Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Wibowo & Yanthi Dengan 2 Cerita

Hasanudin, tersangka pelaku pembunuhan Wibowo & istrinya, dilepaskan dari tahanan dengan alasan tuduhan jaksa kurang kuat.

18 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERSANGKA perkara pembunuhan Wibowo dan istrinya, Yanti, yang diancam hukuman mati, Hasanudin, ternyata dilepaskan dari tahanan sementara. Tapi bukan berarti ia kini bebas. Perkara lain, yang disebut oleh R.O. Tambunan, pembela, "kurang serius" masih mengharuskannya berada dalam tahanan. Yaitu perkara pemilikan senjata api gelap yang tengah diperiksa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebelum itu kejaksaan resminya memang melepaskan Hasanudin, 24 tahun, dari tahanan. Karena izin perpanjangan masa penahanan, yang sudah lima kali diberikan, tak diperoleh lagi dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Padahal perkara belum selesai diberkas. Hasil pemeriksaan selama tujuh bulan oleh polisi, menurut Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Mardjuki Machdi, "memang masih belum sempurna." Polisi pernah menyerahkan berkas ke kejaksaan. Tapi menurut Mardjuki, terpaksa dikembalikan untuk disempurnakan. Penyerahan kedua pun, katanya, sebenarnya belum memadai. Namun karena waktu yang diberikan oleh pengadilan untuk memeriksa sudah habis, "saya putuskan untuk diajukan ke pengadilan -- dengan segala konsekuensinya," kata Mardjuki. Lemahkah tuduhan terhadap Hasanudin sebagai pembunuh Wibowo dan Yanti? Tambunan melihat hal itu. Tapi bagi Mardjuki "pengakuan, seperti terbaca dari berita acara pemeriksaan, dan serangkaian petunjuk cukup untuk menuduh tersangka." Hasil pemeriksaan polisi memang membuat Hasanudin bercerita seperti berikut ini. Muntah Darah Ia bekerja di PT Salawati Hayu, sejak 1978 sebagai pegawai di bidang keuangan Ketika itulah ia mengenal pasangan intim Wibowo dan Yanti. Wibowo adalah salah seorang direktur dan Yanti sebagai kasir pada perusahaan yang sama. Ketika itu pasangan ini belum menikah. Hubungan Hasanudin bertambah erat ketika ia menjadi petugas luar yang selalu berhubungan dengan Wibowo. Tak hanya hubungan dinas. Ia sering diundang makan oleh Wibowo dan Yanti. tau sekedar "ngobrol" di rumah Wibowo di Tomang, Jakarta Barat. Suatu hari penyakit maag Wibowo kumat. Dengan cekatan ia berusaha menolong boss-nya. Yaitu dengan cara meletakan botol berisi air hangat di perut Wibowo. Hasilnya ternyata boleh juga. Setelah itu ia berjanji hendak menyembuhkan penyakit atasannya sampai tuntas. Bagaimana pengobatan dilakukan tak diceritakannya. Hanya, katanya, untuk itu Hasanudin harus berpuasa dan membuat dirinya kesurupan. Hal itu, katanya lagi, sudah biasa dilakukannya sebelum beragama Katolik -- sebelumnya ia memang pemeluk Islam yang bimbang. Ikhtiarnya ternyata berhasil. Hal itu membuat hubungannya dengan Wibowo dan Yanti makin akrab saja. Wibowo bahkan kemudian tertarik dengan ilmu-ilmu gaib. Dan dengan segala senang hati ia membantunya dengan cara menyediakan diri sebagai medium. Tapi belakangan muncul keanehan: Wibowo mendadak muntah darah bercampur kaca. Kepadanya, begitu diceritakan Hasanudin kemudian, Wibowo mengatakan penyakit tersebut disebabkan guna-guna yang diperbuat oleh salah seorang direktur Salawati yang bernama Liem. Di antara mereka, diketahuinya memang sudah lama timbul permusuhan secara pribadi. Bahkan kata Hasanudin, ia pernah pula disuruh Liem untuk mencelakakan Wibowo -- baik "secara halus maupun kasar". Sebagai imbalan, katanya, kedudukan Wibowo yang sekarang akan diserahkan Liem kepadanya. Tapi ia tak tega melakukannya. Dan setelah hal itu dilaporkan kepada Wibowo, boss-nya ini hanya mengatakan: "Itu terserah pendirianmu -- saya atau Liem yang akan dicelakakan." Bersama seorang dukun -- Nyonya Mur -- Wibowo dan Yanti kemudian mengajak Hasanudin ke Yogya mencari ahli guna-guna. Sebuah perjalanan yang aneh. Katanya: mobil yang distirnya berjalan oleng, seperti perahu, dan serasa tak sampai-sampai ke tujuan. Sedangkan Wibowo dan Yanti tak sadarkan diri selama dalam perjalanan. Tapi akhirnya mereka sampai juga di Yogya. Dari Yogya perjalanan dilanjutkan ke Solo. Di sanalah, katanya, seorang ahli mengeluarkan jarum dari tubuh Wibowo. Bagaimana caranya tadi diceritakan. Tapi ternyata penyakit Wibowo belum sembuh. Terbukti setibanya di rumah -- sekembali dari Solo --Wibowo muntah darah lagi. Beberapa dukun dihubunginya untuk menyembuhkan. Tapi sia-sia saja. Sampai akhirnya dengan caranya sendiri, melalui kesurupan arwah yang disebutnya sebagai Eyang Kian Santang, Hasanudin berhasil menyembuhkan penyakit Wibowo. Tapi selanjutnya Wibowo memintanya pula agar "mengembalikan" guna-guna tersebut kepada Liem yang dituduhnya sebagai "si pengirim". Racun Babi Ia menolak. Alasannya ilmunya tak bisa dipergunakan untuk hal-hal seperti diminta Wibowo. Terus-menerus Wibowo membujuknya dan mendesaknya. Sementara itu ia dipecat dari Salawati karena dianggap tak disiplin. Wibowo sendiri tak bisa membantunya. Tapi hubungan mereka di luar tetap baik. Sementara itu juga Wibowo telah menikah dengan Yanti. Suatu hari, 19 Desember 1979, ia diminta menemui Wibowo dan istrinya di muka Hero Supermarket di Tomang. Mereka bertemu sekitar pukul 19.30. Dari situ dengan mobilnya, Volvo B.2941.ES, Wibowo membawanya ke Jalan Blora. Dalam perjalanan, katanya, Wibowo membujuknya kembali agar mencelakai Liem yang ketika itu sedang berada di salah sebuah rumah makan di Jalan Blora. Upahnya, Rp 5 juta, dibayar kontan waktu itu juga. Bagaimana cara harus menghabisi Liem tak disebutkan. Yang jelas ketika itu ia memang ada membawa racun yang dibungkus dengan plastik. Racun tersebut diperolehnya dari salah seorang kenalannya yang bekerja di salah sebuah apotek di Jakarta. Kepada temannya, seperti diceritakan salah seorang saksi kemudian, ia hanya mengatakan racun tersebut pesanan bossnya -- untuk meracun babi di perkebunan di Subang dan Tasikmalaya. Ia memperoleh barang tersebut sekitar minggu kedua Desember. Dan keampuhan racun tersebut juga telah diuji terhadap seekor anjing. Tak jelas adakah Liem berada di salah sebuah restoran di Jalan Blora atau tidak. Tapi, katanya, karena bingung ia tak memasuki restoran mana pun. Ia hanya duduk-duduk saja di trotoar. Sejam kemudian ia kembali menemui Wibowo dan mengatakan tugasnya telah beres. Setelah itu, katanya, Wibowo mengajaknya ke Cibodas. Beberapa menit kemudian, di sekitar Jalan Gatot Subroto, barulah ia mengatakan yang sebenarnya. Wibowo marahmarah. Kemudian diserahkan Wibowo kepadanya dan ia diminta membawa mobil ke Jalan Jagorawi. Di situlah drama pembunuhan terjadi: atas nama Eyang Kian Santang dimintanya agar Wibowo dan istrinya menelan racun. Wibowo dan Yanti, yang katanya selalu menuruti kata-katanya, kali itu pun patuh. Jam waktu itu menunjukkan sekitar pukul 22.50. Dengan Mata Tertutup Keringat dingin dilihat Hasanudin keluar dari tubuh Wibowo dan Yanti. Apa yang terpikir dalam benaknya waktu itu? Katanya ada dua hal: janji Liem yang hendak menghadiahi jabatan sebagai direktur Salawati dan uang kontan Rp 5 juta yang sudah berada di tangannya. Ia lalu memutar mobil kembali ke arah Jakarta. Sampai di Jalan Pancoran ia menghentikan mobilnya. Sepuluh menit kemudian ia turun dari mobil, menyeberang jalan, lalu mencegat taksi dan menyuruh membawanya ke Cililitan. Dari situ terus mencarter taksi gelap ke Bogor. Hampir tengah malam ia tiba di rumahnya di Bogor. Kegelisahan membuatnya tak bisa tidur. Tiga hari kemudian ia menemui mertuanya yang tinggal di Cicurug. Ia menyerahkan uang yang Rp 5 juta sambil menceritakan apa yang telah dilakukannya terhadap Wibowo. Ia kemudian melapor ke kepolisian Bogor setelah salah seorang keluarganya memberitahukan ada seseorang yang mencarinya sehubungan dengan kematian Wibowo. Polisi hanya menyuruhnya melapor ke Jakarta. Tapi kemudian ia merencanakan pergi ke Solo. Sampai di Yogya ia melapor ke Kowilhan II. Dan 27 Desember ia dijemput polisi Jakarta. Begitu pengakuan dan rekonstruksi peristiwa yang dibuatnya untuk polisi. Tapi di persidangan, yang tengah berlangsung sekarang ini, ia memungkiri pengakuannya. Berita acara pemeriksaan katanya dibuat oleh polisi sendiri. Ia hanya dipaksa menandatangani saja. Cara polisi memeras pengakuannya, katanya, antara lain dengan membawanya ke makam Wibowo, malam-malam, dengan menutup mata dan memborgol tangannya. Di situ ia dipukul dan harus mengakui tuduhan. Liem, katanya kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Pitojo, juga pernah menemuinya di tempat tahanan dan membujuknya agar mengakui saja tuduhan polisi. Untuk itu, lanjutnya, Liem menjanjikan imbalan Rp 20 juta. Itulah sebabnya ia mengaku. Kejadian yang sebenarnya, katanya, sebagai berikut: Ia tak pernah diminta Wibowo membunuh Liem. Tapi benar, Liem pernah menyuruhnya membunuh Wibowo. Malam itu, 19 Desember, ia secara tak sengaja ketemu Wibowo dan istrinya di Tomang ketika keduanya hendak memenuhi undangan makan Liem di Jalan Blora. Wibowo mengajaknya turut serta. Ia tak ikut masuk ke restoran -- karena ia merasa tak diundang. Ia hanya menunggu di mobil. Ketakutan Selesai makan-makan Wibowo dan istrinya kembali ke mobil. Sebelum Yanti yang duduk di belakang kemudi menjalankan mobilnya, Liem mengetuk jendela. Karena Yanti tak membuka jendela, maka dialah yang membuka. Liem melemparkan amplop -- yang tak diketahui apa isinya. Amplop tersebut, katanya, jatuh dekat kaki Wibowo. Tapi ia yang kemudian mengambilnya. Setelah mobil berjalan beberapa saat, untuk mengetahui apa maksud Liem melemparkan amplop, mobil kembali ke Jalan Blora. Ia hendak bertanya kepada Liem. Tapi orang lain, Lian, memukulnya dari belakang sambil mengatakan: "Uang itu untuk kamu ...." Ia, katanya, tak mengerti maksud ucapan Lian. Ia, katanya lagi, ketika itu sangat panik. Kembali ke mobil Wibowo, lanjutnya, ia sendiri kemudian yang duduk di belakang kemudi. Ia tak mengatakan hendak ke mana. Tapi di belakang mobilnya ada mobil Lian mengikutinya. Itu membuatnya ketakutan. Saking takutnya, katanya, ia menghentikan mobilnya di Pancoran dan menyerahkan kuncinya kepada Wibowo lalu ia turun dan pergi. Wibowo, katanya, menertawakannya. Setelah itu ia tak tahu apa-apa -- sampai besok sorenya membaca koran tentang kematian Wibowo dan Yanti. Oleh penyangkalan tertuduh tersebut, jaksa minta agar pengadilan mendengarkan keterangan pemeriksa, yaitu polisi. Pengadilan tengah mempertimbangkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus