Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Gurun

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karikatur itu mencemooh Nabi. Ilmu itu tak percaya bahwa alam semesta diciptakan seperti dikatakan Alkitab. Puisi Amir Hamzah menyebut Tuhan ”ganas” dan ”cemburu” dan sajak Rendra meng-gambarkan Yesus merangkul seorang pelacur yang mengidap raja singa. Sebelumnya: Nietzsche mengatakan ”Tuhan telah mati”....

Bisakah agama hidup bersama dengan ekspresi seperti itu—hal-hal yang tak dapat dilepaskan dari pengalaman manusia yang terdorong oleh sejenis impuls buat bicara bebas?

”Manusia dihukum untuk merdeka”, kalimat terma-syhur ini dituliskan Sartre pada tahun 1946. Dalam kata-kata yang terdengar seperti oksimoron itu, yang mengesankan tak masuk akal karena isinya bertentang-an—”kemerdekaan” adalah ”hukuman”—tersirat sesuatu yang tragis dalam hidup kita: apa boleh buat, pada akhir-nya kemerdekaan tak bisa kita elakkan. Bahkan ketika se-seorang menyatakan ”aku tidak bebas”, ia sebenarnya te-lah memilih sendiri salah satu dari beberapa kemungkin-an. Dalam memilih ia mungkin meminta nasihat atau petunjuk orang lain, tapi tak berarti ia tak dapat menampik nasihat atau petunjuk itu. Bila dianalisis sampai akhir, selalu akan tampak ia sendiri, dengan kemerdekaannya, yang menentukan.

Memang kenyataan itu membuat gentar. Kebebasan, seperti nasib, adalah kesunyian ma-sing-masing. Seandainya manusia ia hanya a-ki-bat—dan tak pernah jadi sebab—seandainya ia terus-menerus di hadapan, dalam kata-kata Kant, ”Tuhan dan keabadian, dengan keagung-annya yang membuat jeri”, kebanyakan lakunya akan dilakukannya karena rasa takut, sebagian kecil karena berharap, dan tak ada satu pun yang dilakukan karena kesadaran yang datang dari diri sendiri.

Tapi manusia, suka atau tak suka, tak selamanya ber-dekatan dengan ”Tuhan dan keabadian”. Diakui atau t-idak, manusia tak berada langsung di bawah titah yang jelas, bahkan jauh dari tuntutan yang pasti, jalan yang siap. Ia tak berada di balairung hukum dan aturan, dika-wal para pakar dan aulia; ia berada di Gua Hiranya sen-diri, di mana ketika Yang Kudus menyentuh pundaknya, ia terkesima, gemetar, berkeringat dingin, dan mencoba bersembunyi di bawah selimut. Tapi di situ juga ia tampak dalam ketulusannya, justru dalam suasana tragisnya.

Suasana tragis itu adalah ibarat gurun pasir. Dalam seminar tentang agama yang diselenggarakan di Capri pada akhir Februari 1994, yang dibukukan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Religion (de-ngan editor Jacques Derrida dan Gianni Vattimo), Vincenzo Vitello menggunakan paradigma gurun pasir ini dengan mengingatkan kita akan perjalanan Musa yang akhirnya tak melihat Tanah Yang Dijanjikan. Di gurun itu, Tuhan mengiming-imingi manusia dengan sebuah akhir, kelak, tapi yang hadir hanya tanda dan isyarat. Kaki langit jauh. Manusia seperti berjalan terus-menerus di negeri yang hanya sedikit dikenalnya: terkadang tak betah, terkadang didorong rasa ingin tahu.

Mungkin ini memang ”hukuman”. Tapi benarkah hu-kum-an itu akan selesai, jika manusia akhirnya mengetuk pintu sebuah rumah yang pasti? Bisakah? Dan benarkah dengan demikian ia tak akan kehilangan sesuatu yang selama itu hidup dalam tubuh dan jiwanya?

Saya ingat akan sajak ”Doa” Chairil Anwar:

Tuhanku Aku mengembara di negeri asing

Di pintu-Mu aku mengetuk Aku tak bisa berpaling

Keadaan ”tak bisa berpaling” mungkin sebuah penyelesaian, tapi mungkin juga membuatnya seperti patung. Pada awal tahun 1940-an Erich Fromm, yang menelaah dengan seksama kelakuan manusia, memperingatkan akan gejala ”takut akan kebebasan”, yang tampak ketika manusia membiarkan diri jadi patung yang berbaris, dalam kolektivitas yang selalu seia sekata dengan gemuruh—dan lahirlah kekuatan dan ideologi politik yang totaliter.

Agama—dan tak hanya Naziisme atau Komunisme—sering jadi tempat menampung rasa takut akan kebebasan itu. Agama tak jarang mencoba menggantikan Gua Hira yang sepi, dengan menyatakan diri sebagai penghimpun orang yang ”tak bisa berpaling”. Agama sering kali menghentikan pengembaraan di gurun dan gua, dan membuat dirinya seperti mampu membuka cadar yang di Sinai menghalangi Musa.

Vincenzo Vitello, bertolak dari sejarah agama Kristen, menyebut semangat itu bermula pada Paulus. Dalam surat keduanya kepada orang Korintha, Paulus berjanji bahwa ”cadar itu akan ditanggalkan”. Dan dengan itu pula, manusia bisa seakan-akan berhadapan langsung dengan Tuhan dan ke-maha-tak-terbatasan. Yang Kudus pun di-terjemahkan jadi aturan hidup. Tuhan dan dunia disatukan. Iman dan hukum dicampur.

Paulus, kata Vitello, dengan demikian ”men-sekuler-kan kepercayaan Kristiani”. Ia menjadikannya ”sebuah kekuatan dalam sejarah”. Agama Kristen dalam sejarah ini adalah ”agama dari dunia yang sepenuhnya tak ditutupi cadar”.

Mungkin juga agama orang-orang yang sudah menge-tuk pintu, berhenti dari perjalanan mengembara di negeri a-sing, dan ”tidak bisa berpaling”.

Sebab itulah agaknya agama-agama dewasa ini gampang marah melihat orang-orang yang masih selalu mampu berpaling, yang masih selalu mengembara, membuka kembali pintu ke gurun, tempat Musa—yang tak diperkenankan melihat wajah Tuhan—mencoba menebak kehendak-Nya terus-menerus. Di sana tanda-tanda tetap merupakan t-an-da--tanda, bukan kebenaran itu sendiri. Di sana banyak hal belum selesai, dan agaknya tak akan pernah selesai.

Akan berhasilkah agama meniadakan yang tragis dalam kehidupan manusia itu? Agaknya tidak. Bagaimanapun, gurun dan gua belum sepenuhnya dialahkan, dan cadar selalu kembali seperti kabut. Manusia bisa tersesat, tapi sejarah menunjukkan bahwa iman tak akan musnah ketika manusia kembali mengembara. Tuhan tak pernah jadi bagian benda-benda yang terang.

Walhasil, para padri dan ulama akan tetap harus meng-hadapi kenyataan itu: entah sejak kapan, memang ”manusia dihukum untuk merdeka”.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus