Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Perjuangan itu (Masih) Realis, Bung!

Realisme Yayak memajang anak-anak, kawan, dan perempuan telanjang. Mereka tampil lugas.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kanvas itu terisi Sukma Ayu. Dia belum koma saat itu. Dadanya telanjang, matanya merem, mulutnya menganga. Ekspresi ambigu antara nikmat dan sakit. Dua bendera merah-putih menutup putingnya. Kemungkinan besar, itulah potongan adegan yang diambil dari telepon seluler berisi kemesraannya dengan B'jah, pacarnya.

Tentu saja gambar itu tak bergerak. Namun, ia terasa hidup dengan kekuatan goresan Yayak Iskra Yatmaka yang bergaya realis. Mengangkat judul Sukmanya Sukma, lukisan itu berada di antara puluhan karya Yayak yang dipamerkan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, pekan lalu.

Selama satu dekade, nama lelaki yang tenar dipanggil "Yayak Kencrit" ini memang menghilang. Ia ke Jerman setelah identitasnya dinyatakan buron oleh pemerintah Soeharto pada 1991. Sejak akhir tahun itu, ia tinggal di Köln. Kebetulan, sebelum kejadian itu, Yayak menikah dengan perempuan Jerman.

Kini, Yayak kembali. Atas sponsor Dewan Kesenian Jakarta, lelaki bertubuh kurus ini menggelar karya-karya yang dibuatnya sejak sebelum eksil hingga saat ini. Meski berada di Jerman, kanvasnya memperlihatkan peristiwa sosial yang tetap up to date. Salah satunya, ya, kasus Sukma Ayu itu.

Seluruh lukisannya berisi profil manusia, baik berupa tokoh maupun orang-orang kebanyakan. Menurut dia, hal itu kecenderungan lama sejak dulu. "Problem jagat raya ini kan yang melakukan manusia. Dan dalam penampilan figur pun ternyata bisa melahirkan cerita yang panjang," ujar Yayak, bekas mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 1977, yang keluar tanpa lulus pada 1987.

Dari profil-profil itu terangkum berbagai tema tentang kawan-kawan aktivisnya, anak-anak jalanan dan terpinggirkan, selebriti, dan perempuan-perempuan yang dinilainya mengeksploitasi fisik. "Ketika banyak anak kecil kekurangan pakaian, mereka yang berkecukupan itu kok malah mengurangi bajunya, ditanggalkan dan dipertontonkan," ujar pria kelahiran Yogyakarta, 9 Maret 1956 ini.

Keprihatinannya pada kaum perempuan yang seperti itu sangat terasa dalam gambar seri Dewi, 27 buah. Semua obyeknya figur Dewi Sukarno, istri terakhir presiden pertama kita. Ia mengambil pose-pose itu dari buku Madame-D Syuga. Ia menirunya sebagai kecaman atas perilaku Dewi yang dinilainya mengeksploitasi masyarakat. "Dia tahu pasti ketika membuat buku itu dengan perhitungan-perhitungan ekonomis dan politis," ujar Yayak.

Perhitungan itu muncul dari kesadaran bahwa dirinya cantik, jetset, berada di lingkungan selebriti dan politisi tingkat tinggi. Bahkan Dewi dinilai telah memperhitungkan ketika pose-pose kontroversialnya akan mendorong banyak pihak mendapatkan gambar itu, dengan ataupun tanpa izinnya. Ketika ia menang di pengadilan atas kasus pengambilan foto oleh Warsito Wahono, Pemimpin Redaksi Jakarta-What's On Program, Yayak terinspirasi membuat seri lukisan Dewi. "Saya pikir itu kebangeten, dan kalau mau main-main kayak gitu aku punya hak juga, dong, untuk memanfaatkannya," kata Yayak dengan nada keras.

Tanpa mengeluarkan pernyataan itu sekalipun, penonton sebenarnya mudah melihat bagaimana goresan kuasnya tergerak oleh keprihatinan sosial. Lihatlah figur anak-anak di kanvasnya. Mereka memperlihatkan suatu bagian dari dunia yang selama ini terlupakan. Sebagian besar berada dalam lanskap pekerjaan. Entah itu mengusung nyiru berisi kue, menggendong tumpukan kertas, atau memegang martil. Jikalau tidak, mereka tengah bermain dengan alat seadanya. Salah satunya memperlihatkan dua bocah lelaki berlari menggelindingkan ban bekas dengan bertelanjang dada. Kulit anak-anak itu tampak kusam, gelap, keras, penuh kerut sebelum waktunya.

Hal terpenting yang harus dipuji dari lukisan Yayak adalah keberhasilan menggambarkan ekspresi. Goresannya memang tidak rapi. Kasar, kerap kali menyerupai parutan. Namun, cara tersebut justru menjadi bahasa yang tepat untuk menyajikan situasi sosial yang lugas dan terpinggirkan. Menariknya, meski figur-figur itu rakyat kecil, mereka tak tampil lemah. Ada kegembiraan di sana. Pun kekuatan untuk tetap hidup dan berjuang.

Dengan gaya goresan keras itu, sebagian lukisan telanjangnya menjadi kurang berbunyi. Tubuh-tubuh polos para perempuan itu menjadi kehilangan kehalusannya. Terutama serial Dewi Sukarno, yang pose-posenya memang masih memainkan estetika fotografi. Keberhasilan Yayak justru di beberapa lukisan adegan vulgar perempuan anonim. Otot mereka tampak liat dan menggairahkan. Sekali lagi, kekuatan Yayak justru pada kelugasan, telanjang apa adanya, tanpa harus menyodorkan misi apa pun.

Cukup beralasan jika para tokoh yang dilukisnya berasal dari wilayah perjuangan: Che Guevara, Aung San Suu Kyi, Dalai Lama, Nelson Mandela, Widji Thukul, Gandhi, Gus Dur, hingga Picasso. Yayak menempatkan tokoh itu memenuhi kanvas, tanpa mempercantik latar. Memang tak perlu, karena ia memang hanya ingin membicarakan mereka.

Gaya realis Yayak memang mengherankan jika dilihat dari pendidikannya. ITB tidak terkenal dengan realis, tapi abstrak dan ekspresionis, setidaknya generasi di bawah Yayak. Pada akhir 1970-an, Yayak memang sisa realis di kampus itu dan ia menggunakannya dengan tepat: realis sebagai alat perjuangan ideologis. Bahasa gambar baginya bukanlah permainan simbol. Inilah kejujuran yang masih membutuhkan craftsmanship. Dengan kata lain, Yayak membuktikan bahwa pergerakan sekalipun tetap membutuhkan estetisisme.

F. Dewi Ria Utari


Dari Sebuah Kalender

Karena tubuhnya kurus, Yayak Iskra Yatmaka kerap dipanggil "Kencrit". Namun, Maret 1991, ia menjelma: menjadi musuh negara. Ia memang banyak membuat poster kritis. Ia pernah menyisipkan iklan bertuliskan 3.500 anak Kedungombo siap ditenggelamkan di jam terakhir deadline, Kedaulatan Rakyat.

Tapi, kali ini berbeda. Aktivis kelahiran 1956 dan eks mahasiswa Seni Rupa ITB itu membuat sebuah kalender, Tanah untuk Rakyat. Isinya mengkritik kasus-kasus pencaplokan tanah di Tapos, Rancamaya, hingga Lampung. Lalu, mulailah ia mengarungi satu proses, proses yang berlangsung secepat kilat: bulan Maret kalendernya dilarang, bulan Mei ia berstatus buron pemerintah. Sejak itu, lelaki yang selalu berkostum hitam ini nomaden dan akhirnya memutuskan pindah ke negara istrinya, Jerman.

Di sana, Yayak menghidupi dirinya dengan kerja serabutan karena mengandalkan dari lukisan tetap tak cukup. Di Köln, anggota Figuration Critique di Paris ini tetap aktif di isu-isu tentang anak yang tak hanya terjadi di Indonesia. Ia juga mengorganisasikan kegiatan kaum pelawan Orde Baru yang ada di luar negeri. Salah satunya aksi di Dresden pada 1995. Namun, ketika itu ia memajang poster-posternya di Hanover.

Setelah reformasi, ia berani kembali ke Indonesia. Namun, perubahan situasi politik di Indonesia tak membuatnya berhenti memperjuangkan kepentingan anak-anak yang terpinggirkan. Lewat bahasa visual, Yayak menyuarakan perjuangan itu.

F. Dewi Ria Utari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus