Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Pichet Klunchun, Gerak Ke-60

Penari Pichet Klunchun, koreografer Thailand, menyajikan karya terbarunya, No. 60, dalam penutupan Indonesian Dance Festival 2022.

30 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULA-MULA dinding disorot foto kuno hitam seorang penari utama khon dalam berbagai pose. Khon adalah drama tari Ramayana yang muncul dari lingkungan istana Thailand ratusan tahun lalu. Khon dibawakan dengan kostum rumit mewah berlapis-lapis. Karakter Rama, Lesmana, dan tokoh utama lain mengenakan mahkota khas dengan wajah tak tertutupi. Adapun karakter monyet, raksasa-raksasa, memakai topeng. Khon memiliki aturan gerak yang ketat. Pakem-pakem yang detail dan rinci dari gerak kepala sampai langkah-langkah kaki. Tatanan pose-pose tubuh klasik tradisional yang tak boleh dilanggar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah itu, dinding menampilkan gambar diagram tubuh seorang penari utama khon. Gambar itu dibuat sendiri oleh Pichet Klunchun. Gambar itu seperti sebuah presentasi di Power Point yang menampilkan garis-garis penjelas atau indeks ke semua titik tubuh. Garis-garis tersebut berusaha menunjukkan dan mendeskripsikan elemen-elemen utama dalam tubuh seorang penari khon. Sebuah pembedahan terhadap tubuh yang mengurai bagaimana energi konstan mengalir. Titik-titik aksis apa yang harus dijaga oleh seorang penari khon hingga perpindahan energi dari unit tubuh satu ke lain bisa menampilkan kelembutan, keseimbangan, harmoni, dan keindahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam tiap analisis pada dinding, Pichet dan penari perempuan Kornkan Rungsawang memberi pemeragaan di panggung. Penonton bisa melihat bagaimana kedua penari itu dengan kostum biasa—bukan kostum Ramayana penari khon—menyajikan prinsip-prinsip tubuh seorang tokoh utama khon. Tubuh Pichet dan Kornkan mengikuti uraian gambar, tapi tidak terlihat mendemonstrasikan gerak-gerak klasik yang baku. Agaknya spirit prinsip-prinsip tubuh penari khon mereka terjemahkan dalam sebuah gerak kontemporer.

Penari menampilkan tarian karya Pichet Klunchun di acara Indonesian Dance Festival di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. 28 Oktober 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna

Terasa karya berjudul No. 60 ini analitis. Sebagaimana dalam koreografi-koreografi sebelumnya, Pichet menampilkan kepada kita sebuah karya yang bukan semata-mata tarian, tapi juga diwarnai “lecture”. Cara penyampaian pementasannya adalah gabungan antara kuliah, presentasi pembedahan kritis terhadap tari klasik, dan adegan-adegan yang menafsirkannya. 

Di tangan Pichet, tari klasik menjadi bahan utama, tapi tidak ditiru mentah-mentah. Dalam karyanya selalu kuat tecermin intelektualitas dan kekritisan. Ia terasa dekat—orang dalam dunia klasik yang tahu dunianya penuh aturan dan larangan tapi kemudian berusaha mengambil jarak, mengamati dunianya sendiri, lalu menampilkan “pemberontakan-pemberontakan”. Konsep ini membuat Pichet menjadi salah satu nama koreografer Asia Tenggara yang menerobos Eropa.

Masih lekat dalam kenangan, pada Indonesian Dance Festival 2008 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jérôme Bel, koreografer dari Prancis, menampilkan karya berjudul Pichet Klunchun and Myself. Bel dan Pichet duduk berdua mengenakan pakaian sehari-hari. Bel mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang dunia kepenarian klasik Pichet. Pichet menjawab sambil sebentar-sebentar berdiri memperagakan petilan-petilan adegan tari klasik Thailand. Ia menari sembari bersuara dalam bahasa Thailand. Dialog yang menarik. Serius tapi jenaka. Karya itu memberikan sesuatu yang baru. Diskusi bisa menjadi inti utama koreografi. Karya ini sangat menyegarkan. Rileks, bersahaja, cerdas, tak terduga.

Penari menampilkan tarian karya Pichet Klunchun di acara Indonesian Dance Festival di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. 28 Oktober 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna

Pada 2010, dua tahun sesudah pertunjukan di Teater Kecil itu, Tempo menyaksikan pertunjukan Pichet berjudul Nijinsky Siam di Victoria Theatre, Singapura. Pada Februari 1910, Vaslav Nijinsky, penari balet kenamaan Rusia, dengan kostum penari Thailand menampilkan pertunjukan tari tunggal Danse Siamoise di Mariinsky Theatre, Saint Petersburg, Rusia. 

Nijinsky tertarik pada tari Thailand setelah serombongan penari Rusia melakukan studi tari klasik Siam di istana Bangkok. Pada tahun itu juga ia mementaskan Danse Siamoise di Paris Opera. Pichet berusaha merekonstruksi latihan-latihan Nijinsky. Foto-foto penari Rusia berlatih tari di Thailand terbatas dan semuanya buram. Tapi Pichet menemukan partitur komponis Christian Sinding yang musiknya digunakan Nijinsky sebagai pengiring tari.

Pichet mereka-reka apa yang ditarikan Nijinsky. Di panggung layar, ia menampilkan serangkaian hasil dokumentasi buram kunjungan penari balet Rusia ke istana Thailand. Satu per satu Pichet menirukan gerakan tangan dan kaki serta posisi tubuh yang tampak dalam foto. Ia berusaha melacak gestur Nijinsky. Foto-foto itu diperbesar pada bagian-bagian tertentu hingga bisa dilihat posisi tangan atau kaki secara lebih detail. Sebuah surat ia bacakan untuk Nijinsky: “I think I know your secret, Mr Nijinsky”. Di panggung, dia sampai pada pertanyaan: Apakah yang ia lakukan? Mengulang ataukah merekreasi ekspresi tubuh Nijinsky?

Pichet Klunchun (kanan) saat memberikan workshop "No. 60 Principles" di Indonesia Dance Festival, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 26 Oktober 2022. TEMPO/Magang/Martin Yogi Pardamean

Pada 2018, di Kedai Kebun, Yogyakarta, dalam Festival Jejak-Tabi Exchange, Pichet menyajikan karyanya yang lain, I am A Demon. Pertunjukan ini dipersembahkan kepada guru tarinya, Chaiyot Khummanee, yang saat itu baru tiga tahun wafat. Judul Demon merujuk pada peran Rahwana yang sering dimainkannya dalam drama Ramayana khon. Dengan bertelanjang dada dan berkancut, ia memperagakan gerak-gerak dasar raksasa. Penonton dapat mengetahui gerak dasar Rahwana dalam membentuk otot-otot muka dan tubuhnya lantaran Pichet bertelanjang dada. Dalam koreografi itu juga ditayangkan potongan film dokumenter sosok guru Pichet saat melatih dirinya.

Karya baru berjudul No. 60 yang disajikan di Teater Jakarta ini adalah karya yang tertunda selama dua tahun masa pandemi. Uraian dan penjelasan dalam diagram tubuh yang ditampilkan ia ambil dari 59 pose pakem yang ada di dalam kitab kanon tari klasik Thailand yang disebut Thepphanom. Pose-pose ini adalah pose baku dan rigid, tidak boleh diubah-ubah. Sebagaimana tari keraton Jawa atau silat Minang, setiap pose atau jurus diberi istilah tertentu. Nama-nama itu satu per satu disajikan dalam diagram gambar. Di antaranya pose nomor 4, “Gerak Merangkai Karangan Bunga”; nomor 9, “Gerak Serangga Menyentuh Bunga”; nomor 18, “Gerak Gajah Menyikat Rerumputan”; nomor 21, “Gerak Payung Pegunungan”; nomor 24, “Gerak Rusa Berjalan”; nomor 34, “Gerak Burung Menari dan Menyanyi”; nomor 35, “Gerak Singa Bermain dengan Ekornya”; nomor 37, “Gerak Lotus yang Mekar”; serta nomor 41, “Gerak Gajah Meremukkan Bangunan”.

Peserta workshop Pichet Klunchun di Indonesia Dance Festival, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 26 Oktober 2022. TEMPO/Magang/Martin Yogi Pardamean

Di bagian akhir, Pichet hendak menampilkan pose ke-60. Suatu pose yang lebih tampak sebagai dialektika antara aturan formal dan kebebasan. Sesuatu yang belum terumuskan oleh Ramayana versi klasik Thailand. Dan kita lihat dalam adegan-adegan akhir suatu instalasi serupa gelembung besar dan panjang yang memenuhi ruangan turun dari atas, menggantung di panggung. Pichet dan Kornkan Rungsawang, di sela-sela “gelembung”, itu menyajikan permainan gerak. Komponis elektronik Zai Tang yang sedari awal berada di panggung merespons gerakan mereka. Terakhir, sang komponis mengeluarkan megafon—pelantang suara kecil—dan menyuarakan teriakan-teriakan kecil seolah-olah dalam situasi chaos.

Koreografi ini secara keseluruhan menampilkan ketegangan seseorang yang tidak bisa lepas dari tradisi tapi di sisi lain ingin memerdekakan diri, lepas dari formalitas tradisi yang membeku. Sehari-hari Pichet tetap menjadi penari khon. Ia dikenal sebagai salah seorang master khon. Ia aktif terlibat dalam pementasan kolosal khon. Tapi ia pernah mengaku bahwa eksperimen-eksperimennya di dunia tari kontemporer sering tidak dipahami dan ditolak oleh sesama penari klasik khon. Meski demikian, ia jalan terus. Ia menjadi seorang cultural commuterberjalan ulang-alik antara tradisi dan kontemporer. Ia menjadi seseorang yang terus-menerus berada dalam ketegangan kreatif antara tradisi dan kontemporer. Itulah yang menjadi sumber kekritisannya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus