TERSANGKA perkara pembunuhan Wibowo dan istrinya, Yanti, yang
diancam hukuman mati, Hasanudin, ternyata dilepaskan dari
tahanan sementara. Tapi bukan berarti ia kini bebas. Perkara
lain, yang disebut oleh R.O. Tambunan, pembela, "kurang serius"
masih mengharuskannya berada dalam tahanan. Yaitu perkara
pemilikan senjata api gelap yang tengah diperiksa Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Sebelum itu kejaksaan resminya memang melepaskan Hasanudin, 24
tahun, dari tahanan. Karena izin perpanjangan masa penahanan,
yang sudah lima kali diberikan, tak diperoleh lagi dari
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Padahal perkara belum selesai
diberkas. Hasil pemeriksaan selama tujuh bulan oleh polisi,
menurut Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Mardjuki
Machdi, "memang masih belum sempurna."
Polisi pernah menyerahkan berkas ke kejaksaan. Tapi menurut
Mardjuki, terpaksa dikembalikan untuk disempurnakan. Penyerahan
kedua pun, katanya, sebenarnya belum memadai. Namun karena waktu
yang diberikan oleh pengadilan untuk memeriksa sudah habis,
"saya putuskan untuk diajukan ke pengadilan -- dengan segala
konsekuensinya," kata Mardjuki.
Lemahkah tuduhan terhadap Hasanudin sebagai pembunuh Wibowo dan
Yanti? Tambunan melihat hal itu. Tapi bagi Mardjuki "pengakuan,
seperti terbaca dari berita acara pemeriksaan, dan serangkaian
petunjuk cukup untuk menuduh tersangka." Hasil pemeriksaan
polisi memang membuat Hasanudin bercerita seperti berikut ini.
Muntah Darah
Ia bekerja di PT Salawati Hayu, sejak 1978 sebagai pegawai di
bidang keuangan Ketika itulah ia mengenal pasangan intim Wibowo
dan Yanti. Wibowo adalah salah seorang direktur dan Yanti
sebagai kasir pada perusahaan yang sama. Ketika itu pasangan ini
belum menikah.
Hubungan Hasanudin bertambah erat ketika ia menjadi petugas luar
yang selalu berhubungan dengan Wibowo. Tak hanya hubungan dinas.
Ia sering diundang makan oleh Wibowo dan Yanti. tau sekedar
"ngobrol" di rumah Wibowo di Tomang, Jakarta Barat.
Suatu hari penyakit maag Wibowo kumat. Dengan cekatan ia
berusaha menolong boss-nya. Yaitu dengan cara meletakan botol
berisi air hangat di perut Wibowo. Hasilnya ternyata boleh
juga. Setelah itu ia berjanji hendak menyembuhkan penyakit
atasannya sampai tuntas.
Bagaimana pengobatan dilakukan tak diceritakannya. Hanya,
katanya, untuk itu Hasanudin harus berpuasa dan membuat dirinya
kesurupan. Hal itu, katanya lagi, sudah biasa dilakukannya
sebelum beragama Katolik -- sebelumnya ia memang pemeluk Islam
yang bimbang.
Ikhtiarnya ternyata berhasil. Hal itu membuat hubungannya dengan
Wibowo dan Yanti makin akrab saja. Wibowo bahkan kemudian
tertarik dengan ilmu-ilmu gaib. Dan dengan segala senang hati ia
membantunya dengan cara menyediakan diri sebagai medium.
Tapi belakangan muncul keanehan: Wibowo mendadak muntah darah
bercampur kaca. Kepadanya, begitu diceritakan Hasanudin
kemudian, Wibowo mengatakan penyakit tersebut disebabkan
guna-guna yang diperbuat oleh salah seorang direktur Salawati
yang bernama Liem. Di antara mereka, diketahuinya memang sudah
lama timbul permusuhan secara pribadi.
Bahkan kata Hasanudin, ia pernah pula disuruh Liem untuk
mencelakakan Wibowo -- baik "secara halus maupun kasar". Sebagai
imbalan, katanya, kedudukan Wibowo yang sekarang akan diserahkan
Liem kepadanya. Tapi ia tak tega melakukannya. Dan setelah hal
itu dilaporkan kepada Wibowo, boss-nya ini hanya mengatakan:
"Itu terserah pendirianmu -- saya atau Liem yang akan
dicelakakan."
Bersama seorang dukun -- Nyonya Mur -- Wibowo dan Yanti kemudian
mengajak Hasanudin ke Yogya mencari ahli guna-guna. Sebuah
perjalanan yang aneh. Katanya: mobil yang distirnya berjalan
oleng, seperti perahu, dan serasa tak sampai-sampai ke tujuan.
Sedangkan Wibowo dan Yanti tak sadarkan diri selama dalam
perjalanan. Tapi akhirnya mereka sampai juga di Yogya.
Dari Yogya perjalanan dilanjutkan ke Solo. Di sanalah, katanya,
seorang ahli mengeluarkan jarum dari tubuh Wibowo. Bagaimana
caranya tadi diceritakan. Tapi ternyata penyakit Wibowo belum
sembuh. Terbukti setibanya di rumah -- sekembali dari Solo
--Wibowo muntah darah lagi.
Beberapa dukun dihubunginya untuk menyembuhkan. Tapi sia-sia
saja. Sampai akhirnya dengan caranya sendiri, melalui kesurupan
arwah yang disebutnya sebagai Eyang Kian Santang, Hasanudin
berhasil menyembuhkan penyakit Wibowo. Tapi selanjutnya Wibowo
memintanya pula agar "mengembalikan" guna-guna tersebut kepada
Liem yang dituduhnya sebagai "si pengirim".
Racun Babi
Ia menolak. Alasannya ilmunya tak bisa dipergunakan untuk
hal-hal seperti diminta Wibowo. Terus-menerus Wibowo membujuknya
dan mendesaknya. Sementara itu ia dipecat dari Salawati karena
dianggap tak disiplin. Wibowo sendiri tak bisa membantunya. Tapi
hubungan mereka di luar tetap baik. Sementara itu juga Wibowo
telah menikah dengan Yanti.
Suatu hari, 19 Desember 1979, ia diminta menemui Wibowo dan
istrinya di muka Hero Supermarket di Tomang. Mereka bertemu
sekitar pukul 19.30. Dari situ dengan mobilnya, Volvo B.2941.ES,
Wibowo membawanya ke Jalan Blora. Dalam perjalanan, katanya,
Wibowo membujuknya kembali agar mencelakai Liem yang ketika itu
sedang berada di salah sebuah rumah makan di Jalan Blora.
Upahnya, Rp 5 juta, dibayar kontan waktu itu juga.
Bagaimana cara harus menghabisi Liem tak disebutkan. Yang jelas
ketika itu ia memang ada membawa racun yang dibungkus dengan
plastik. Racun tersebut diperolehnya dari salah seorang
kenalannya yang bekerja di salah sebuah apotek di Jakarta.
Kepada temannya, seperti diceritakan salah seorang saksi
kemudian, ia hanya mengatakan racun tersebut pesanan bossnya --
untuk meracun babi di perkebunan di Subang dan Tasikmalaya. Ia
memperoleh barang tersebut sekitar minggu kedua Desember. Dan
keampuhan racun tersebut juga telah diuji terhadap seekor
anjing.
Tak jelas adakah Liem berada di salah sebuah restoran di Jalan
Blora atau tidak. Tapi, katanya, karena bingung ia tak memasuki
restoran mana pun. Ia hanya duduk-duduk saja di trotoar. Sejam
kemudian ia kembali menemui Wibowo dan mengatakan tugasnya telah
beres. Setelah itu, katanya, Wibowo mengajaknya ke Cibodas.
Beberapa menit kemudian, di sekitar Jalan Gatot Subroto, barulah
ia mengatakan yang sebenarnya. Wibowo marahmarah. Kemudian
diserahkan Wibowo kepadanya dan ia diminta membawa mobil ke
Jalan Jagorawi. Di situlah drama pembunuhan terjadi: atas nama
Eyang Kian Santang dimintanya agar Wibowo dan istrinya menelan
racun. Wibowo dan Yanti, yang katanya selalu menuruti
kata-katanya, kali itu pun patuh. Jam waktu itu menunjukkan
sekitar pukul 22.50.
Dengan Mata Tertutup
Keringat dingin dilihat Hasanudin keluar dari tubuh Wibowo dan
Yanti. Apa yang terpikir dalam benaknya waktu itu? Katanya ada
dua hal: janji Liem yang hendak menghadiahi jabatan sebagai
direktur Salawati dan uang kontan Rp 5 juta yang sudah berada di
tangannya. Ia lalu memutar mobil kembali ke arah Jakarta. Sampai
di Jalan Pancoran ia menghentikan mobilnya. Sepuluh menit
kemudian ia turun dari mobil, menyeberang jalan, lalu mencegat
taksi dan menyuruh membawanya ke Cililitan. Dari situ terus
mencarter taksi gelap ke Bogor.
Hampir tengah malam ia tiba di rumahnya di Bogor. Kegelisahan
membuatnya tak bisa tidur. Tiga hari kemudian ia menemui
mertuanya yang tinggal di Cicurug. Ia menyerahkan uang yang Rp 5
juta sambil menceritakan apa yang telah dilakukannya terhadap
Wibowo. Ia kemudian melapor ke kepolisian Bogor setelah salah
seorang keluarganya memberitahukan ada seseorang yang mencarinya
sehubungan dengan kematian Wibowo.
Polisi hanya menyuruhnya melapor ke Jakarta. Tapi kemudian ia
merencanakan pergi ke Solo. Sampai di Yogya ia melapor ke
Kowilhan II. Dan 27 Desember ia dijemput polisi Jakarta.
Begitu pengakuan dan rekonstruksi peristiwa yang dibuatnya untuk
polisi. Tapi di persidangan, yang tengah berlangsung sekarang
ini, ia memungkiri pengakuannya. Berita acara pemeriksaan
katanya dibuat oleh polisi sendiri. Ia hanya dipaksa
menandatangani saja. Cara polisi memeras pengakuannya, katanya,
antara lain dengan membawanya ke makam Wibowo, malam-malam,
dengan menutup mata dan memborgol tangannya. Di situ ia dipukul
dan harus mengakui tuduhan.
Liem, katanya kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Pitojo,
juga pernah menemuinya di tempat tahanan dan membujuknya agar
mengakui saja tuduhan polisi. Untuk itu, lanjutnya, Liem
menjanjikan imbalan Rp 20 juta. Itulah sebabnya ia mengaku.
Kejadian yang sebenarnya, katanya, sebagai berikut: Ia tak
pernah diminta Wibowo membunuh Liem. Tapi benar, Liem pernah
menyuruhnya membunuh Wibowo.
Malam itu, 19 Desember, ia secara tak sengaja ketemu Wibowo dan
istrinya di Tomang ketika keduanya hendak memenuhi undangan
makan Liem di Jalan Blora. Wibowo mengajaknya turut serta. Ia
tak ikut masuk ke restoran -- karena ia merasa tak diundang. Ia
hanya menunggu di mobil.
Ketakutan
Selesai makan-makan Wibowo dan istrinya kembali ke mobil.
Sebelum Yanti yang duduk di belakang kemudi menjalankan
mobilnya, Liem mengetuk jendela. Karena Yanti tak membuka
jendela, maka dialah yang membuka. Liem melemparkan amplop --
yang tak diketahui apa isinya. Amplop tersebut, katanya, jatuh
dekat kaki Wibowo. Tapi ia yang kemudian mengambilnya.
Setelah mobil berjalan beberapa saat, untuk mengetahui apa
maksud Liem melemparkan amplop, mobil kembali ke Jalan Blora. Ia
hendak bertanya kepada Liem. Tapi orang lain, Lian, memukulnya
dari belakang sambil mengatakan: "Uang itu untuk kamu ...."
Ia, katanya, tak mengerti maksud ucapan Lian. Ia, katanya lagi,
ketika itu sangat panik. Kembali ke mobil Wibowo, lanjutnya, ia
sendiri kemudian yang duduk di belakang kemudi. Ia tak
mengatakan hendak ke mana. Tapi di belakang mobilnya ada mobil
Lian mengikutinya. Itu membuatnya ketakutan.
Saking takutnya, katanya, ia menghentikan mobilnya di Pancoran
dan menyerahkan kuncinya kepada Wibowo lalu ia turun dan pergi.
Wibowo, katanya, menertawakannya. Setelah itu ia tak tahu
apa-apa -- sampai besok sorenya membaca koran tentang kematian
Wibowo dan Yanti.
Oleh penyangkalan tertuduh tersebut, jaksa minta agar pengadilan
mendengarkan keterangan pemeriksa, yaitu polisi. Pengadilan
tengah mempertimbangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini