala, patung ini punya kekuatan
bentuk sama -- mungkin hasil pengaruh senirupa Bali yang
dekoratif itu, yang selalu menampilkan ruang hanya dalam dua
dimensi.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini