Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Puisi Seorang Peneliti

Mochtar Pabottingi menulis puisi. Bahasanya jernih, cerdas, dan matang dalam idiom cinta.

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam Rimba Bayang-Bayang Penulis : Mochtar Pabottingi Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Januari 2003 Tebal : xiv + 128 halaman

SEKILAS desain sampul buku tersebut mirip buku teori fisika atau biologi. Andaikata nama penyair Joko Pinurbo yang memberi catatan penutup tak tercantum di kiri bawah sampul, teka-teki tentang identitas buku itu masih berlanjut. Nama penulis buku ini lebih sering muncul sebagai penulis artikel politik atau budaya di sejumlah media cetak, bukan penulis puisi. Padahal ia sudah 30 tahun menggubah sajak. Dan ini antologi puisinya yang pertama.

Mochtar Pabottingi mengemas 29 sajaknya—yang terlalu minim jumlahnya untuk masa berkarya yang melebihi setengah usianya, tapi cukup kuat merekam peristiwa hidup serta perasaan si penyair. Agam Wispi, penyair Indonesia yang jadi eksil setelah peristiwa 1965 dan tutup usia di Belanda awal tahun ini, pernah berkata bahwa biografi penyair adalah puisi-puisinya. Dalam Rimba Bayang-Bayang merupakan biografi Pabottingi, biografi stilistika; yang tidak menggunakan bahasa sehari-hari, tapi memakai apa yang disebut Slametmulyana "kata berjiwa".

Cinta bagi penyair menjadi bahan yang tiada habis digali. Pun bagi seseorang yang banyak membahas situasi politik, ekonomi, dan sosial. Pablo Neruda, penyair besar Cile, menentang pemerintah negerinya atau negara superkuat Amerika Serikat. Tapi ia terkenal di seluruh dunia justru berkat sajak-sajak cinta, bukan puisi tentang situasi politik atau sosial-ekonomi Cile. Ketika membaca puisi Pabottingi, kita seolah diajaknya bertamasya dari kota ke kota, menyaksikan betapa mahir ia mengungkap cinta yang ditemui di Jakarta, Honolulu, Madison di musim dingin, atau tempat yang tak disebutkan pasti, dengan rasa sepi, rindu, gelisah, juga hampa, seperti yang ditunjuk Tentang Kesetiaan.

Tatkala dia lebih banyak bercerita dengan matanya
kutunjukkan padanya sedikit
keahlianku bermain kartu
diselingi cerita-cerita yang kuharap bisa lucu
meski dengan kata-kata yang tergagap degup jantungku

Lalu kuajak dia berjalan di sepanjang makai. Menatap ke arah Waikiki
saat langit menjelang rembang
saat awan-awan layang
saat dedaunan di tanah menggerai bayang-bayang
Suatu hari, Myung, kau akan mengerti

Tentang cinta yang lain. Tetapi juga tentang kesetiaan yang tak pasti

Pabottingi berangkat dari ungkapan sederhana dan telanjang menuju bahasa yang lebih puitis, kaya metafor, dan sublim. Surat buat Seorang Hipi (1971) memakai ekspresi Maka kau pun kugumul/di atas ranjang lantai kelima. Sedangkan Bertutur Ketika Salju (2001) menggunakan Maka kristal-kristal sperma pun abadi/Lebur dekap ke dalam indung bumi. Dalam sajak-sajak cinta, ia mencapai kematangannya.

Sejumlah sajak Pabottingi mengetengahkan hubungan manusia-Tuhan. Rupanya ia bukan hanya seorang pemuja yang saleh, melainkan juga penggugat yang filosofis. Nilai-nilai adalah sesuatu yang semu/katamu. Dan aku mengangguk/tertegun menatap matamu yang berapi/"Kau tentu percaya pada Jonathan Livingston Seagull."/"Yep! Ruang ada karena aku. Tuhan ada karena aku. Langit kelabu/ karena sayapku. Senja merah karena paruhku/Nafasku memenuhi udara. Di mana-mana tertulis kalamku!"

Namun ia terkadang letih dan memilih berdamai, seperti dalam bait terakhir Untuk Mati: Malam ini kurebahkan/Seluruh diriku/Di altar kremasiMu.

Ketajaman Pabottingi menganalisis kondisi sosial-politik Indonesia di berbagai artikel media itu terlihat pula dalam sajak-sajaknya. Dalam Kesaksian untuk Indonesiaku, ia bertolak dari sejarah ketertindasan bangsa Indonesia, dari kedatangan maskapai dagang kompeni yang mengangkuti rempah-rempah Nusantara, agresi Belanda selama 69 tahun di Aceh, sampai berkuasanya pemerintah Orde Baru yang menginjak-injak hak asasi. Protes dan kemarahan Pabottingi tertuju pada penguasa Orde Baru: Soeharto menggiring kita menjadi bangsa yang serba bangkrut/kembali menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa!/disertai tumpukan hutang raksasa/yang membebani kita hingga tujuh generasi/beserta warisan moral rongsokan bagi anak negeri!

Namun puisi tak semata bertumpu pada nalar dan sikap kritis. Puisi lebih estetis, memerlukan ruang renung, agar tak jatuh dalam semangat pamflet atau orasi. Ini masalah yang dihadapi sebagian penyair yang melihat ketidakadilan sebagai ide besar dan menulis di tengah emosi.

Nah, 29 sajak Mochtar Pabottingi dalam antologi ini tak akan membuat kening berkerut. Bahasa tuturnya jernih, cermat, dan cerdas, juga kaya referensi. Barangkali lantaran ia punya bacaan luas dan pengalaman sebagai peneliti.

Linda Christanty, penulis cerita pendek

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus