Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 27 seniman Surabaya berpameran bersama.
Menyajikan berbagai karya dan kreasi.
Dari seni dua dimensi hingga tiga dimensi.
PULUHAN makhluk “masa depan” meriung dalam sebuah persamuhan. Selain alien, ada pula bentuk manusia perempuan dengan otak di luar kepala. Mereka berdampingan bersama monster binatang berbentuk tak wajar. Di belakang mereka, terparkir piring terbang berpenumpang makhluk-makhluk asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dominasi warna cerah membuat lukisan kanvas tersebut terlihat mencolok. Karya itu berjudul Evolusi Fantasi. Saputan kuas Jopram itu salah satu karya yang dipajang dalam pameran seni rupa bertema "Batas Luar" di Visma Gallery, Jalan Tegalsari, Surabaya, 30 Mei-11 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jopram mengimajinasikan kehidupan sekarang dengan perilaku, bentuk tubuh, serta pemikiran di masa depan. Menurut dia, tanda-tanda manusia modern akan menjadi “alien” di masa depan sudah tampak dengan perilaku pragmatis dan praktis yang banyak dipraktikkan saat ini. “Manusia sekarang inginnya serba simpel, lebih pada permainan pikiran,” katanya saat dihubungi.
Lewat lukisan tersebut ia mempersonifikasi pergeseran perilaku manusia dengan warna-warna cerah mencolok yang mewakili kekiniannya. Jopram mengatakan meminjam bentuk alien untuk mengekspresikan makhluk luar angkasa yang pemikirannya sering dikatakan lebih maju ketimbang manusia. Ia mewujudkan bentuk fantasinya menjadi semacam alien yang otaknya keluar dari tempurungnya sebagai bentuk kecerdasan yang melebihi manusia.
“Manusia masa depan, dalam benak saya, malah cenderung menyatu pada alam,” tutur Jopram. Pameran itu menampilkan karya 27 perupa asal Surabaya. Dari jumlah itu, lima perupa di antaranya telah berpulang. Mereka yang sudah meninggal adalah Amang Rahman Jubair, Hening Purnamawati, Ivan Hariyanto, Lim Keng, dan Tedja Soeminar. “Lukisan-lukisan mereka masuk dalam karya abadi,” ucap Irawan Hadikusumo, pemilik galeri sekaligus kurator pameran.
Karya Amang Rahman berjudul Sebuah Lagu (1996) umpamanya, Irawan mengimbuhkan, sudah melegenda. Lukisan itu menggambarkan seorang lelaki terdampar di pulau kecil tengah samudra yang gelap. Ia berusaha mencari bantuan dengan mengacung-acungkan wayang gunungan. Cahaya mercusuar yang tak jauh darinya tak menjangkaunya. “Amang Rahman bisa digolongkan pelukis legendaris Surabaya,” tutur Irawan mengenai perupa yang lahir pada 1931 dan meninggal pada 2001 itu.
Sementara itu, Karya Lim Keng dan Tedja Soeminar yang bercorak drawing mendapatkan tempat tersendiri dalam pameran itu. Walaupun hanya berupa goresan-goresan tinta sederhana di atas kertas, karakter gambarnya cukup kuat. Contohnya Anak-anak Tetangga (1961) dan Gadis Negro (1990) goresan Tedja Soeminar serta Di Kelenteng (1983) karya Lim Keng.
Dua pelukis kenamaan pada zamannya ini punya model goresan yang mirip. Mereka sama-sama pelukis sketsa. Menurut Irawan, Lim Keng sering menggambar sketsa memakai botol cuka yang diisi tinta. Ia mampu menggambar apa yang diamati di depan matanya dengan sangat cepat. Misalnya suasana pasar tradisional, sudut kota, dan peribadahan di kelenteng. Tak mengherankan bila tebal-tipisnya goresan pada karyanya tak sama. Bahkan ada sisa tetesan tinta yang dibiarkan “mengotori” lukisan itu.
“Bagi Lim Keng, sketsa adalah proses akhir sebuah gambar, kendati ada yang bilang itu justru proses awal sebelum disempurnakan dalam drawing,” ujar Irawan tentang perupa yang meninggal pada 2009 itu.
Seniman lain yang karyanya dikurasi Irawan adalah Agus “Koecink” Sukamto, Asri Nugroho, Agung Tato, Ben Wong, Benny Wicaksono, Dhanoe, Doddy “Mr. D” Hermanto, Dukan Wahyudi, Fabiola Natasha, Jenny Lee, Joni Ramlan, Jumaadi, Laksmi Shitaresmi, Lini Natalini Widhiasi, L.K. Bing, Suvi Wahyudianto, Syalabi Asya, Vincent Prijadi Purwono, dan Yoes Wibowo.
Tak semua karya yang dipamerkan berupa lukisan. Umumnya karya mereka merupakan karya dekoratif. Ada pula yang menggoreskan gaya abstrak. Lihat pula seni patung keramik karya Jenny Lee, seni rupa tiga dimensi oleh Lini Natalini Widhiasi, seni fotografi milik Suvi Wahyudianto, seni tatah sungging kulit kerbau bikinan Jumaadi, dan seni instalasi karya Benny Wicaksono. Jenny menampilkan patung-patung mini perempuan mengandung yang tengah antre untuk periksa rutin ke dokter. Karya pada 2008 itu ia beri judul Waiting.
Benny mengetengahkan instalasi berbentuk kepala robot berparuh dan diberi judul Post-Apocalyptic Robot Series, 2023. Instalasi itu ia susun dari alat elektronik bekas dari Pasar Genteng, Surabaya. Adapun Lini Natalini memamerkan seni rupa tiga dimensi berjudul Doakanlah Kami–Praying Angel yang berbahan aluminium.
Post-Apocalyptic Robot Series, 2023 karya Benny Wicaksono dalam pameran Batas Luar, di Visma Gallery, Surabaya, Jawa Timur, Juni 2023. Tempo/Kukuh S Wibowo
Foto siluet berlatar perkampungan karya Suvi Wahyudianto mencuri perhatian. Ia mengangkat tema dampak kerusuhan rasialis di Sambas. Suvi, lulusan Universitas Negeri Surabaya pada 2017, berujar, foto berjudul Fusing Shadows tersebut sebenarnya berangkat dari premisnya dalam menghadapi tragedi masa lalu. “Apakah aku yang dilihat ataukah aku yang melihatnya, sedangkan kita tak bisa lepas dari masa lalu. Kira-kira begitu,” ucapnya.
Suvi mengatakan, selepas 20 tahun konflik etnis di Sambas, ia mencoba menziarahi ruang-ruang tersebut. Ruang-ruang bekas konflik itu sampai saat ini menyebabkan etnis Madura terpaksa direlokasi dan sulit masuk ke Sambas. Pemenang UOB Award Asia Tenggara 2018 dan Young Artist Award Artjog MMXXI (2021) ini ingin mengangkat pesan bahwa sejarah peninggalan tragedi adalah luka dan kehilangan. “Dan kehilangan itu bukan saja milik korban, tapi juga pelaku,” ujar Suvi yang lahir di Bangkalan, Madura, itu.
Facing Shadow karya Suvi Wahyudianto. Dok. Visma Gallery
Irawan mengatakan ide dasar pameran tersebut adalah keinginan para insan seni memberikan kado hari jadi Surabaya ke-730. Sejauh ini, Irawan menerangkan, Surabaya dikenal sebagai kota dagang. Namun, di sisi kebudayaan, Irawan melihat kota ini masih lemah dibanding Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Kesenian di Surabaya, dia menjelaskan, masih termarginalkan. Karena itu, ia memperhalus diksi termarginalkan tersebut dengan batas luar sebagai tema pameran. “Kalau diberi ruang, kami para seniman bisa mewujudkan Surabaya sebagai kota dagang dan budaya,” tuturnya.
Sebagai pebisnis, Irawan mengaku sering kedatangan tamu-tamu luar negeri. Seusai pertemuan bisnis, mereka sering meminta Irawan untuk melihat-lihat sesuatu yang khas di Kota Surabaya. “Paling-paling saya hanya bisa membawa ke Jembatan Suramadu,” ujar Irawan
Padahal, Irawan menambahkan, para turis asing itu ingin melihat suatu tempat jujugan wisata, seperti museum dan galeri seni. Mereka umumnya ingin mengetahui budaya Indonesia. Sayangnya, menurut Irawan, museum-museum ataupun galeri seni di Surabaya sepi kegiatan. “Ada pejabat terkait bertanya, senimannya apa ada? Nah, pameran ini menjawab pertanyaan itu,” kata Irawan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dari Amang Rahman sampai Jenny Lee"