SETIAP kali "teori evolusi" disebut, tak syak lagi, orang akan kembali berpaling ke Charles Robert Darwin. Teori Darwin -- tentang asal-usul semua makhluk penghuni alam bumi ini -- kendati telah berumur lebih dari 130 tahun dan terus dihantam dari sana-sini, masih tegak berkibar. Sebuah "gugatan" belum lama ini muncul lewat forum pertemuan ilmiah bergengsi, yang diselenggarakan oleh AAAS (American Association for the Advancement of Science) di New Orleans, bulan lalu. Dengan lantang, Prof. Lynn Margulis, ahli ilmu tumbuh-tumbuhan (botani) dari Universitas Massachusetts, di Kota Amherst, memperjuangkan masuknya "teori simbiosa" ke dalam kerangka besar teori Darwin. Teori evolusi sendiri mulai kondang di 1859, setelah Darwin menerbitkan bukunya The Origin of Species. Dalam pemikiran Darwin, makhluk apa pun yang menghuni alam bumi ini -- tanpa pengecualian -- muncul melalui sebuah proses panjang yang bernama evolusi. Kalau ditarik ke belakang sejauh 5 milyar tahun, kehidupan yang ada sekarang ini berasal dari jenis makhluk kecil sederhana, wujudnya mirip bakteri, yang disebut Eukaryotes. Kalau dibandingkan dengan bakteri, Eukaryotes itu pun masih kalah modern -- sebab dia tak punya nukleus (inti sel). Namun, secara perlahan, makhluk ini berkembang, mengalami perubahan bentuk dan bakat genetiknya. Perubahan ini terjadi lewat suatu proses yang disebut mutasi. Proses mutasi itu berjalan sangat lamban. Bahkan para penerus Darwin memperkirakan, tahap kehidupan sel tunggal itu berlangsung selama paling tidak dua milyar tahun. Mutasi alamiah memang merupakan peristiwa langka, dengan frekuensi kejadian yang amat kecil. Maka, proses pengubahan makhluk sel tunggal sederhana menjadi sel tunggal yang lengkap, dengan nukleus dan organ -- organ pelengkapnya -- makan waktu lama. Syahdan, makhluk sel tunggal itu pun mulai menyebar, sementara proses mutasi terus berlangsung. Mutasi secara acak itu, sebagaimana dibayangkan Darwin, membuat makhluk sel tunggal itu berkembang sesuai dengan "bakat" masing-masing. Yang kemudian pintar menyelenggarakan fotosintesa, dialah yang menjadi cikal bakal tumbuh-tumbuhan dan ganggang. Seiring dengan itu, ada pula yang berbakat menyantap makhluk lain, dialah yang kemudian hari tumbuh menjadi hewan (termasuk manusia). Namun, ada pula yang selama 5 milyar tahun tak banyak mengalami perkembangan dan terus hidup dengan gaya primitif: dialah jenis bakteri, dan segala macam jasad renik lainnya. Pada dasarnya, model evolusi Darwin itu hanya bersandar pada dua macam hal: hukum seleksi alam dan hereditas (penurunan sifat). Hukum hereditas menjelaskan peralihan satu generasi makhluk ke generasi berikutnya. Proses ini menjamin perubahan, lewat mutasi, secara perlahan dan konsisten. Proses apa pun dalam hal hereditas itu, pada akhirnya, harus tunduk pada hukum seleksi alam: lewat persaingan ruang, perebutan sumber energi, atau adu kekuatan adaptasi. Hanya mereka yang tangguh yang disisakan hidup di muka bumi ini. Namun, penjelasan panjang lebar dari teori evolusi itu masih dianggap mengandung banyak spekulasi. Di antaranya, menyangkut proses mutasi tadi. Sebagaimana diakui oleh hampir semua ahli, peristiwa mutasi itu sangat kecil frekuensinya, dan sering disebut kasus "kebetulan". Maka, sungguh meragukan bahwa mutasi alamiah dalam tempo "hanya" lima milyar tahun itu bisa memproses makhluk primitif Eukaryotes menjadi makhluk canggih yang bernama manusia. Maka, para pembaru teori evolusi, seperti halnya Ny. Margulis, menduga ada mekanisme lain, yang lebih bersifat "jalan pintas", yakni simbiosa. Fenomena itu bisa dibuktikan oleh ahli botani itu lewat pengamatannya atas "kerja sama" antara bakteri Bdellovibrio dan Thermoplasma. Pada keadaan semula, Bdellovibrio itu merupakan ancaman serius bagi Thermoplasma, bakteri yang beradaptasi pada suasana panas dan asam. Adalah menjadi kebiasaan Bdellovibrio untuk menusuk Thermoplasma dengan antenanya, lalu menghisap habis cairannya. Namun, rupanya pola eksploitasi itu harus berubah. Sebab, kenyataannya, setelah sekian ratus generasi, Bdellovibrio menjadi sangat bergantung pada Thermoplasma. Berikutnya, bakteri pemangsa itu hanya nebeng hidup pada Thermoplasma tanpa mematikannya. Maka, muncullah simbiosa baru. Dalam sekian ratus tahun, boleh jadi, "duet" antara dua bakteri itu akan tumbuh menjadi makhluk baru. Bukti lain yang mendukung Ny. Margulis datang dari Dr. Linda Goff, biolog dari Universitas California di Kota San Diego. Dalam penelitiannya, Linda memperoleh bukti bahwa satu jenis ganggang merah bisa menginjeksikan material genetiknya ke ganggang lain yang memarasitinya. Dengan injeksi gen itu, si parasit akan menempel terus, tapi tidak mematikannya. Fenomena itu menunjukkan bahwa pembentukan "makhluk baru" secara alamiah tak harus lewat proses mutasi. Sumbangan yang tak kalah pentingnya datang dari Dr. Woodland Hasting, dari Harvard. Dia berhasil menyingkap rahasia pada ikan yang berhabitat di perairan, yang jidatnya mampu mengeluarkan cahaya. Setelah dilakukan pembedahan, Hasting menemukan gen bakteri pada jidat ikan itu. Rupanya, ikan tadi bersimbiosa secara permanen dengan bakteri yang bisa memancarkan cahaya di kegelapan. Gagasan tentang teori simbiosa itu sebetulnya pernah dilontarkan oleh Andrei Famintzin, seorang biolog Rusia, hampir 80 tahun lalu. Namun, tak banyak orang mempercayainya, lantaran Andrei tak pernah mampu menampilkan bukti-bukti nyata. Dr. Margulis dkk. lebih beruntung. Mereka berhasil mengungkapkan bukti secara meyakinkan. Begitulah, dunia ilmu pengetahuan itu memiliki hukum evolusinya sendiri: only the strongest claims make progress. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini