Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penggemar komik Indonesia dihebohkan kemunculan Roryono Media, komik fiksi yang terbit pada 1960-an.
Sastrawan Seno Gumira Ajidarma membedah dua komik Roryono Media, Nuklir dan Misteri di Pantai Selatan.
Karya Roryono Media dipengaruhi situasi Perang Dingin serta kesalahkaprahan pemahaman sains ala Frankenstein.
Seno Gumira Ajidarma
Sastrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Roryono Media muncul kembali ke permukaan pada abad ke-21 lewat seorang facebooker, Evander, yang menawarkan gubahannya ke pasar daring komik langka. Komik berjudul Misteri di Pantai Selatan (Penerbit Rose, 1964) itu jatuh ke tangan kolektor dan pengamat komik Hikmat Darmawan, yang rupa-rupanya juga menyimpan gubahan lainnya, Nuklir (Firma Garuda, 1961).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tampak asing hari ini, saat diterbitkan abad ke-20 lalu, Roryono Media ternyata bukanlah sembarang nama, seperti terbaca dari endorsement penerbit di sampul belakangnya: "Penerbit Rose Djakarta dengan rasa kebanggaan nasional (penebalan dari saya) kali ini mengetengahkan tjerita gambar bernilai karya pelukis muda Roryono Media.".
Dari kolektor Patina Antik terdapat informasi, bahwa bersama komikus J. Suroso, penggambar muda ini menggubah Spartacus, yang lebih tepat dibicarakan dalam kesempatan lain, terutama dalam perbandingannya dengan komik berjudul sama gubahan Taguan Hardjo. Namun setidaknya, dari kerja sama Media (penggambar) dan Suroso (penulis) itu, dapat diketahui terdapat gugus Surabaya dalam geologi politik komik Indonesia pada 1950-1960-an, selain gugus Medan, Bandung, dan Jakarta.
Kerja sama Roryono Media (penggambar) dan J. Suroso (penulis) © PENERBIT Fa GARUDA SURABAJA
Jadi nama penggubah cerita gambar ini bukanlah terpendam, melainkan sekadar terselip, sekitar 60 tahun, yang menyahihkannya sebagai artefak kebudayaan: apakah yang bisa diungkap dari kehidupan budaya masa terbitnya, dan bagaimanakah akan berbicara dalam wacana budaya hari ini?
***
Nuklir mengisahkan suami-istri Dokter Hardi dan Ida Ayu yang terdampar di sebuah pulau di Samudra Hindia, 100 mil di timur Pulau Christmas. Di sana mereka bertemu dengan makhluk asing dan canggih yang pesawat piring terbangnya juga terdampar karena rusak. Tonti, begitu namanya, lari dari suatu pertempuran nuklir yang menghancurkan Zeta, planet asalnya. Sudah lima tahun Tonti tinggal di pulau itu dan mengaku berhasil menguasai bahasa Indonesia—mungkin saja dari radio karena pulau itu tidak berpenghuni.
Piring terbang dan MIiG-15 di dunia komik Nuklir © 1961 RORYONO MEDIA / FIRMA GARUDA
Tonti sebetulnya masih diburu musuh-musuhnya, yang berminat menguasai bumi sebagai ganti Zeta. Di pulau itu, di sebuah gua, dengan senjata Osmo, seperti tombak tapi meluncurkan peluru cakram, Tonti menyelamatkan mereka dari ancaman semut raksasa. Sementara itu, sebagai anggota tim penelitian di laboratorium Profesor Noto, Hardi dan Ida dicari kawan-kawannya, yang sampai juga ke pulau itu dengan helikopter.
Kedatangan mereka bersamaan dengan kemunculan musuh-musuh Tonti dari planet Zeta, yakni Sista, Misa, dan banyak lagi, yang dengan kecanggihannya berhasil melacak jejak Tonti. Kedua rombongan ini bentrok dan saling menewaskan. Namun Sista, yang masih hidup ketika Tonti, Hardi, dan Ida muncul, berhasil masuk ke pesawatnya. Tonti tewas tertembak Osmo, tapi dengan Osmo pula Hardi menghancurkan piring terbang dari Zeta.
Gunung meletus sesuai dengan ramalan. © 1961 RORYONO MEDIA / FIRMA GARUDA
Namun antiklimaks tidak terjadi, karena semua orang harus menyelamatkan diri, ketika gunung api di pulau mati tak jauh dari sana meletus, sebelum akhirnya lenyap sama sekali—tepat seperti prediksi Profesor Noto.
***
Dalam Misteri di Pantai Selatan dikisahkan terdapat makhluk aneh di dalam laut yang kerap terlihat oleh penyelam mutiara, nelayan, ataupun penduduk di tepi pantai, sementara di pasir pantai pun terdapat jejak tapak yang belum pernah dikenal. Tak hanya terlihat, makhluk ini juga merusak jala dan mengusir penyelam mutiara, bahkan sempat melukai mereka.
Makhluk laut di perairan Pulau Sempu. © 1964 RORYONO MEDIA / PENERBIT ROSE
Sarjana biologi Daryanto, yang sedang patah hati ditinggal Tina, kekasihnya, datang ke lokasi kejadian perkara, pantai di seberang Pulau Sempu, Jawa Timur, untuk melakukan penyelidikan. Di sanalah dia berjumpa dengan Johan, kawan lama yang selalu menyebut-nyebut Tina, dan kemudian berkenalan dengan Diah Astuti.
Daryanto berkemah di dekat vila Dokter Wahyo, ayah Diah Astuti, yang melakukan penelitian eksperimental demi terbentuknya sebuah kota di bawah laut. Istrinya yang sudah meninggal menentang cita-cita itu, tentu karena sejak bayi telah dipasang insang pada tubuh Astuti sehingga dia bisa hidup di dua alam. Sebagai makhluk yang juga bisa hidup di dalam air, wujud dan daya tubuhnya berubah-ubah, seperti yang disaksikan penduduk di tepi pantai itu.
Adapun Johan ternyata anggota komplotan pemburu harta karun yang bermaksud mengambilnya dari bangkai kapal di perairan itu, yang tenggelam ketika diburu kapal patroli pada zaman penjajahan Jepang. Mereka menggunakan tenaga para penyelam mutiara, yang sempat tak bersedia melakukan pekerjaan itu karena keberadaan makhluk aneh. Bayaran mahal mengubahnya, dan tetap saja kembali bersua, sehingga menggagalkan maksud mereka.
Komplotan itu juga bermaksud menyingkirkan Wahyo, yang mengetahui posisi harta karun di bawah laut. Saat Wahyo sedang berdebat dengan Astuti, yang tidak bersedia lagi menjadi makhluk laut, sebagai bagian dari proyek kota bawah laut, masuk para anggota komplotan. Wahyo dilumpuhkan dan Astuti dipaksa menunjukkan jalan menuju harta karun di bawah laut.
Diah Astuti yang dipaksa menjadi makhluk laut oleh ayahnya. © 1964 RORYONO MEDIA / PENERBIT ROSE
Daryanto, yang di tendanya juga diancam pisau, atas nama jangan mengganggu Astuti, setelah berhasil mengatasinya segera ke rumah Wahyo dan berusaha membebaskannya dari ikatan. Kemudian, walau menghadapi banyak lawan, digambarkan Daryanto bisa mengalahkan mereka dengan jujitsu. Namun Wahyo tewas tertembak. Di luar, kepala komplotan bahkan tewas oleh si makhluk laut yang naik ke darat. Saat Daryanto keluar, makhluk laut itu pergi, dan melompat ke laut ketika diburunya.
Ia kemudian menganggap materi penelitiannya hilang, tapi menemukan Astuti. Namun Astuti mengaku telah memilih Rudy, nama yang tidak ada orangnya sepanjang naratif cerita gambar ini.
***
Label penerbit sekaligus pernyataan atas genre naratifnya, tapi istilah "tjerita bergambar", tempat tulisan, dan gambar terpisah, tertera pada halaman judul. © 1964 RORYONO MEDIA / PENERBIT ROSE
Dalam kedua komik yang berlabel "cerita gambar" tapi di halaman judul tertulis "ceritera bergambar"—yang definisinya berbeda—terdapat pada masing-masingnya seorang ilmuwan: Profesor Noto, semestinya pakar geologi, jika bukan vulkanologi; dan Dokter (kiranya lebih tepat Doktor) A. Wahyo, yang dalam genre fiksi ilmu (science fiction) adalah seorang ilmuwan gila (mad scientist)—tapi dalam keduanya tidak terbaca argumen kuasi ilmiah sekalipun, yang mengesahkannya sebagai fiksi ilmu.
Namun mengapa seperti masih terasa aroma fiksi ilmu? Jika ditengok lima elemen fiksi ilmu dari Google, seperti (1) "Bagaimana jika … ?" ("What if … ?"), menyangkut spekulasi imajinatif, dengan pertanyaan-pertanyaan hipotetis yang menantang dan merangsang pembayangan konkret; (2) latar tak akrab; (3) teknologi inovatif; (4) karakter yang terhubungkan (dengan pembaca); (5) tema kemanusiaan, maka setidaknya kehadiran pesawat piring terbang dalam Nuklir dan makhluk produk eksperimentasi dalam Misteri memberi aroma tersebut.
Makhluk planet Zeta, walau seperti manusia, dengan mata melolo abadi dan kostum seragam begitu, terujuk pada ras-ras tak dikenal (alien) dan asal-usulnya terujuk pada perjalanan luar angkasa (space travel), yang keduanya merupakan imbuhan lain dari ciri fiksi ilmu dari Nuklir (https://prowritingaid.com/elements-of-science-fiction).
Masih dari komik ini, cerita hancurnya planet Zeta karena perang nuklir, dan perbandingan ledakan gunung api dengan ledakan bom nuklir 50 megaton, membawa pembaca kepada visi kekiamatan (apocalyptic) yang menjadi salah satu ciri fiksi ilmu (https://en.wikipedia.org/wiki/Apocalyptic_and_post-apocalyptic_fiction). Meski minimal, sudah merujuk pada argumen kuasi ilmiah yang lazim dalam fiksi ilmu.
Dari Misteri, alih-alih satu ilmuwan gila Doktor Wahyo sudah layak menggolongkannya ke dalam kriteria fiksi ilmu, alur-bawahan perburuan harta karun, ataupun keterhubungan peran Daryanto-Tina-Johan-Astuti-Daryanto lagi, membuat gubahan ini menjadi produk genre hibrida, antara fiksi ilmu, petualangan, dan roman percintaan (romance).
Aspek terakhir ini kuat, bukan sekadar karena Daryono menyelidiki misteri makhluk laut, sebagai pelariannya akibat patah hati, setelah Tina memilih jutawan (miliuner sekarang) kaya raya; melainkan karena pilihan lain Astuti, sebagai dalih, adalah Rudy yang tidak ada.
Hanya dua kali ini nama Rudy muncul tanpa pemilik namanya, di halaman 24 dan 37. © 1964 RORYONO MEDIA / PENERBIT ROSE
Disebut pertama kali oleh Wahyo (“Dengan Rudy atau dengan Yanto?”), Rudy dapat ditafsirkan sebagai kode untuk kehidupan bawah laut, yang tidak bisa ditinggalkan Astuti ketika dirinya yang hidup di dua alam adalah makhluk berinsang. Daryanto mungkin patah hati lagi, tapi Astuti yang tahu Rudy hanyalah bayangan pastilah hancur lebur.
Pembaca mengetahui yang tidak diketahui Daryanto, yang pergi dengan mobil sedan biru laut. © 1964 RORYONO MEDIA / PENERBIT ROSE
Kekuatan efek roman percintaan ini menyilang-hibridakan kefiksiilmuan Misteri Laut Selatan—dan menjadi keunikan cerita gambar gubahan Roryono Media, yang keberadaan dirinya, sampai tulisan ini dibuat, belum dapat saya ketahui.
***
Telah dibicarakan alurnya, bagaimana dengan gambarnya? Dengan pernyataan sebagai berformat cerita gambar, pilihan tematik fiksi ilmu tidak terlalu aneh jika berkonsekuensi kecanggihan gambar, yang rupanya mampu dipenuhi Media. Bukan hanya dalam kapasitas "bisa menggambar", melainkan dalam kemampuan reproduksi kreatif "gambar teknik" (istilah Johnny Hidayat Ar untuk kendaraan bermesin) yang menuntut presisi meyakinkan.
Garis-jelas yang tetap jelas dalam keliaran alam. © 1964 RORYONO MEDIA / PENERBIT ROSE -- REMASTER: ERWIN PRIMA ARYA
Dengan teknik menggambar yang mendekati garis-jelas (clear-line), meski gayanya berbeda, apa yang dicapainya untuk gambar mesin, alam, maupun bangunan, bahkan busana serta anatomi hewan dan manusia, tidaklah tercapai dengan keunggulan yang sama pada wajah. Tentu karena karakterisasi dalam ekspresi, menuntut kapasitas yang tidak terlalu sama dengan sekadar "menggambar bentuk".
Antara ekspresi manusia biasa, makhluk asing, dan makhluk eksperimen dalam Nuklir (kiri) serta Misteri (kanan). © 1961 RORYONO MEDIA / FIRMA GARUDA © 1964 RORYONO MEDIA / PENERBIT ROSE
Mungkin itu yang membuat Media lebih berhasil menggambarkan ekspresi makhluk Zeta dan makhluk laut eksperimental, yang "dapat berekspresi tidak seperti manusia", daripada ekspresi keseharian manusia. Betapapun, ultra-realisme dalam kerincian bentuk dan spektakel gambar ledakan maupun lesatan, dengan perspektif sampurno, dapat berlaku sebagai kompensasi.
Sebagai komik, terutama dalam Nuklir, Media lebih mengandalkan pertaruhannya pada panil tunggal (single panel), atau setidaknya tampak per halaman (single page), tempat pembaca dapat memandang gambar berlama-lama, dan bukan seni keberurutan (sequential art), yang mendorong pembaca segera berpindah ke panil berikutnya.
Tanpa data faktual, rancangan setiap halaman, yang setiap halamannya memuat judul, Nuklir terujukkan kepada format horizontal baris-komik (comic-strip) yang dimuat per halaman secara bersambung di koran. Adapun Misteri yang vertikal memang berformat buku komik (comic book) dan tampaknya Media pada judul ini hanya dapat mengandalkan spektakelnya pada panil-panil horizontal. Dengan kata lain, cerita-gambarnya lebih bekerja pada Nuklir daripada Misteri. Adapun pada Misteri kompleksitas gagasannya membuat cerita lebih realistis dan memanusia daripada Nuklir, walau sama-sama beraroma fiksi ilmu yang spekulatif.
***
Dihubungkan dengan masa terbit, saat digubah pada 1960-an di Indonesia semasa "Orde Lama", dalam poros politik luar negeri Jakarta-Beijing-Moskow, setidaknya dua faktor historis membentuk Nuklir.
Pertama, faktor berlangsungnya pacuan luar angkasa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua, faktor dominasi komik fiksi sains Amerika seperti seri Flash Gordon, yang meski muncul pada 1934 sebagai gubahan Alex Raymond, mendapat bobot relevansi pada masa "Orde Lama" karena sama sekali tiada "komik Uni Soviet" yang menandinginya.
Pesawat angkasa Flash Gordon yang digubah Alex Raymond. © 1939 KING FEATURES SINDYCATE
Flash Gordon belum pernah absen sejak beredar di media massa dengan penggambar berganti-ganti. Pada 2023, Flash Gordon mulai bertualang di semesta baris-komik dalam gubahan Dan Schkade, yang tentu saja kini bermukim di jagat maya. Namun karena praktik politik luar negeri pada 1960-an tersebut, orientasi Media atas "gambar teknik" dalam fiksi ilmu, tidak menghadirkan helikopter Apache atau pesawat tempur F-14, melainkan helikopter militer Kamov Ka-20 dan pesawat tempur MiG-15.
MiG-15 dan Kamov Ka-20, produk militer Uni Soviet pada 1960-an yang muncul dalam komik Nuklir. © 1961 RORYONO MEDIA / FIRMA GARUDA
Sedangkan Misteri adalah lanjutan dari antitesis atas optimisme berlebihan terhadap daya dan manfaat ilmu (science) serta produk teknologi pada abad ke-19, yang disebut Abad Ilmu (Age of Science), ketika kimia dan fisika sangat berkembang dalam teori serta praktik. Novel Frankenstein, or The Modern Prometheus yang ditulis Mary Shelley, dan terbit pada 1821, adalah contohnya: kisah seorang Victor Frankenstein yang bereksperimen dengan materi tubuh tanpa nyawa, untuk menghasilkan monster malang yang kelak akan mencarinya, dan mempertanyakan keberadaan dirinya.
Terdapatnya makhluk laut aneh dalam Misteri, yang berasal dari utak-atik pemasangan insang oleh Doktor Wahyo, terhadap Astuti—putrinya sendiri—sejak bayi, jelas merupakan imbas popularitas Frankenstein melalui berbagai media. Makhluk itu perkasa, tapi menderita sebagai manusia, tentulah merupakan gejala ironis dari pemujaan ilmu dan teknologi yang sama.
***
Pada masa kini, komik beraroma fiksi ilmu yang bisa disebutkan sebagai spekulatif-futuristik itu, bahwa ilmu dan teknologi bisa berkembang salah kaprah serta menghadirkan petaka, dapat mengingatkan kepada nasib umat manusia hari ini: ilmu elektronik (e-science) telah menghasilkan teknologi digital, dengan media sosial sebagai produknya—tiada lebih dan tiada kurang, membanjiri kehidupan kontemporer dengan pasca-kebenaran (post-truth).
Saat kebenaran hanya bisa dipilih dari keseluruhan tanpa kebenaran, dari generasi ke generasi, jika tidak ada perubahan, akan melahirkan zaman yang mengabaikan disiplin penalaran. Ini membuat pendekatan ilmiah, tanpa kuasi dan distorsi, sebagai metode bernalar dalam kehidupan sehari-hari, semakin dibutuhkan.
Dari kedua cerita gambar gubahan Roryono Media ini, penting untuk menyadari produk ilmu dan teknologi masa kini, sampai suatu perspektif perenungan bisa ditarik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo