Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Perginya Profesor Cuek

Pandangannya yang terbuka membuat Ayatrohaedi jadi arkeolog sekaligus ahli dialektologi pertama di Asia Tenggara.

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini terasa ada yang hilang di kam-pus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, De-pok. Tak ada lagi sosok yang gu-yonannya kerap membuat ramai ruang dosen atau kelas. Pun tiada lagi pria sedikit tambun berkacamata tebal yang tak pernah mau memakai sepatu.

Dialah Profesor Ayatrohaedi. Mang Ayat—panggilan akrab sang profesor—meninggal dunia di Sukabumi, Jawa Ba-rat, pada Sabtu 18 Februari 2006 akibat penyakit lever.

Di mata kawannya, Profesor Mundarjito, yang juga arkeolog senior, Mang Ayat adalah sosok guru besar yang do-yan membanyol, cuek, dan santai. Sikap itu sudah muncul sejak 1959 saat kedua-nya masih indekos bersama di salah sa-tu ruang kuliah di Fakultas Sastra UI, yang ketika itu berada di Jalan Diponegoro, Jakarta.

Mundarjito mengatakan, meski terke-san slebor, sang sahabat amat pintar menuangkan isi kepalanya ke dalam tulis-an, tanpa konsep atau skema. ”Se-per-ti bo-cor begitu saja,” katanya kepada Tempo.

Hanya, mahasiswa Jurusan Arkeologi UI mengenal si penggila cerita silat Kho Ping Ho itu sebagai dosen yang paling malas mengajar. Ketika mahasiswanya memprotes suatu kali, Mang Ayat pun menurut dan datang ke kelas. Namun, apa lacur, sosok yang piawai menangkap kodok ini hanya membagikan tugas satu semester. ”Setelah itu, Almarhum bolos lagi,” kata Sugih Nugroho, salah seorang bekas mahasiswanya.

Di rumah, ia tak seramai di kampus. Putri bungsunya, Asri Nuraini, 25 tahun, mengenangnya sebagai ayah yang pendiam. ”Mungkin beliau merasa di rumah adalah tempatnya istirahat,” kata Ayi, panggilan akrab Asri. Sikap itu malah membuat Ayi dan kedua kakaknya tumbuh mandiri.

Mang Ayat adalah ilmuwan sejati. Ta-ngan dinginnya sebagai arkeolog membawanya sebagai penemu candi batu ba-ta di Cibuaya, Karawang. Temuan ini telah mematahkan teori selama 30 tahun bahwa masyarakat kuno Jawa Barat tak bisa membangun candi sebagaimana di Jawa Tengah dan Timur.

Almarhum juga terbuka terhadap bidang ilmu lain. Disertasi doktornya, Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa, yang diselesaikan di Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 1979, merupakan kajian dialektologi.- Di-sertasi ini menempatkannya sebagai ah-li dialektologi pertama di Asia Teng-gara.

Kegandrungannya pada bahasa membu-at Almarhum getol mengubah pe-nyebut-an istilah-istilah asing menjadi -is-ti-lah lokal. Arkeologi disebutnya widyapurba. Linguistik disebutnya wi-dyaba-sa. Isti-lah local genius pun digan-tinya de-ngan cerlang budaya. Namun, upaya-nya kurang populer. Bahkan Al-marhum sempat berse-lisih pendapat dengan seniornya dan di-tuduh seba-gai penye-le-weng karena mengambil di-sertasi b-ukan dalam bidang arkeologi.

Seperti biasa, Mang Ayat menanggapinya de-ngan santai. Dalam salah satu makalahnya yang di-ter-bitkan Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya pada tahun 2004, ia mencerita-kan kejadian itu dengan nada bercanda, ”Saya ha-nya tersenyum dikulum sambil diam-diam ’sakit ha-ti’ dikatakan penye-le-weng.”

Mang Ayat, yang lahir 66 tahun lalu di Jatiwa-ngi, Majalengka, seperti di-lahirkan dengan talenta lengkap. Sebagaimana kakak kandungnya, sas-tra-wan Ajip Rosidi, ia juga me-nulis sejumlah puisi dan prosa sejak 1955 sampai 1956.

Karyanya antara lain Hu-djan Munggaran (1960), Kabogoh Tere (1967), Pa-ma-pag (1972), Panji Segala Raja (1974), Pabila dan Di Mana (1976), Senandung Ombak (1976), dan Kacamata Sang Singa (1977).

Aktivitasnya di bidang kepurbakala-an, budaya, dan kesenian mengantarnya menjadi Ketua Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia pada 1983-1987, Pembantu Rektor Institut Kesenian Jakarta tahun 1989-1994, dan Pembantu Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1999-2000.

Lepas dari jabatan-jabatan itu, pro-fesor berlidah cadel ini masih aktif menga-jar, ceramah, menguji mahasiswa, dan mengikuti seminar, meski kondisi kese-hatannya mulai menurun. Setelah di-rawat selama dua pekan di Rumah Sa-kit PGI Cikini dan dua pekan men-jala-ni peng-obatan alternatif di Sukabumi, s-uami Sri Yuniati, 60 tahun, ini pun menye-rah.

Minggu pekan lalu, diiringi ratusan pe-layat, jenazah Mang Ayat dibaringkan di pemakaman umum Depok Utara. Selintas terkenang sebuah ungkapan Sanskerta yang dicelotehkannya pada akhir 2004 lalu. ”Yad abhavi tad nabhavi, bhavu chenna na anyata.” Apa yang tak terjadi, takkan terjadi. Jika terjadi, tidak akan lain jadinya.

Deddy Sinaga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus