Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA pelaku bursa -sa-ham Jakarta lumayan panik, Selasa pekan lalu. Pelaku pasar ramai-ramai menjual saham bank yang mereka pegang sehingga saham perbankan di bursa langsung rontok. Mereka khawatir atas pernyataan pejabat Bank Indonesia dalam rapat de-ngan Komisi Keuangan DPR, Senin malam.
Ketika itu Deputi Gubernur BI, Siti Ch. Fadjrijah, mengungkapkan bahwa PT Bank Mandiri Tbk dan PT Bank Negara Indonesia Tbk masuk pengawasan intensif. Alasannya, rasio kredit seret (NPL) kedua bank itu terlampau tinggi, jauh di atas ketentuan BI, 5 persen. NPL Mandiri mencapai 24,5 persen, dan BNI sekitar 14,4 persen per September tahun lalu.
Menurut Fadjrijah, keadaan ke-dua bank raksasa itu memang berat. Sebagai gambaran, bila kredit se-ret Mandiri dan BNI tak dihitung, rata-rata kredit seret bersih perbankan nasional di bawah 5 persen. Namun, rasionya melonjak jadi 8,5 persen setelah kedua bank itu dihitung.
Berdasarkan peraturan BI, satu bank akan diawasi intensif jika menghadapi kesulitan yang membahayakan bisnisnya. Dalam kondisi ini, BI menempatkan pengawas di bank itu, meminta bank membuat rencana tindakan atas masalah yang dihadapi, serta memantau intensif tindakan itu.
Analis perbankan, Djoko Retnadi, mem-benarkan bahaya itu. Kredit seret itu mempengaruhi besarnya pencadang-an yang harus mereka sisihkan, sehingga menggerus laba dan menurunkan ki-nerja bank. Pada triwulan ketiga t-ahun lalu saja, laba bersih Mandiri jeblok hingga 73 persen menjadi Rp 1,23 tri-liun.
Tindakan bank sentral mengawasi secara intensif, menurut Djoko, akan menghambat mereka untuk ekspansi kredit, mengembangkan teknologi, serta menciptakan sumber-sumber bisnis atau pendapatan baru. ”Manajemen harus fokus menyelesaikan kredit bermasalah,” katanya, pekan lalu.
Padahal, Mandiri dan BNI adalah bank terbesar pertama dan ketiga di Indonesia. Jika digabung, keduanya me-nguasai 27 persen pangsa pasar nasio-nal. Artinya, perannya sangat strategis bagi perekonomian nasional. Persoalannya, masalah penyelesaian kredit seret ini sudah berlarut-larut. ”Kalau begini terus, mereka bisa tertinggal oleh bank lain,” ujar seorang bankir.
Ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, mengingatkan kemungkinan rekapitalisasi kembali terhadap bank-bank itu. Alasannya, sebagian besar debitor bermasalah adalah nasabah kakap. Di Bank Mandiri saja, dari seluruh debitor bermasalah senilai Rp 24,5 triliun, 75 persennya adalah nasabah besar. Artinya, jika satu debitor menunggak utang, pencadangan yang disisihkan juga besar sehingga bisa merugikan dan menggerus modal bank.
Pertanyaannya, mengapa kredit bermasalah bank pelat merah bisa be-gitu tinggi? Menurut seorang bankir, itu ka-rena penyerahan kredit macet ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional belum tuntas. Penyaluran kredit secara tidak hati-hati masih terjadi setelah krisis ekonomi, termasuk pembelian aset-aset BPPN.
Namun, ada pula faktor eksternal, se-perti suku bunga, kurs rupiah, atau kondisi bisnis yang tak menguntungkan. ”Peraturan BI pada 2005 tentang pe-nyeragaman kategori kredit bermasalah juga mempengaruhi,” kata Fauzi Ichsan.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuang-an menunjukkan adanya penyaluran kredit secara tidak hati-hati. Di BNI, misalnya. BPK menyebutkan penya-luran kredit kepada puluhan debitor korporasi dilakukan secara tidak hati-hati. Ada beberapa ketentuan internal atau peraturan Bank Indonesia yang dilanggar.
Contohnya, penanganan kredit BNI kepada PT Keramik Diamond sebesar Rp 306 miliar. Nilai jaminan kredit dianggap kurang memadai, dan perusahaan memberikan pinjaman kepada pemegang saham, serta membeli tanah yang tidak digunakan untuk usaha. Dalam jawabannya, BNI telah menyu-rati perusahaan sekaligus memberikan sanksi berupa denda.
Begitu pun di Bank Mandiri. Hasil audit BPK juga meng-ungkapkan penyalur-an kredit secara tidak hati-hati. S-alah satu-nya ada-lah pembelian aset kredit PT Kiani Kertas dari BPPN senilai Rp 1,8 tri-liun. Hingga saat ini kredit itu masih macet. Tawaran Putera Sampoerna untuk membeli kredit itu masih tak menentu.
Untuk mengatasi beban kredit bermasalah itu, BNI dan Mandiri memang sudah mengambil langkah. Mandiri, me-nurut juru bicaranya, Ekoputro Adija-yanto, telah menetapkan tiga langkah. Pertama, membentuk tim khusus restrukturisasi yang langsung dipimpin oleh Direktur J.B. Kendarto. Tim ini memprioritaskan penyelesaian kredit pada 30 debitor besar.
Kedua, bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Ne-gara untuk menjual jaminan debitor bermasalah. Pada November lalu, untuk memberi efek jera, untuk pertama kalinya Mandiri mengumumkan penjual-an jaminan milik 140 debitor, senilai Rp 250 miliar. ”Hasilnya, 24 debitor berinisiatif menyelesaikan utangnya.”
Ketiga, Mandiri akan membentuk spe-cial purpose vehicle atau wahana khusus untuk menangani kredit bermasalah. Wahana ini berupa perusahaan gabungan milik Mandiri bersama per-usahaan lain. Dengan cara ini, Mandiri bisa mempercepat penyelesaian kredit seret dengan penjualan secara gelon-dong-an. ”Ini langkah terobosan, tapi bukan BPPN yang baru,” ujar Ekoputro. Targetnya, rasio kredit seret bisa diteken hingga di bawah 10 persen pada 2007.
Untuk menyukseskan proposal ini, Direktur Utama Bank Mandiri, Agus Martowardojo, sudah sowan ke ber-bagai instansi, seperti Menteri Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Negara BUMN, Bank Indonesia, dan DPR RI. Upaya itu dilakukan mengingat ini terkait aset negara.
Direktur Utama BNI, Sigit Pramono, juga bertekad menurunkan kredit seret hingga di bawah 10 persen pada akhir 2006. Caranya melalui restrukturisasi, penyelesaian secara hukum, dan melelang jaminannya. ”Pembentukan special purpose vehicle bisa dilakukan, tapi kecil kemungkinannya,” katanya.
Jika upaya Mandiri dan BNI ini tidak berhasil, ancaman direkapitalisasi bukan mustahil. Padahal, kedua bank itu sudah menikmati dana rekap paling besar dari pemerintah. ”Kalau sampai direkap juga, mau cari alasan apa lagi ke DPR?” kata Fauzi Ichsan.
Heri Susanto, Tito Sianipar, Suryani Ika Sari, Suliyanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo