Jakarta Under Cover (Sex n' the City)
Penulis : Moammar Emka
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta, 2003
Marquis de Sade, pengarang Prancis abad ke-18, dianggap sangat berbahaya, bahkan oleh Kaisar Napoleon Bonaparte. Bangsawan cabul itu, lewat novel The 120 Days of Sodom, mengeksplorasi seluruh pengalaman erotis manusia dalam pesta-pora mesum yang melibatkan ratusan manusia bugil selama 17 minggu nonstop. Bapak sadisme Prancis itu menelanjangi hipokrisi kaum aristokrat puritan.
Moammar Emka, jurnalis, presenter acara Silet di RCTI, jebolan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, dalam buku Jakarta Under Cover: Sex n' the City menyajikan 24 kisah mesum yang lahir dari perilaku cabul sebagian kelas menengah-atas Jakarta.
Emka, seperti Marquis de Sade, mengorbankan diri memasuki berbagai pengalaman erotisme tidak lazim. Kedekatan dengan kalangan eksekutif muda gaul membuat Emka berpikir ex negativo: untuk meraih kebajikan, manusia mesti bergelut dengan kebejatan moral.
Maka, saat Amerika mengutuk film Caligula, yang dinilai menghina orang beradab, Emka ikut pesta bugil ala penguasa zalim zaman Imperium Romawi di basement sebuah gedung di Jakarta Utara. Ia menyambangi gadis-gadis "sashimi", yang tubuh telanjangnya dijadikan nampan irisan daging sushi khas Jepang. Emka mencicipi pelesiran seks bersama gadis-gadis cantik di atas mobil mewah, keliling Jakarta berjam-jam.
Industri seks metropolis sangat inovatif dan variatif menyajikan menu baru. Laporan Emka seolah membenarkan diktum pujangga besar Jawa, Ronggowarsito: "Kali ilang kedunge. Pasar ilang kumandange. Wong lanang-wadon ilang wirange (Sungai hilang kedalamannya. Pasar hilang riuh-rendahnya. Kaum lelaki ataupun perempuan tidak lagi menghiraukan martabat)." Orgasme seakan-akan tinggal satu-satunya harapan, dan dunia seolah-olah tak mampu lagi memberikan hiburan selain seks.
Buku ini berhasil menyingkap petualangan seks kaum urban Jakarta yang tersembunyi dan di luar kelaziman. Sayang, keberpihakan Emka tak jelas: mau membebaskan kaum perempuan dari jerat industri seks yang eksploitatif, ataukah justru ikut memetik keuntungan dari sensasi perbudakan seks dengan tujuan meraih ketenaran? Jika orientasinya yang terakhir, buku ini tak lebih dari panduan wisata permesuman.
J. Sumardianta,
pustakawan dan guru SMU Kolese de Britto, Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini