Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wadah seniman teater lintas negara menggelar pertunjukan di Jakarta dan Bandung.
Pertunjukan teater berjudul TERA menyuguhkan nasihat damai dan kosongnya keserakahan manusia.Â
Pentas TERA menyuguhkan penampilan teater yang interaktif.Â
Puluhan muyu alias ikan kayu dibagikan kepada pengunjung yang datang ke Kedai Tempo, Komunitas Utan Kayu, Jakarta, Jumat lalu. Jangan bayangkan muyu atau ikan kayu sebagai jenis makanan atau patung berbentuk ikan yang terbuat dari kayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muyu adalah sebuah instrumen musik perkusi yang terbuat dari kayu. Bentuknya cenderung membulat dengan ukuran beragam. Adapun yang dibagikan kepada pengunjung pentas seni malam itu berukuran sebesar kepalan tangan pria dewasa. Muyu itu lengkap dengan bantalan alas dan tongkat kecil sebagai pemukul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika masih bingung, muyu atau ikan kayu ini kerap dipakai sebagai salah satu sarana sembahyang umat Buddha. Biasanya muyu dipukul-pukul dengan irama tertentu ketika biksu membacakan sutra atau kitab agamanya.
Selanjutnya pentas berjudul TERA pun dimulai. Musikus dan komposer Lawe Samagaha memulai dengan memukul berbagai alat musik perkusi khusus yang ia bikin sendiri. Sekilas alat musik tersebut mirip meja mimbar kecil dan terdiri atas beberapa bagian.
Ada yang berbentuk besi panjang mirip teralis baja yang dibuat bergelombang. Sekali pukul, suara menggelegar terdengar seperti rangkaian gong yang ditabuh bersamaan. Dari alat itu pula terdapat dawai yang cara memainkannya mirip selo.
Setelah beberapa detik tampil, Lawe, yang ditemani pemain teater Sugiyanti Ariani, menyapa pengunjung. Rupanya pentas kali ini memang interaktif. Mereka mengajak penonton berinteraksi, bahkan bermain musik bersama.
Medianya sudah pasti muyu atau ikan kayu itu. Lawe mengajak penonton memukul-mukul muyu, membuat beberapa irama sederhana. Sembari penonton memainkan muyu, Lawe sibuk menggebuk sebuah panci bekas yang ia sulap seperti drum. Meski terdengar acak-acakan, pentas menjadi meriah karena semangat penonton.
Penampilan Sugiyanti Ariani sebagai Mitsuko Kyogoku dalam pertunjukan TERA di Kedai Tempo, Komunitas Utan Kayu, Jakarta, 12 Januari 2024. TEMPO/Indra Wijaya
Selanjutnya giliran Sugiyanti yang tampil. Dengan kemampuan aktingnya, ia bermain peran. Ia mengisi dua karakter bergantian, yakni Mitsuko Kyogoku dan sahabatnya, Noboru. Mitsuko dan Noboru merupakan teman sekaligus tetangga.
Mereka adalah anak kepala kuil. Meski Mitsuko dan Noboru bersahabat, ayah mereka justru seperti anjing dan kucing. Ada saja hal yang diributkan. Misalnya, ayah Mitsuko sering membuat kegaduhan dengan bunyi tok-tok-tok dari ketukan muyu. Kegaduhan itu seketika menyambar emosi ayah Noboru.
Sementara itu, ayah Noboru punya kebiasaan membuat pupuk dari kotoran dan kencing manusia. Sayangnya aroma busuk menusuk hidung selalu mampir ke rumah Mitsuko, yang disambut amarah sang ayah. Bahkan ayahnya membalas dengan memukul ketukan muyu hingga lonceng kuil semakin kencang.
Meski ayah mereka saling benci, Mitsuko dan Noboru sepakat tak ingin meneruskan perseteruan tersebut. "Kini ayah kami sudah meninggal. Noboru sudah jadi kepala kuil sebelah menggantikan ayahnya. Kami janji tidak akan seperti mereka," kata Sugiyanti saat memerankan Mitsuko.
Pentas tersebut juga diisi aksi Sugiyanti menyanyikan beberapa lagu yang aslinya diciptakan oleh seniman Jepang, tapi disadur menjadi bahasa Indonesia. Sekali menyanyi, perempuan berambut pendek dan berkacamata itu berganti pakaian.
Dalam babak terakhirnya, Sugiyanti ditemani seorang biksu muda asli Jepang bernama Taiki Yoshikawa. Taiki membacakan kitab sembari memukul-mukul muyu atau ikan kayu. Sementara itu, Sugiyanti tampil membacakan semacam sajak dengan tempo cepat.
"Yang saya bacakan adalah sutra empat sumpah untuk menyelamatkan manusia," kata Taiki dalam bahasa Jepang.
Taiki mengatakan sewajarnya manusia memiliki keinginan yang tak berujung. Namun keinginan berlebih ini hanya akan menjadi penyebab utama penderitaan manusia.
Sutradara pentas Yukari Sakata mengatakan kitab yang dibacakan Taiki adalah sungguhan. Yukari menjelaskan, pentas ini sudah pernah ditampilkan di Jepang, tepatnya di sebuah kuil kecil, beberapa tahun lalu. Isi dan materi pentas pun sama dengan yang dimainkan di Jakarta, Jumat lalu. "Hanya bahasanya disesuaikan dengan bahasa Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, komposer Lawe Samagaha mengatakan, meski lakon yang dimainkan asli dari seniman Jepang, ia masih diberi kebebasan merangkai komposisi musiknya. Meski begitu, terdapat beberapa tantangan yang harus dia selesaikan.
Salah satu penggagas komunitas seniman lintas lima negara TERASIA, Maho Watanabe, setelah pentas TERA di Kedai Tempo, Komunitas Utan Kayu, Jakarta, 12 Januari 2024. TEMPO/Indra Wijaya
Salah satunya menerjemahkan lirik lagu-lagu bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia. Sekilas terlihat gampang. Namun, bagi Lawe, ini pekerjaan rumit. Sebab, layaknya lagu, lirik harus sesuai dengan nada. "Sementara itu, setelah diterjemahkan, ada perbedaan suku kata yang tidak cocok dengan iramanya," kata Lawe.
Walhasil, ia terpaksa menghapus beberapa lirik dan menggantinya ke dalam bahasa Indonesia dengan arti yang mendekati teks aslinya. Selain itu, ada dua lagu yang memerlukan pendekatan khusus. Sebab, biasanya lagu dimulai dari jatuhnya ketukan, sedangkan pada dua lagu ini justru dimulai sebelum musik dimainkan.
"Tantangan terberat lain, mengajak penonton berinteraksi dengan ikan kayu," katanya.
Pentas TERA merupakan salah satu rangkaian kegiatan Sua TERASIA yang digelar di Indonesia. TERASIA adalah sebuah wadah seniman teater dari lima negara, yakni Jepang, Indonesia, Thailand, Myanmar, dan Vietnam. Wadah ini lahir pada masa karantina akibat pandemi Covid-19. Pembatasan sosial membuat berbagai kegiatan seni ikut terkena dampak.
"Meski pandemi membuat tidak bisa bertemu, ide seni itu masih bisa dikirim ke seniman lain," kata salah satu pendiri TERASIA, Maho Watanabe.
Setelah pandemi usai, TERASIA memutuskan berkumpul di Indonesia dan menggelar berbagai kegiatan. Selain memainkan pentas teater TERA, mereka akan melakukan beberapa kegiatan lain, termasuk mendiskusikan karya kolektif yang bisa dihasilkan pasca-pandemi.
Pentas TERA ditampilkan di dua kota, Jakarta dan Bandung. Untuk di Jakarta, pentas akan digelar di studio Teater Kubur pada 13 Januari 2024. Selanjutnya pentas akan berpindah ke Bandung, tepatnya di studio Teater ISBI dan Selasar Sunaryo Art Space, pada 17-19 Januari mendatang.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo