Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pasal Dua Tesaurus Bahasa Indonesia

12 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Remy Sylado
  • Penulis dua jilid Ensiklopedia Musik dan Kamus Bahasa & Budaya Manado

    Sewaktu Penerbit Mizan, Bandung, menyelenggarakan diskusi tentang bahasa prokem (slang, argot, lingo, billingsgate) di Perpustakaan Diknas, Senayan, lima tahun silam, Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono berkata bahwa lembaganya itu sedang mempersiapkan sebuah tesaurus bahasa Indonesia yang lengkap disertai dengan antonim, hiponim, dan meronim.

    Di akhir 2009, hadirlah tesaurus Pusat Bahasa tersebut, yaitu Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia (TABI), diterbitkan oleh Mizan. Hadirnya TABI ini setelah tiga tahun terpasarnya dengan bagus Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) oleh Eko Endarmoko, diterbitkan oleh Gramedia.

    Kebetulan awal bulan ini Mizan meminta saya menjadi pembicara kunci dalam lokakarya singkat untuk staf editornya yang diberi tema ”Bahasa Baku Tidak Selalu Benar”. Dan, di situ, sebelum membaca TABI, iseng tapi mustahak saya bertanya, apakah tesaurus ini masih juga mengeja lema ”anjangsana” seperti yang diacu oleh TBI, sesuai dengan kerancuan yang berpangkal pada pembakuan Pusat Bahasa dalam kamusnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

    Saya bertanya begitu sebab Mizan berkantor di Bandung dengan editor yang sebagian besar adalah pengguna bahasa ibu Sunda. Tentu pengguna bahasa Sunda mengerti bahwa lema ”anjangsana” keliru. Lema ini bukan bahasa Kawi seperti selama ini dikira orang, melainkan bahasa Sunda. Dalam bahasa Sunda, kata yang benar dan memang terpakai sehari-hari dalam percakapan lisan di antero tatar Sunda adalah ”anjangsono”. Dua kata yang menjadi satu istilah ini, yaitu ”anjang” dan ”sono”, melintas ke bahasa Indonesia sejak 1960-an, masing-masing berarti:

    Anjang = mengunjungi seseorang di rumahnya; diterangkan oleh Budi Rahayu Tamsyah dalam Kamus Sunda-Sunda (KSS), ”nyemah, nepungan batur di imahna” (bertamu, menemui teman di rumahnya).

    Sono = rindu, dalam pengertian ingin jumpa karena rasa cinta; diterangkan dalam KSS, ”hayang papanggih jeung nu dipikanyaah atawa nu dipikacinta” (ingin jumpa dengan orang yang membangkitkan rasa asih atau yang membangkitkan rasa cinta).

    Kekeliruan mengeja ”sono” menjadi ”sana” agaknya berkaitan dengan kemauan Bung Karno ketika datang ke Surakarta, dua tahun setelah pidato­ Manifesto Politik yang oleh DPA diterima sebagai GBHN. Kata Bung Karno waktu itu, adalah keliru mengeja­ kota ini ”Solo” dan karenanya harus diubah menjadi ”Sala” yang benar secara Kawi. Memang, dalam bahasa Jawa atau Kawi, ejaan ”a” dilafal ”o”. Misalnya­ ”tata kra­ma” dilafal ”toto kromo”, ”jawa” dila­fal ”jowo”, ”kumbakarna” dilafal ”kumbokarno”, ”harta” dilafal ”harto”, dan ”susila” dilafal ”susilo”. Demikian ru­mangsanya ”sono” dieja ”sana”.

    Cerita itu sekadar ilustrasi untuk menyimak TABI dengan apresiasi semadyanya dalam perbandingannya atau mukabalahnya dengan TBI. Dasarnya, sebagaimana diarahkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional yang punya kerja atas TABI, tesaurus yang redaksi­nya dipimpin oleh Dendy Sugono ini konon lebih lengkap sebab disertai dengan antonim, hiponim, dan meronim tersebut. Seharusnya memang begitu, tesaurus yang baru galibnya lebih baik sebab lebih lengkap dibandingkan dengan tesaurus yang telah lebih dulu ada. Setidaknya itu harapan pada TABI.

    Harapan ini bertolak dari rasa percaya pada Mizan se­bagai penerbit yang berpengalaman menerbitkan kamus paling bagus di antara kamus-kamus Indonesia-Inggris yang pernah ada: Kamus Lengkap Indonesia-Inggris karya Alan M. Stevens dan A.Ed. Schmidgall-Tellings.

    Tapi bagaimana sebenarnya harapan yang dimaksud ini terhadap TABI? Naga-naganya saya bimbang harus berkata, harapan ini bagai jauh api dari panggang. Tulisan ini merupakan kritik evaluasi yang kudu terhadap TABI. Kita mulai dengan catatan kata-kata muradif dalam kumpulan huruf a.

    TBI: abah-abah n (1) alat, gawai (kl) ), instrumen, perabot, perangkat, peranti, perkakas, perlengkapan, radas; (2) tali-temali (di perahu), tani (ark), temberang.

    TABI: abah-abah n (1) alat, gawai (kl), instrumen, perabot, perangkat, peranti, perkakas, perlengkapan, radas; (2) tali-temali, tani, temberang.

    Jelas, TABI hanya menyontek. Susunan derivasi, literal, verbal kata-kata muradif dalam lema ini tidak berubah dari TBI yang sudah lebih dulu ada. Di samping itu, cara TABI memindahkan urutan sinonim dari TBI ditandai dengan pemiskinan parafrasa. Misalnya, dalam TBI, ”gawai” di­sertai anotasi ragam ”kl”, ’tali-temali’ disertai anotasi ”di perahu”, dan ”tani” disertai pula dengan anotasi ”ark”, sementara TABI yang mengambil oper karya Eko Endarmoko itu tidak mau repot menaruh anotasi-anotasi yang pen­ting tersebut.

    Sekarang coba perhatikan susunan kata muradif yang ada dalam kumpulan huruf z.

    TBI: zona n alam, area, daerah, kawasan, lingkungan, mandala (kl), mintakat, rayon, sektor, tempat, wilayah.

    TABI: zona n alam, area, daerah, ka­wasan, lingkungan, mandala (kl), mintakat, rayon, sektor, tempat, wilayah.

    Lagi terlihat betapa TABI tidak rajin mencari dan me­nemukan padan kata yang lebih banyak, supaya dengannya menjadi lebih pepak, tapi sebaliknya gandrung meniru. Bayangkan dari kumpulan huruf a sampai z masih ada hu­ruf Latin lain dengan sejumlah lema yang diambil alih TABI dari TBI.

    Walau begitu, memang lema-lema dengan huruf q dan x tidak tersua dalam TBI, tapi justru dalam TABI. Dengan demikian boleh disimpulkan bahwa tidak seluruh bagian TABI dianggap celaka. Paling tidak, khusus lema yang berkosokbali dengan ”bodoh”, TABI kelihatan mandiri, lebih­ banyak menderetkan sinonimnya dibandingkan dengan TBI. Lema yang dimaksud ini adalah ”cerdas”.

    Di pengantar redaksi yang dipajang di jaket buku TABI ini tertera keterangan: ”Jika pengguna ingin mencari kata yang bertalian dengan kata ’cerdas’, carilah pada lema ’cerdas’, dan pengguna akan mendapatkan sederetan satuan leksikal yang maknanya bertalian dengan kata ’cerdas’, yakni arif, berbudi, berpendidikan, berpekerti, berpengetahuan, bestari, bijaksana, brilian, budiman, cekatan, cemerlang (ki), cendekia, cerdas, cerdik, cergas, encer (ki), genial, genius, gesit, giat, intelek, inteligen, lantip, pintar, ringan kepala, sempurna akal, tajam (ki), tangkas, terang akal.”

    Begitulah, di samping banyaknya kesamaan dengan TBI yang menimbulkan prasangka penyontekan, arkian ada juga bagian lema-lema yang dikerjakan dengan serius oleh staf redaksi TABI. Maka syabaslah itu.

    Mulanya saya berharap—begitu kata saya kepada orang Mizan—bahwa TABI bisa hadir cantik seperti umpama­nya tesaurus Reader’s Digest, Family Word Finder (FWF). Di situ, pada lema yang amat populer saat ini, sampai-sampai harus diurus oleh sebuah komisi khusus karena pelakunya tiada tepermanai jumlahnya, yaitu ”korupsi”, sinonimnya langsung dibawa ke kaidah akhlak. Sedangkan TBI dan TABI sama-sama memadan ”korupsi” hanya dengan kata-kata yang berkonotasi penyakit sosial.

    TBI: korupsi n kecurangan, manipulasi, (ki), penggela­p­an, penyelewengan.

    TABI: korupsi n kecurangan, mani­pulasi, (ki), penggelap­an, penyeleweng­an.

    Kedua-duanya, dengan ingatan sic erat in fatis TABI meniru TBI, memang tidak secara tegas menunjukkan ”korup­si” itu kejahatan dan dosa, seperti yang tersua dalam FWF pada ”corruption”.

    FWF: corruption n (1) dishonest practices, dishonesty, graft, bribery, fraud, shady dealings. (2) wickedness, depra­vity, evil ways, immorality, iniquity, sinfulness, debauchery, turpitude, vice, wrongdoing, degeneracy, decadence, looseness.

    Juga, lengkapnya FWF ini, selain disertai dengan etimologi, masih diingatkan dengan contoh kata dari kalimat elok yang dikutip dari pernyataan para pesastra dan filsuf. Misalnya pada lema ”corruption” ini dipilih ujaran Edmund Burke: ”He that accuses all mankind of corruption ought to remember that he is sure to convict only one.”

    Diharapkan, pada tesaurus Pusat Bahasa yang lain bisa dicapai nilai yang sejajar dengan FWF. Syaratnya, penyusunnya haruslah orang-orang sepandai Eko Endarmoko, yang bekerja karena cinta pada ladang keilmuan bahasa, dan bukan bekerja menurut model borongan proyek kejar tayang.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus