PEMBUNUH SINGA PADANG PASIR Oleh: Dr. Najib Kailani Penerbit: Mizan, Bandung, 1985, 268 halaman INGAT film The Message yang mengisahkan "Singa Padang Pasir" Hamzah? Buku ini mengisahkan pembunuhnya, Wahsyi bin Harb, seorang hamba sahaya Jabir bin Muth'im. Najib Kailani, pengarang beberapa novel dakwah. bercerita dengan bagus. Ia memulai dari pergolakan dalam diri Wahsyi lewat dialognya yang sarat, serta ungkapan khas Arab, dengan pacarnya, Ablah. Misalnya, disinggung keinginan Wahsyi menjadi manusia merdeka, tidak dibelenggu tali perbudakan. Apalagi, Jabir, majikannya itu, menjanjikan kemerdekaan jika saja Wahsyi bersedia membunuh Hamzah dalam Perang Uhud. Konflik-konflik kejiwaan serta kebanggaan untuk menjadi pahlawan dimunculkan secara bagus dalam dialog itu. Pengarang menghindari untuk berkisah tentang rasul dan sahabatnya secara langsung. Mungkin disebabkan, agar ia senantiasa bebas melambungkan imajinasinya tanpa beban, seperti pula yang dilakukan Mustafa Akkad, pembuat film The Message itu. Dalam buku ini, pelibatan Nabi secara tegas hanya ketika Wahsyi menyatakan diri masuk Islam. Pernyataan ini adalah final dari konflik-konfliknya. Setelah menjadi Islam, barulah Wahsyi membuktikan dirinya sebagai seorang Mukmin yang baik. Ia agaknya ingin sekali menebus dosanya yang telah membunuh paman Nabi Muhammad. Ini tercermin dalam dialognya dengan Nabi - Wahsyi meninggal di Hims pada 25 Hijriah. Pengarang melukiskan "penuturan" Wahsyi begini, "Dia duduk tegak di atas kuda putih tegar sambil tersenyum kepadaku. Pertama kali melihatnya, aku merasa takut. Namun, dia melambaikan tangannya agar aku mendekat. Kemudian beliau memelukku dan dengan penuh kasih sayang mencium keningku. Beliau memberitahukan kepadaku bahwa aku akan bersama-sama beliau masuk surga." Ketika Nabi bertanya, siapakah laki-laki yang dituturkan Wahsyi, ia dengan senangnya menjawab, "Hamzah." Cara bercerita Najib - pengarang, antara lain, buku: Layali Turkistan dan Adzrau Jakarta (Perawan Jakarta) - mengingatkan kita akan cara bercerita Jirji Zaidan atau Aisyah Bintissyathi. Imajinasi mereka kaya, padahal sumber sejarah masa itu hanya ada dalam musnad-musnad dan syair-syair. Musthafa Helmy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini