DARI Yogyakarta terlontar kritik terhadap dokter. Sekalipun
tidak menunjuk nama, kecaman itu tertuju pada beberapa dokter di
sana yang dalam mengobati pasien memadukan ilmu kedokteran
modern dengan perdukunan. Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK
UGM, dr. Raden Soejono Prawirohardjo yang melancarkan kritik
tersebut menjuluki dokter yang dia kritik sebagai "terkun",
alias dokter-dukun.
Menurut Soejono "terkun" berbeda dengan dukun tradisional yang
mendasarkan ilmunya pada tradisi, seperti dukun pijat dan dukun
beranak juga berbeda dengan kiai dan pastr pengobat (religious
healer), yang berpangkal pada ajaran agama. "Mereka tidak
menipu. Tapi terkun menipu. Maka harus diberantas," kata Soejono
sengit.
Sudah agak lama dokter ahli penyakit jiwa tersebut memendam rasa
terhadap dokter yang dia anggap "tidak etis". Soalnya sudah
berkali-kali dia menerima pengaduan dari pasiennya. "Seorang
pasien yang belum tentu tumor, disebut bertumor oleh terkun
setelah melakukan diagnosa dengan mengetukkan ballpoint pada
kertas. Sebagai ilmuwan saya tidak percaya kekuatan supernatural
yang mendukung pengobatan seperti itu," katanya kepada wartawan
TEMPO, Mohamad Cholid.
Soejono tidak secara jelas menyebutkan mengapa ada dokter yang
mencampurkan ilmu kedokteran dengan perdukunan. Misalnya
mendiagnosa secara perdukunan tapi mengobati secara medis atau
sebaliknya. Dia hanya menduga gejala ini tumbuh "bisa jadi
karena persaingan." Maksudnya dengan membaurkan kedokteran dan
perdukunan, si "terkun" akan bisa mengundang lebih banyak
pasien.
Namun tentang latar belakang munculnya "terkun" itu nampaknya
agak gamblang bagi Soejono. "Pertama, hubungan pasien dan dokter
selama ini kurang baik. Pendekatan dokter terhadap pasiennya
kurang manusiawi, sedangkan "terkun" atau dukun lebih intim.
Kedua, pengaruh pandangan vertikal ke atas. Karena banyak
pejabat tinggi berobat ke dukun masyarakat pun ikut-ikutan,"
ulasnya.
Banyak yang mengira sasaran kritik itu bisa mengena pada dr.
Raden Soesilo dari Kulon Progo, Yogyakarta. Ia dikenal
menggunakan berbagai alat, termasuk ballpoint sebagai pendulum
(bandul) dalam menegakkan diagnosa. Juga kumparan kawat
magnetis.
Soesilo memang sudah sejak lama dituduh teman sejawatnya
menyalahi sumpah dokter. Gara-gara dia menggunakan metode
kebatinan dan magnetisme. Terhadap kritik Kepala Bagian Penyakit
Jiwa UGM dr. Soejono Prawirohardjo, ia tidak lantas berangasan.
"Biar," sahutnya. Terhadap kecaman yang menyebutkan dia
melanggar sumpah dokter yang antara lain menyebutkan harus
memberikan pertolongan pada pasien dengan standar profesi yang
tinggi, dia menjawab: "Saya menghadapi pasien dengan metode
manusia seutuhnya. Seandainya Hipokrates mempelajari metafisika
dan ilmu-ilmu lain pasti dia akan bersumpah lain," katanya.
Menurut Soesilo, manusia itu terdiri dari 7 bagian. Bila terjadi
ketimpangan pada bagian-bagian itu, bisa timbul penyakit.
"Bagian-bagian itu adalah gesang (hidup), cahya (cahaya), sir
(rasa), ruh (sukma), angan-angan, akal budi dan Jasad. Dokter
biasa hanya mengobati sepertujuh dari manusia, yaitu jasad,"
katanya mempertahankan praktek yang dia kerjakan selama hampir 5
tahun ini.
Kumparan Magnetis
Soesilo mengepalai Dinas Kesehatan Rakyat Kulon Progo. Tapi
katanya dia hanya praktek dokter-plus kebatinan di rumahnya. "Di
kantor tidak. Karena saya adalah pegawai yang diangkat
berdasarkan keahlian yang saya peroleh dari universitas. Jadi di
kantor, saya murni menggunakan ilmu kedokteran," katanya
menjelaskan.
Diagnosa pendulum berpusat di Purworedjo. Dipimpin oleh Pastor
Loogman yang banyak menerima pasien di sana. Beberapa dokter
yang melihat kebolehan metode itu jadi tertarik dan ikut menjadi
murid Loogman.
Loogman tidak berkenan ditemui wartawan, sekalipun sudah sejak
lama wartawan TEMPO, Putu Setia, mencoba menghubunginya. Tapi
seorang asisten Loogman, seorang dokter, menyebutkan kritik
Raden Soejono itu "sangat mengacaukan". Katanya: "Tidak ada
dokter yang diagnosanya memakai dukun tetapi pengobatannya
secara ilmiah atau sebaliknya." Hanya kalau tidak ditemukan
penyakit dengan metode kedokteran standar, baru digunakan bandul
atau pendulum serta kumparan magnetis. Pengobatannya, katanya,
sesuai dengan metode diagnosa dan tidak memakai resep dokter.
Yang dipakai ramuan dari tanaman atau perubahan pada letak rumah
si pasien.
Di Jakarta paling tidak ada dua dokter yang jadi asisten
Loogman. Dien Tan, seorang ahli gizi yang berpraktek di daerah
Jakarta Kota, mulai tertarik metode itu sejak dua tahun yang
lalu. Diawali dengan anaknya yang berusia 10 tahun yang
menderita batuk-pilek kronis. Anak itu sudah dibawa ke dokter
spesialis, tapi tak sembuh-sembuh juga. Setelah didiagnosa Pater
Loogman, anak itu diberi jamu. "Dan begitulah anak saya itu
sembuh. Menurut Pater Loogman ia menderita alergi," cerita dr.
Dien Tan kepada A. Muthalib dari TEMPO.
"Nggak Ngerti"
Dalam prakteknya, kadang-kadang Dien Tan juga mendiagnosa dengan
pendulum. Cara ini dia gunakan buat pasien yang sudah pernah
berkenalan dengan Pater Loogman. "Kalau yang belum tahu nanti
bisa kaget. Dikira saya bikin yang aneh-aneh," katanya.
Diagnosa dengan pendulum ini dia gunakan untuk penyakit kronis
dan untuk mengetahui kanker dini atau kerusakan fungsi lever
(hati). Sebab, katanya, dengan stateskop dan alat kedokteran
lain gejala itu sukar diketahui.
Terhadap kritik yang menyebutkan praktek dengan pendulum itu
melanggar kode etik kedokteran, dr. Dien Tan menjawab "Etik
bagaimana yang dilanggar, saya nggak ngerti," katanya. Dia
mengatakan pendulum boleh jadi tidak diakui sekarang, tapi siapa
tahu kalau satu saat penelitian akan membuktikan kebenarannya.
"Contohnya, akupunktur, sekarang baru diakui."
Menurut Ketua Umum IDI Pusat, dr. Abdullah Cholil MPH, kalau ada
metode di luar standar kedokteran modern yang dipergunakan untuk
diagnosa, maka dia harus dianggap sebagai penelitian. Terhadap
sinyalemen "terkun" dia mengatakan Jika dokter berpraktek
seperti dukun, itu jelas melanggar etik," katanya memutuskan.
Tapi yang terpenting katanya perlu diteliti apakah ada eksesnya
yang membahayakan.
Di Yogyakarta soal "terkun" ini nampaknya agak cepat mendapat
tanggapan. Kepada harian Kompas, Ketua IDI Cabang Yogyakarta,
dr. Makmuri Muchlas menyebutkan dua "terkun" sudah ditindak.
Yang satu dimutasikan dan yang satu lagi kenaikan pangkatnya
ditunda. Dua-duanya sudah menghentikan praktek perdukunan dalam
kamar praktek mereka. Siapa mereka tak disebutkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini