TEGUH Ostenrik bergaya Nias - justru setelah sekitar 4 tahun
tinggal dan belajar senirupa di Berlin.
Para senirupawan kita yang merasa, bahwa seni "modern" adalah
Barat, memang kemudian suka menengok ke belakang. Seperti Teguh
-- yang mengaku, mula-mula, di Hochschule der Kunste (Sekolah
Tinggi Seni), Berlin, melukis seperti Kokoscha -- itu pelukis
kelahiran Austria yang termasuk dalam kubu ekspresionisme."
"Tapi kemudian saya merasa ada dinding," tutur Teguh, 30 tahun,
orang Solo kelahiran Jakarta. Ia merasa kesenian yang tengah ia
pelajari bukan punyanya. "Kalau saya bercermin, rambut saya
tetap hitam, mata saya hitam hidung saya pesek," katanya.
Mungkin ia berlebihan.
Tapi museum etnologi di Berlin kemudian menjadi tempatnya
berguru dan mencari. Ia mendapat -- bahwa karya senirupa nenek
moyang ternyata punya kelebihan: ada misterinya, sesuatu yang
tak ditemukannya pada karya-karya Barat.
Di situ Teguh Ostenrik bisa diharap punya kelebihan. Tak sedikit
senirupawan yang menengok ke belakang hanya menengok bentuk --
dan bukan hal-hal yang melahirkannya. Bentuk figur yang mirip
patung Nias dapam lukisan, grafis, sketsa atau goresan pada
terakota Teguh, terasa bukan klise. Teguh tidak menggambar
dengan model patung Nias. Bentuk Nias itu bahasa Teguh.
Ia mencoba tak mengikutsertakan pertimbangan apa pun bagai tak
sadar, trance kata populernya, dalam melahirkan karya. Dan cara
mencipta begini biasanya bisa menghasilkan banyak dalam waktu
pendek. Untuk pameran ini, yang dipersiapkannya di Solo sejak
Juni lalu, bisa dihasilkan sekitar 25 lukisan akrylik dan
beberapa karya terakota plus sejumlah sketsa.
Memang ada yang terasa kurang mantap. Ada kesan mengambang --
yang biasanya ada pada karya mereka yang belum menemukan gaya
sendiri. Sesuatu yang milik Teguh memang belum terasa jelas.
Tapi ia memang belum lama menggumuli gaya yang kini dirasakan
sebagai hal yang akrab dengan dirinya. Baru sekitar 3« tahun
lalu, Teguh menggambar figur yang nyaris datar, dengan bentuk
tubuh yang begitu tambun tak sesuai dengan keseluruhan secara
anatomis, tapi serasi. Dan entah karena ia baru saja
menggandrungi primitivisme, warna-warna yang dipilihnya pun
warna-warna coklat, oker atau yang senada, yang mengesankan
kekunoan. Apalagi didukung dengan tekstur yang memenuhi seluruh
kanvas.
Adakah gaya Nias, atau primitif, merupakan jawaban atas
pencarian identitasnya? Belum jelas benar. Tapi membandingkan
dengan pelukis Otto Djaya, yang dulu pun mencoba merangkul
primitivisme lewat relief candi, terkesan Teguh lebih menangkap
hakikat primitivisme itu -- sementara Otto, lebih menangkap
bentuknya.
Yang juga menarik, si Teguh merencanakan tinggal dan hidup
bersama suku primitif -- ke Irian Jaya, antara lain. "Bukan
untuk berkarya terutama. Untuk hidup bersama meRka saja,"
katanya. Samar-samar memang ada konsep kesenian yang memang lain
pada dirinya, yang ia sendiri pun agaknya belum paham.
Tapi membandingkan karyanya dengan karya senirupawan kita
seangkatannya yang belajar di tanah air, keistimewaan Teguh
memang belum kukuh. Bahkan boleh dibilang, dilihat dari karyanya
itu sendiri, ia tak menonjol. Bandingkan misalnya dengan Dede
Eri Supria yang neo-realisme itu, atau dengan karya beberapa
orang yang tergabung dalam Senirupa Baru Indonesia.
Agaknya bakat seni Teguh diperoleh dari kakeknya, R.M.
Mangoensoenarjo pelukis Solo yang cukup dikenal di kalangan
keraton. Kakek itu pun "seniman nyentrik". Ketika Raja Austria
berkunjung ke Solo dan tepat waktu itu ayah Teguh lahir, diberi
namanyalah bayi itu Ostenrik (Austria, dalam bahasa Belanda).
Dan cucu Mangoensoenarjo memang tak menggebrak -- meski poster
pamerannya atraktif, bertuliskan "Lho". Dan judul karyanya,
kalau tak ditulisnya dalam bahasa Jerman, ya bahasa Jawa
(misalnya Lho, Wuda -- lho, telanjang Bathuk Gosong -- kening
hangus). Tapi agaknya ia tahu apa yang dicarinya dan bagalmana
cara mencarinya -- satu perJalanan yang maslh panjang.
Bambang Bujono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini