Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Industri Film di Festival Cannes

Film-film nonkomersial mengandalkan pendanaan dari lembaga internasional. Dana Indonesiana menawarkan Rp 150 miliar per tahun.

11 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CHALET de Ministres adalah vila dua lantai di wilayah perbukitan Cannes, Prancis selatan. Bangunan berarsitektur Mediterania itu kokoh dengan jendela besar, halaman luas, dan kolam renang di samping kirinya. Pada malam hari, dari halamannya terlihat pendar-pendar lampu deretan kapal pesiar yang bersandar di pantai, sekitar 2 kilometer di daerah bawahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski di luar hujan dengan suhu udara 13 derajat Celsius, suasana di lantai 1 bangunan itu sangat ramai pada Kamis malam, 18 Mei lalu. Pelaku industri film dari Indonesia dan beberapa negara memenuhi ruangan. Mereka umumnya datang ke Prancis buat menghadiri Festival Film Cannes pada 16-27 Mei lalu. Malam itu, sebagian tamu berdiri di teras rumah, selasar, hingga dapur di belakang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tetamu tampak menikmati gado-gado, sate ayam, bihun goreng, dan tempe mendoan yang disajikan pada meja panjang di dapur. “Walau dimasak ala Prancis, gado-gado tetaplah gado-gado. Jadi silahkan dinikmati,” kata Reza Rahadian, yang menjadi pembawa acara. Pengunjung tertawa mendengar lelucon sang aktor. 

Adalah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim yang menjadi pemeran utama malam itu. Ditemani, antara lain, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, ia meluncurkan skema pendanaan film yang diberi nama Dana Indonesiana. “Ini adalah bentuk dukungan pemerintah untuk kemajuan film di Indonesia,” ucap Nadiem. 

Pendanaan dari Dana Indonesiana disediakan untuk pembuat film di Tanah Air yang bekerja sama dengan partner mereka dari luar negeri. Skema yang digunakan adalah pendanaan berganda alias matching fund. Besarnya US$ 10 juta atau sekitar Rp 150 miliar per tahun. “Kami akan memberikan jumlah yang sama untuk setiap film yang telah mendapatkan pendanaan internasional. Kalau lembaga internasional memberikan US$ 5 juta, kami akan berikan US$ 5 juta,” tuturnya. Tamu undangan bertepuk tangan.

Reza Rahadian di sela rangkaian acara Festival Film Cannes 2023, di Cannes, Prancis, Mei 2023. Tempo/Budi Setyarso

Dana Indonesiana bisa digunakan untuk semua tahap dalam pembuatan film: dari riset dan pengembangan cerita, produksi, pascaproduksi, hingga distribusi film secara internasional. Menurut Nadiem, skema yang bersumber dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atau LPDP ini dibuat untuk mendukung sineas dan pelaku industri film Indonesia agar bisa berkembang di kancah internasional.

Nadiem mengatakan pemerintah tidak ada masalah jika mengeluarkan dana Rp 150 miliar itu. “Yang kami khawatirkan justru tidak banyak proposal untuk menggunakan dana ini,” katanya. Sebab, syarat menggunakan pendanaan ini adalah melibatkan sutradara dan produser dari Indonesia.

Ia menyebutkan saat ini angka produksi bersama film Indonesia yang dikerjakan secara internasional sangat terbatas, yakni hanya dua-tiga film per tahun. Saat ini juga hanya ada dua-tiga film serta empat-lima film pendek yang diikutkan pada festival-festival internasional. Akibatnya, kesempatan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman bagi sineas Indonesia pun menjadi terbatas. Ia pun mengakui kebijakan pemerintah buat mendukung produksi film bersama selama ini belum ada. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan belum adanya insentif pajak buat kegiatan ini.

Skema pendanaan ini merupakan bagian terakhir dari empat tahap pengembangan film Indonesia. Nadiem menyatakan tiga tahap sebelumnya telah dilakukan, yakni menciptakan ekosistem film, menggenjot kemampuan kreatif pelaku film, serta mempromosikan film Indonesia ke ajang internasional. Pada setiap tahap itu ada skema pendanaan yang berbeda.

Proses pembuatan film, terutama untuk film nonkomersial atau “film festival”, memang biasa dikerjakan bersama-sama secara internasional. Biaya yang cukup besar dengan waktu panjang membuat para pembuat film menghimpun pendanaan dari berbagai lembaga. Tiger Stripes, film berbahasa Melayu yang memenangi penghargaan Grand Prize Semaine De La Critique Cannes 2023, dikerjakan oleh pekerja film dari delapan negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Jerman, Qatar, Prancis, Belanda, dan Taiwan. Film dengan bangunan cerita masa transisi seorang gadis ke usia dewasa itu karya film panjang feature pertama Amanda Nell Eu, sutradara asal Malaysia. Produsernya dari Indonesia, yakni Yulia Evina Bhara. “Saya senang sekali bisa mengerjakan film itu bersama Yulia,” ujar Amanda, yang juga hadir di Chalet de Minister pada malam itu.

Basri and Salma in a Never-Ending Comedy, yang masuk nomine film pendek terbaik di Festival Film Cannes, juga mendapatkan pendanaan internasional. Menurut sutradara Khozy Rizal, film itu dikerjakan di tempat asalnya di Makassar, Sulawesi Selatan. Pada proses pascaproduksi, Singapore International Film Festival memberikan hibah. “Lalu proses colour grading dilakukan di White Lab Studio, Bangkok,” tutur Khozy.

Menurut produser John Badalu, Dana Indonesiana penting, terutama karena film nonkomersial memang perlu digarap bersama-sama. Negara-negara lain, seperti Singapura dan Filipina, juga lebih dulu memiliki program pendanaan serupa. “Akan sangat membantu kalau semua negara berkolaborasi,” ucapnya.

Menurut Yulia Evina Bhara, semua negara Eropa memiliki skema pendanaan film untuk koproduksi dengan negara-negara seperti Indonesia. Dia pernah bekerja sama dengan Prancis, German, Belanda, Norwegia, Polandia, dan Swiss. Di Asia ada Taiwan Jepang, Korea Selatan, Singapura, Filipina, Thailand, juga Qatar. Jumlahnya bervariasi dalam kisaran 10-500 ribu euro. Dari pendanaan tersebut, ada yang harus memiliki koproduser dari negara pemberinya. Jadi produser film Indonesia bisa mendapatkan dana dari proposal yang diajukan sendiri ataupun dari produser negara pemberi hibah.

Sebagian besar hibah diberikan dalam bentuk jasa, bukan uang tunai. Pendanaan Singapura, misalnya, diberikan dalam bentuk proses pascaproduksi yang harus dilakukan di negara itu. Dana Indonesiana diberikan dalam bentuk tunai. Syaratnya, film yang digarap harus menggunakan sutradara Indonesia baik sendiri ataupun bersama-sama. Menurut Nadiem, ketentuan ini akan meningkatkan kualitas sutradara di Tanah Air. Skema matching fund, Nadiem menerangkan, juga membuat proses seleksi di lembaganya jauh lebih mudah. Film yang sudah berhasil mendapatkan pendanaan dari luar negeri bisa diasumsikan telah memenuhi kualifikasi pasar internasional. “Dengan begitu, prosesnya menjadi lebih transparan. Tidak memungkinkan kongkalikong buat mendapatkan pendanaan Dana Indonesiana,” ujarnya.

Selain festival film yang menghadirkan ratusan film dari berbagai negara, Cannes pada hari-hari itu merupakan pasar besar para pembuat gambar hidup. Pasar itu bernama The Marche de Film. Tempatnya mengambil dua lantai di gedung konferensi yang juga menjadi pusat festival: Palais des Festivals et des Congrès. Di sini, berbagai negara memamerkan benefit yang ditawarkan jika pembuat film internasional mengerjakan proyek di wilayah mereka. Tawarannya antara lain berupa pendanaan, potongan pajak, hingga kemudahan izin.

Dana Indonesiana juga dipaparkan pada satu forum tertutup di Palais yang bernama Spotlight Asia dan dihadiri para pembuat film. Menurut Alex Sihar dari Badan Perfilman Indonesia, peserta acara itu sangat antusias dengan peluncuran pendanaan dari pemerintah itu. Mereka menanyakan syarat mendapatkannya. Apalagi jumlah dana yang disediakan tergolong paling besar dibanding negara-negara lain. “Bahkan mungkin yang terbesar,” tuturnya.

Selain finansial, akses pendanaan internasional membuka peluang kolaborasi dari sisi kreatif. Satu film "dikeroyok" tidak hanya oleh pembuat film Indonesia, tapi juga dari negara lain yang pada akhirnya memperkaya kontennya. Keuntungan lain adalah distribusi film Indonesia ke negara-negara yang terlibat. "Biasanya kita menonton film asing di bioskop Indonesia. Nah, ini kita balik, film Indonesia tayang di bioskop negara lain," kata Yulia dari Kawankawan Media. 

Di Chalet de Ministres, tamu dari kalangan industri film masih berdatangan hingga larut malam. Mereka tampaknya baru memenuhi undangan serupa dari negara lain. Hujan masih terus mengguyur Cannes. Sejumlah tamu menggoyangkan badan diiringi musik yang diputar Kasimyn dari duo Gabber Modus Operandi. Anggota duo musik elektronik dari Bali ini pula yang menggarap soundtrack film Tiger Stripes.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Hidup dari Pasar Film Dunia"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus