Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Dokter mengkritik, terjun menjawab

Dua orang yang berpraktek dokter-dukun (terkun) di tindak di yogyakarta. satu dimutasikan, satu lagi tak naik pangkat. tindakan ini menyusul kritik terhadap terkun di sana. (ksh)

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI Yogyakarta terlontar kritik terhadap dokter. Sekalipun tidak menunjuk nama, kecaman itu tertuju pada beberapa dokter di sana yang dalam mengobati pasien memadukan ilmu kedokteran modern dengan perdukunan. Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK UGM, dr. Raden Soejono Prawirohardjo yang melancarkan kritik tersebut menjuluki dokter yang dia kritik sebagai "terkun", alias dokter-dukun. Menurut Soejono "terkun" berbeda dengan dukun tradisional yang mendasarkan ilmunya pada tradisi, seperti dukun pijat dan dukun beranak juga berbeda dengan kiai dan pastr pengobat (religious healer), yang berpangkal pada ajaran agama. "Mereka tidak menipu. Tapi terkun menipu. Maka harus diberantas," kata Soejono sengit. Sudah agak lama dokter ahli penyakit jiwa tersebut memendam rasa terhadap dokter yang dia anggap "tidak etis". Soalnya sudah berkali-kali dia menerima pengaduan dari pasiennya. "Seorang pasien yang belum tentu tumor, disebut bertumor oleh terkun setelah melakukan diagnosa dengan mengetukkan ballpoint pada kertas. Sebagai ilmuwan saya tidak percaya kekuatan supernatural yang mendukung pengobatan seperti itu," katanya kepada wartawan TEMPO, Mohamad Cholid. Soejono tidak secara jelas menyebutkan mengapa ada dokter yang mencampurkan ilmu kedokteran dengan perdukunan. Misalnya mendiagnosa secara perdukunan tapi mengobati secara medis atau sebaliknya. Dia hanya menduga gejala ini tumbuh "bisa jadi karena persaingan." Maksudnya dengan membaurkan kedokteran dan perdukunan, si "terkun" akan bisa mengundang lebih banyak pasien. Namun tentang latar belakang munculnya "terkun" itu nampaknya agak gamblang bagi Soejono. "Pertama, hubungan pasien dan dokter selama ini kurang baik. Pendekatan dokter terhadap pasiennya kurang manusiawi, sedangkan "terkun" atau dukun lebih intim. Kedua, pengaruh pandangan vertikal ke atas. Karena banyak pejabat tinggi berobat ke dukun masyarakat pun ikut-ikutan," ulasnya. Banyak yang mengira sasaran kritik itu bisa mengena pada dr. Raden Soesilo dari Kulon Progo, Yogyakarta. Ia dikenal menggunakan berbagai alat, termasuk ballpoint sebagai pendulum (bandul) dalam menegakkan diagnosa. Juga kumparan kawat magnetis. Soesilo memang sudah sejak lama dituduh teman sejawatnya menyalahi sumpah dokter. Gara-gara dia menggunakan metode kebatinan dan magnetisme. Terhadap kritik Kepala Bagian Penyakit Jiwa UGM dr. Soejono Prawirohardjo, ia tidak lantas berangasan. "Biar," sahutnya. Terhadap kecaman yang menyebutkan dia melanggar sumpah dokter yang antara lain menyebutkan harus memberikan pertolongan pada pasien dengan standar profesi yang tinggi, dia menjawab: "Saya menghadapi pasien dengan metode manusia seutuhnya. Seandainya Hipokrates mempelajari metafisika dan ilmu-ilmu lain pasti dia akan bersumpah lain," katanya. Menurut Soesilo, manusia itu terdiri dari 7 bagian. Bila terjadi ketimpangan pada bagian-bagian itu, bisa timbul penyakit. "Bagian-bagian itu adalah gesang (hidup), cahya (cahaya), sir (rasa), ruh (sukma), angan-angan, akal budi dan Jasad. Dokter biasa hanya mengobati sepertujuh dari manusia, yaitu jasad," katanya mempertahankan praktek yang dia kerjakan selama hampir 5 tahun ini. Kumparan Magnetis Soesilo mengepalai Dinas Kesehatan Rakyat Kulon Progo. Tapi katanya dia hanya praktek dokter-plus kebatinan di rumahnya. "Di kantor tidak. Karena saya adalah pegawai yang diangkat berdasarkan keahlian yang saya peroleh dari universitas. Jadi di kantor, saya murni menggunakan ilmu kedokteran," katanya menjelaskan. Diagnosa pendulum berpusat di Purworedjo. Dipimpin oleh Pastor Loogman yang banyak menerima pasien di sana. Beberapa dokter yang melihat kebolehan metode itu jadi tertarik dan ikut menjadi murid Loogman. Loogman tidak berkenan ditemui wartawan, sekalipun sudah sejak lama wartawan TEMPO, Putu Setia, mencoba menghubunginya. Tapi seorang asisten Loogman, seorang dokter, menyebutkan kritik Raden Soejono itu "sangat mengacaukan". Katanya: "Tidak ada dokter yang diagnosanya memakai dukun tetapi pengobatannya secara ilmiah atau sebaliknya." Hanya kalau tidak ditemukan penyakit dengan metode kedokteran standar, baru digunakan bandul atau pendulum serta kumparan magnetis. Pengobatannya, katanya, sesuai dengan metode diagnosa dan tidak memakai resep dokter. Yang dipakai ramuan dari tanaman atau perubahan pada letak rumah si pasien. Di Jakarta paling tidak ada dua dokter yang jadi asisten Loogman. Dien Tan, seorang ahli gizi yang berpraktek di daerah Jakarta Kota, mulai tertarik metode itu sejak dua tahun yang lalu. Diawali dengan anaknya yang berusia 10 tahun yang menderita batuk-pilek kronis. Anak itu sudah dibawa ke dokter spesialis, tapi tak sembuh-sembuh juga. Setelah didiagnosa Pater Loogman, anak itu diberi jamu. "Dan begitulah anak saya itu sembuh. Menurut Pater Loogman ia menderita alergi," cerita dr. Dien Tan kepada A. Muthalib dari TEMPO. "Nggak Ngerti" Dalam prakteknya, kadang-kadang Dien Tan juga mendiagnosa dengan pendulum. Cara ini dia gunakan buat pasien yang sudah pernah berkenalan dengan Pater Loogman. "Kalau yang belum tahu nanti bisa kaget. Dikira saya bikin yang aneh-aneh," katanya. Diagnosa dengan pendulum ini dia gunakan untuk penyakit kronis dan untuk mengetahui kanker dini atau kerusakan fungsi lever (hati). Sebab, katanya, dengan stateskop dan alat kedokteran lain gejala itu sukar diketahui. Terhadap kritik yang menyebutkan praktek dengan pendulum itu melanggar kode etik kedokteran, dr. Dien Tan menjawab "Etik bagaimana yang dilanggar, saya nggak ngerti," katanya. Dia mengatakan pendulum boleh jadi tidak diakui sekarang, tapi siapa tahu kalau satu saat penelitian akan membuktikan kebenarannya. "Contohnya, akupunktur, sekarang baru diakui." Menurut Ketua Umum IDI Pusat, dr. Abdullah Cholil MPH, kalau ada metode di luar standar kedokteran modern yang dipergunakan untuk diagnosa, maka dia harus dianggap sebagai penelitian. Terhadap sinyalemen "terkun" dia mengatakan Jika dokter berpraktek seperti dukun, itu jelas melanggar etik," katanya memutuskan. Tapi yang terpenting katanya perlu diteliti apakah ada eksesnya yang membahayakan. Di Yogyakarta soal "terkun" ini nampaknya agak cepat mendapat tanggapan. Kepada harian Kompas, Ketua IDI Cabang Yogyakarta, dr. Makmuri Muchlas menyebutkan dua "terkun" sudah ditindak. Yang satu dimutasikan dan yang satu lagi kenaikan pangkatnya ditunda. Dua-duanya sudah menghentikan praktek perdukunan dalam kamar praktek mereka. Siapa mereka tak disebutkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus