Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sejarah Rainha Boki Raja, Pejuang Perempuan Ternate

Pejuang perempuan Rainha Boki Raja terhapus dari sejarah. Dihidupkan kembali lewat film dokumenter dari prosa Toeti Heraty.

10 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Buku Prosa Lirik Rainha Boki Raja Ratu Ternate Abad Keenam Belas karya Toeti Heraty, di Cemara 6 Galeri-Toeti Heraty Museum, Jakarta. TEMPO/Adinda Jasmine

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Nama Nukila atau Rainha Boki Raja seperti terhapus dari sejarah.

  • Padahal dia merupakan ratu pertama di Kesultanan Ternate dan mengangkat senjata melawan Portugis.

  • Perjuangan Rainha Boki Raja dijadikan prosa lirik oleh Toeti Heraty dan kini diangkat menjadi film dokumenter.

NUKILA alias Rainha Boki Raja menjadi nama yang terlupakan dalam bayang-bayang sejarah. Di benak segelintir orang, Nukila dikenang sebagai pejuang perempuan asal Ternate dengan kisah yang beredar dari mulut ke mulut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Upaya untuk mempertahankan eksistensi pahlawan perempuan itu dalam memori kolektif ditempuh oleh Toeti Heraty. Sastrawan itu menulis tentang Nukila dalam prosa lirik pada 2010 yang berjudul Rainha Boki Raja: Ratu Ternate Abad Keenambelas. “Seorang putri lahir di Kesultanan Tidore, tahun tak diketahui pasti, sebelum 1500 Masehi barangkali, dan namanya dilupakan oleh sejarah,” demikian Toeti menggambarkan Nukila.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerja Toeti, yang meninggal pada 2021 di usia 87 tahun, diteruskan oleh anaknya, Inda Citraninda Noerhadi. Inda menghidupkan kembali Nukila lewat film dokumenter berdurasi 29 menit dengan judul sama, Rainha Boki Raja: Ratu Ternate Abad Keenambelas, yang baru dirilis.

Aktivis seni Tommy F. Awuy (kiri), Penulis naskah film Rainha Boki Raja Linda Christanty, dan Sejarawan sekaligus Dekan FIB Universitas Indonesia (UI) Bondan Kanumoyoso dalam acara Screening dan Bincang-bincang Film Rainha Boki Raja: Ratu Ternate Abad Keenam Belas di Cemara 6 Galeri-Toeti Heraty Museum, Jakarta, 29 Juni 2024. TEMPO/Adinda Jasmine

•••

KISAH Rainha Boki Raja tidak bisa dilepaskan dari perang rempah Spanyol melawan Portugis yang hendak merebut Maluku, yang mereka sebut pulau rempah. Pada abad XVI, perseteruan di antara dua negara penghuni Semenanjung Andalusia itu memasuki babak baru: Portugis mendukung Ternate dan Spanyol bersekutu dengan Tidore.

Mengutip buku Nusantara Sejarah Indonesia karya Bernard Hubertus Maria Vlekke, saat itu Ternate dipimpin Sultan Bayanullah. Dengan beking Portugis, Ternate berhasil menaklukkan koalisi Tidore-Spanyol dan konflik berakhir pada 1529 lewat Perjanjian Zaragoza.

Namun perdamaian tidak berlangsung lama. Sultan Khairun dari Ternate, yang menggantikan Sultan Tabariji, dijebak serta dibunuh oleh Portugal pada 1570 dan memicu kemarahan rakyat Maluku. Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah, pasukan gabungan dari seluruh kepulauan membalas dendam sehingga memaksa Portugis angkat kaki pada 1575.

Sekitar seperempat abad kemudian, seperti dikutip dari Kepulauan Rempah-rempah karya M. Adnan Amal, Belanda datang pada 1605 dan menguasai Maluku. Dari timur, mereka melahap wilayah-wilayah lain Nusantara dan menjadi awal terbentuknya Hindia Belanda.

Sejarah mencatat satu per satu peran para sultan di Ternate dan Tidore serta melupakan peran ratu yang turun mengangkat Kesultanan Ternate ke puncak kejayaannya. Dia adalah Nukila—setelah menjadi permaisuri dikenal dengan Nyai Cili Boki Raja. Catatan Portugal menyebutnya sebagai Rainha Boki Raja. Rainha berarti ratu dalam bahasa Portugis.

Nama Rainha Boki Raja pertama muncul di catatan Portugal dalam surat Gubernur Antonio de Brito kepada Raja Manuel I pada 1523. Surat itu menceritakan pertemuan antara Gubernur dan permaisuri Sultan Ternate serta putra mahkota Boheyat yang baru berusia 8 tahun. Menurut Toeti Heraty dalam prosa liriknya, Rainha Boki Raja adalah anak Sultan Al-Mansur, yang memimpin Tidore pada 1512-1526, dan menikah dengan Sultan Bayanullah, Sultan Ternate ke-20.

Tidak ada catatan tentang kelahiran Boki Raja, tapi pernikahannya dengan Sultan Bayanullah dipastikan sebagai strategi politis untuk meredam konflik antara Ternate dan Tidore yang kerap disusupi oleh campur tangan Spanyol dan Portugis. Boki Raja memiliki tiga putra, yaitu Pangeran Hidayat (Dayalo), Pangeran Abu Hayat (Boheyat), dan Tabariji. Di antara mereka, Tabariji adalah anak hasil pernikahan kedua Rainha dengan Pati Sarangi.

Kehidupan Rainha Boki Raja tidak lepas dari tragedi. Ayahnya, Sultan Al-Mansur dari Tidore, tewas diracun. Tak lama, suaminya, Sultan Bayanullah, bernasib serupa. Kematian Bayanullah pada 1521 menimbulkan kekosongan kepemimpinan di Ternate, satu kerajaan Islam terbesar di Maluku. Karena putra mahkota, Pangeran Hidayat, masih terlalu muda, kesultanan diatur oleh Nukila, dibantu Pangeran Taruwese, adik kandung Sultan Bayanullah.

Nukila kemudian dinobatkan sebagai Ratu Nyai Cili alias Sultanah Nukila, tapi lebih dikenal sebagai Rainha Boki Raja. Meski bersifat sementara, dia menjadi pemimpin perempuan pertama dalam sejarah Kesultanan Ternate. Jabatan tertinggi itu mendapat banyak tentangan karena banyak petinggi tak sudi kerajaan mereka dikendalikan perempuan. Sementara itu, Portugal tidak menyukai persaudaraan Ternate-Tidore.

Portugal mulai menghasut Taruwese untuk memberontak. Perang pecah antara Boki Raja yang didukung Tidore, tanah kelahirannya, dan Taruwese yang disokong Portugis. Dalam konflik ini, Pangeran Hidayat alias Dayalo gugur pada 1529, sementara Boheyat dan Tabariji ditawan. Saat perang saudara terjadi, di Maluku Utara juga ada pertikaian antara Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo.

Pada 1530, Rainha Boki Raja memimpin serangan yang menaklukkan benteng Portugis di Ternate. Hantaman itu ikut menewaskan Gubernur Portugis di Ternate, Gonzales Pereire. Adapun Taruwese, yang bersekongkol, dieksekusi.

Takhta Kesultanan Ternate pun beralih kepada Pangeran Boheyat, anak kedua Boki Raja. Dia memimpin hingga 1533 sebelum dipenjara dan mati diracun oleh Portugis. Kekuasaan pun beralih ke Pangeran Tabariji, putra ketiga.

Namun, baru setahun Tabariji naik takhta, pada 1534, Portugis mengatur jebakan baru yang membuat Sultan Tabariji dan Boki Raja diasingkan ke Goa, India. Di pengasingan, Tabariji pindah agama ke Katolik dan mengubah namanya menjadi Dom Manuel. Ibu dan anak itu baru dipulangkan ke Ternate pada 1547.

Di perjalanan pulang, mereka bertemu dengan Khairun, saudara tiri Tabariji, yang menggantikannya sebagai sultan dan berkuasa pada 1530 sampai 1570. Tabariji meninggal akibat diracun Portugis dan Khairun kembali naik takhta pada 1547, merebut seluruh kekayaan ibu tirinya, Rainha Boki Raja.

Babak akhir hidup Rainha Boki Raja masih menjadi misteri. Beberapa catatan kolonial menyebutkan dia pergi untuk hidup bersama putri tirinya, yang menikah dengan pedagang asal Portugal, Balthazar Velozo. Boki Raja kemudian beralih menjadi penganut Katolik dan memakai nama baru Dona Isabela.

Rentetan tragedi yang menimpa Rainha Boki Raja terserak dalam berbagai dokumen Portugal dan dikompilasikan oleh Paramitha Abdulrachman, sejarawan yang termasuk peneliti perempuan pertama di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penelitiannya dimuat dalam jurnal Modern Asian Studies pada 1988 dengan judul Niachile Pokaraga: A Sad Story of A Moluccan Queen atau Nyai Cili Boki Raja: Cerita Sedih Seorang Ratu Maluku.

Toeti Heraty membuat prosa tentang Rainha Boki Raja berdasarkan penelitian tersebut. “Seorang perempuan yang patut dikenang dan tidak mudah kita melupakannya—meskipun tidak pernah kita mengenal namanya (nama kecil Boki Raja).”

•••

PERJUANGAN Rainha Boki Raja kini dapat dinikmati lewat film. “Film dokumenter ini bersumber dari prosa lirik Rainha Boki Raja. Tentu Ibu—Toeti Heraty—menulis prosa lirik ini berdasarkan informasi atau data-data primer yang dia dapat,” kata Inda Citraninda Noerhadi kepada Tempo di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 29 Juni 2024. Sebagai produser eksekutif, dia menggandeng Fendi Siregar sebagai sutradara, Ananda Sukarlan sebagai penata musik, Linda Christanty sebagai penulis naskah, dan Gembong Hardian sebagai penata artistik.

Linda mengatakan langsung ingin meriset soal Rainha Boki Raja setelah membaca prosa lirik karya Toeti. Dia membutuhkan waktu satu tahun, sejak 2023, untuk menyusun naskah film dokumenter itu.

Menurut Linda, terkadang ada karakter yang awalnya dianggap fiktif baru kemudian diakui sebagai tokoh sejarah. "Harus ada dokumen primer atau dokumen-dokumen yang saling mengkonfirmasi sosok ini—Boki Raja," katanya.

Makin dalam mempelajari dokumen-dokumen tersebut, Linda makin yakin bahwa Boki Raja bukanlah sekadar tokoh dongeng, seperti yang diyakini sebagian orang. Sebab, ada berbagai dokumen yang saling menguatkan fakta soal Boki Raja. Misalnya, laporan Antonio de Brito dan catatan dari agen Portugis, Rui Gago. “Jadi ini betul-betul sosok yang hidup, yang ada, berdarah dan berdaging, yang pernah hidup pada masa lalu, dan memerintah Kesultanan Ternate,” ujar Linda.

Memori dan arsip-arsip dari penyair dan filsuf kenamaan Tanah Air, Toeti Heraty tersimpan rapi di Cemara 6 Galeri-Toeti Heraty Museum, Jakarta. TEMPO/Adinda Jasmine

Tim film dokumenter tetap kritis terhadap prosa lirik Toeti. Ada beberapa hal yang mereka tidak sertakan dalam film karena tak memiliki bukti pendukung. Misalnya, cerita Sultan Khairun ada di Malaka. Jadi, meski ada dugaan keterlibatan Khairun, tim tidak menyertakannya dalam narasi film dokumenter.

Gembong Hardian mengatakan pembuatan film dokumenter ini berlangsung selama enam bulan, dimulai pada Mei hingga November 2023. “Kami buat ketika ada perhelatan acara adat, ritual-ritual adat, karena akan dijadikan sebagai bahan film dokumenter,” katanya. Keseluruhan gambar diambil di Maluku Utara, dari Ternate, Tidore, hingga Jailolo.

Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso mengakui karya sastra, termasuk prosa lirik, bisa menjadi referensi sejarah. Sebab, sejauh ini, karya Toeti Heraty yang tebalnya lebih dari 160 halaman itu merupakan penjelasan paling komprehensif tentang Rainha Boki Raja.  

Sumber utama prosa tersebut adalah catatan Portugal. Menurut Bondan, keabsahan dokumen itu tinggi karena posisi mereka yang hendak menduduki Ternate. Dalam perspektif sejarah, dia melanjutkan, catatan dengan perspektif seperti itu cenderung dapat dipercaya. Jadi kita bisa menyimpulkan Rainha Boki Raja merupakan tokoh yang benar-benar. "Secara keseluruhan, memiliki keabsahan yang baik," kata Bondan. "Ini bukan karya sejarah, melainkan karya prosa yang ditulis berlatar belakang sejarah.”

Lalu, di mana film dokumenter Rainha Boki Raja: Ratu Ternate Abad Keenambelas bisa kita saksikan? Inda belum bisa memberi kepastian. Saat ini tim produksi masih menunggu hasil pembahasan dengan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang menyarankan film ini diboyong ke kompetisi film dokumenter internasional. "Kami sedang garap untuk bisa sampai ke sana," kata Inda.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Adinda Jasmine

Adinda Jasmine

Bergabung dengan Tempo sejak 2023. Lulusan jurusan Hubungan Internasional President University ini juga aktif membangun NGO untuk mendorong pendidikan anak di Manokwari, Papua Barat.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus