BROTHER ENEMY Oleh: Nayan Chanda Penerbit: Harcourt Brace Jovanovich, 1986, 477 halaman KERAP kali hasil karya wartawan lebih menarik. Sistematis dan mendalam dari tulisan sarjana atau ilmuwan dari perguruan tinggi atau pusat pengkajian. Kemampuan menelusuri permasalahan sosial, ekonomi, dan politik kesempatan wawancara dengan sumber-sumber primer dan pelaku sejarah, dan yang paling penting keterampilan menulis dengan gaya bahasa memikat menghasilkan karya yang mampu memadukan sejarah dan perkembangan sesaat. Nayan Chanda, wartawan Far Eastern Economic Reviev yang berpendidikan Universitas Sorbonne, Prancis, adalah salah seorang yang memiliki keterampilan ganda itu. Keahlian yang jarang dipunyai wartawan lain. Dalam buku Brother Enemy, ia mengisahkan "perang setelah peperangan, sejarah Indocina setelah jatuhnya Saion" pada bulan April-Mei 1975. Kisah Perang Indocina ketiga inilah yang menjadi tema sentral buku ini, yang akan merupakan referensi terbaik mengenai seluk-beluk pertikaian di sana. Para penulis, pengarang, dan pakar diplomasi akan lama memanfaatkan karya ini sebagai contoh kemampuan analisa tinggi dengan keterampilan penulisan yang komunikatif. Pertikaian Vietnam-RRC-Kamboja, yang hingga saat ini belum juga menunjukkan tanda-tanda reda, dipaparkan melalui pendekatan historis: Bahwa baik sejarah kuno maupun sejarah kontemporer merupakan sebab utama permusuhan RRC dan Vietnam yang berlarut-larut hingga sekarang. Ada juga uraian geo-strategis, dalam arti bahwa Vietnam adalah korban pergeseran hubungan politik antara negara-negara besar (RRC, Uni Soviet, Amerika Serikat) selama tahun 1950-an, 1960-an bahkan tahun-tahun akhir 1970-an, tatkala perubahan segitiga Soviet-RRC-Amerika menegaskan, betapa mudah dan cepat persekutuan berubah antara sesama negara komunis. Dalam pada itu, Vietnam juga korban naluri dasarnya untuk mengamankan seluruh wilayah Indocina dalam satu kerangka strategis -- satu mandala tempat segala unsur politik, ekonomi, dan sosial di negara-negara sekitarnya, terutama Kamboja -- langsung berada di bawah pengawasannya. Akibat kerangka strategis ini, Vietnam rela menantang segala kecaman dunia sekitar apa yang dilakukannya sejak Januari 1979 melalui penempatan pasukan-pasukan Vietnam di Kamboja. Mata rantai curiga-mencurigai inilah salah satu tema sentral bagian awal buku. Bangsa Kamboja tak selamanya dapat menerima kenyataan bahwa saudara tuanya dari Vietnam menginginkan kerangka strategis yang pada dasarnya mengurangi rasa kebanggaan nasional orang Kamboja. Pada gilirannya orang Vietnam tak akan membiarkan "saudara kecil"-nya diperalat "saudara tua" yang lebih besar (Cina) dalam urusan yang melibat pemantapan kerangka strategis Vietnam. Di tengah analisa tentang perubahan siasat strategis ini, ada beberapa unsur pokok lain yang bersifat subnasional: kesukuan, pertentangan tradisi budaya, dan cara pandang yang berbeda akibat pengalaman politik kontemporer yang amat bertolak belakang. Misalnya, RRC tak sudi melihat warga negara Vietnam keturunan Cina dipaksa keluar dan disita hak miliknya di daerah pecinan Cholon di Saigon (sekarang Kota Ho Chi Minh), setelah kemenangan Vietnam di Vietnam Selatan dan terutama setelah penyatuan Vietnam Utara dan Selatan diresmikan September 1976. Tindakan Vietnam "mempribumikan" perekonomian Vietnam dari "lintah-lintah darat Cina" bukan saja membuat pemimpin Beijing marah besar. Tindakan itulah yang merupakan salah satu sebab mengapa akhirnya RRC harus bertindak memberi pelajaran kepada Vietnam dalam perang Februari-Maret 1979. Lagi pula, RRC memandang para pemimpin Vietnam tidak berterima kasih atas bantuan RRC kepada Vietnam selama peperangan melawan Amerika 1961-1975. Sebaliknya, dengan terinci, Chanda menggambarkan betapa para pemimpin Khmer Merah, di bawah Pol Pot dan leng Sary, kurang berterima kasih atas setiakawan perang gerilya yang telah diberikan oleh tentara Vietnam selama perang melawan Lon Nol dan Sihanouk. Hal-hal yang amat menarik dari buku Chanda ialah kemampuannya mengungkapkan perkembangan-perkembangan makrostrategis seperti akibat pendekatan RRC-Amerika selama tahun 1978-1979 yang makin mengimpit ruang gerak Vietnarn membuka diri terhadap jaringan hubungan yang lebih luwes, sehingga akhirnya harus menandatangam perjanjian persahabatan dan kerja sama dengan Uni Soviet, November 1978. Kemampuan ini diimbangi dengan kejeliannya memperhitungkan faktor-faktor kepribadian pemimpin dalam menentukan arah perkembangan bangsa dan negaranya. Misalnya kegelisahan Pangeran Sihanouk di Hotel Waldorf Astoria, New York, 13 Januari 1979. Ia menyelipkan secarik kertas ke tangan dinas rahasia Amerika, berisi pesan kepada pemerintah Amerika: ia ingin keluar dari cengkeraman orang-orang Khmer Merah yang menguntitnya ke mana-mana betapa ikhtiar Sihanouk akhirnya mengakibatkan dubes Amerika di PBB, Andrew Young, yang berkulit hitam, tak sempat menghadiri perayaan hari ulang tahun Martin Luther King Jr. esok harinya. Nayan Chanda menjelang akhir bukunya, mendaftar sejumlah permasalahan diplomasi yang dihadapi RRC, Uni Soviet, dan Amerika Serikat. Adalah kebetulan strategis bahwa pada saat Presiden Jimmy Carter dan penasihat keamanan nasionalnya ingin membuat "terobosan baru" dengan RRC, ikhtiar itu makin mengucilkan pejabat-pejabat departemen luar negeri Amerika, yang ingin mengajak hubungan baik dengan Hanoi. Karena peran RRC dalam mengimbangi kekuatan Soviet jauh lebih berbobot, para penganjur hubungan baik Amerika-Vietnam kalah angin. Itu adalah salah satu dari banyak kisah sampingan sekitar nasib negara kecil di tengah-tengah pergeseran negara-negara gajah -- diinjak dan dikesampingkan. Juwono Sudarsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini