Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AT THE BOTTOM OF EVERYTHING
Sutradara: Paul Agusta
Skenario: Paul Agusta, Kartika Jahja, Leon Agusta
Pemain: Kartika Jahja, T. Rifnu Wikana, Bianca Timmerman
Kegelapan adalah warna yang senantiasa mengurungnya. Terjun ke bagian paling dasar dalam diri sendiri adalah sebuah tujuan. Di situ ia merasa ada ”ketenangan”, karena dia tahu tak ada lapisan yang lebih rendah lagi yang menantinya. Tetapi, bagaimana caranya untuk memanjat ke atas lagi, ke sebuah tahap yang biasa dianggap ”normal” dan ”wajar”?
Itulah yang disampaikan sang narator (Kartika Jahja) di dalam sebuah ruang yang disiram cahaya lampu neon. Film ini adalah sebuah testimoni seorang penderita bipolar disorder (yang biasa kita kenal dengan istilah manic-depression; sebuah diagnosis psikiatris yang menunjukkan mereka yang mengalami problem dengan perubahan emosi dan suasana hati hingga titik yang tak wajar). Disutradarai oleh Paul Agusta, seorang sineas yang mencoba memberikan kesaksian tentang pengalamannya dalam dunia gelap penderita bipolar disorder seperti dirinya. Bersama Kartika Jahja—yang kita kenal sebagai Tika dari band Tika and the Dissidents—yang juga penderita bipolar disorder, Paul menulis skenario ini, dibantu penyair Leon Agusta. Maka jadilah sebuah perjalanan yang tak nyaman menuju sebuah dunia gelap yang menjelajahi imaji Paul.
Paul sengaja membuat rangkaian adegan yang mondar-mandir antara testimoni sang narator—yang sesekali digambarkan duduk, atau merokok, atau berdiri gelisah—dan seluruh imaji yang berkecamuk di kepala serta dadanya. Tamasya imaji itu terdiri atas: adegan seseorang yang habis digerogot segerombolan makhluk berbulu (yang lebih mirip manusia tikus) yang merayap-rayap; seseorang bersimbah lumpur yang mencoba melepas dirinya dari rantai dan salib; seseorang yang dalam keadaan bugil berada di atas rakit di tengah danau. Itu semua adalah rangkaian imaji Paul yang menggambarkan titik-titik depresi sang tokoh yang selalu ingin melempar dirinya ke lapisan paling dasar dalam tubuh manusia.
Tetapi, yang menarik dari seluruh testimoni itu—meski pada pertengahan film sudah mulai terasa lamban dan melelahkan—Paul dan juga Tika berhasil merebut perhatian kita tentang apa yang berkecamuk dalam diri mereka. Untuk beberapa hal, perasaan depresi semacam ini tetap bisa mewakili siapa pun—pengidap bipolar disorder atau bukan—yang pasti pernah mengalami benturan dasar sumur itu di dalam hidup. Paul dan Tika mengajak kita menjenguknya: ini persoalan kita bersama.
Keinginan bunuh diri, oleh sang narator, dilalui dengan monolog dan ekspresi yang penuh rasa sakit justru karena dia ingin bertahan untuk tetap hidup. Ketika sang narator berseru ”no, no, no, no...” seraya perlahan menangis, kita bukan jatuh kasihan, melainkan hormat dan jatuh sayang karena kita tahu dia tengah berjuang menepis keinginannya untuk mengambil jalan pintas dalam hidup: bunuh diri. Inilah bagian terbaik dari film ini, karena kita lantas tahu, Paul dan Tika bukan tengah mengeluh dan bukan sedang cengeng. Mereka justru memperlihatkan kekuatan yang luar biasa untuk tetap hidup dengan wajar dan bahagia. ”Sepanjang saya tetap berpikir positif dan selalu minum obat...,” kata sang narator di akhir cerita, dia tahu dia bisa melalui hari demi hari. Setiap hari adalah satu langkah, dan itu sebuah pencapaian. Ini sungguh menyentuh.
Sang narator diperankan Tika dengan sangat baik, meski kita tahu dia hampir seperti memerankan dirinya sendiri. Ini adalah debutnya sebagai peran utama. Sebelumnya dia muncul sebentar dalam film Pintu Terlarang karya Joko Anwar. Film ini terpilih untuk diputar di Festival Film Rotterdam pada Februari tahun ini.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo