Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI atas panggung pembukaan pameran “Wajah-wajah Berbagi Kegembiraan” (10-16 Agustus 2022), Vincensius Dwimawan unjuk kebolehan menggubah tiga syair puisi teman-temannya menjadi lagu. Salah satunya "Syair Mlungsungi" karya Emha Ainun Nadjib. Sius—panggilan akrab Vincensius—membuat musikalisasi dengan vokalnya diiringi gitar yang dipetik sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya mengenal Sius sebagai penata panggung teater,” kata Halim HD, pekerja seni yang tinggal di Solo, Jawa Tengah. Sius mengenal dunia teater sejak 1976 ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Pada masa itu tiap kampung di Yogyakarta punya kelompok teater. Tak terkecuali kampungnya, Dipowinatan, dengan Teater Dipo. Di sana juga tinggal salah satu pendiri Teater Dinasti, Tertib Suratmo, yang kini menghabiskan masa tua dengan membuat wayang karton. Kelompok-kelompok teater itu menggelar arisan teater. Mereka berkeliling kampung untuk pementasan pendek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1976, dibuatlah festival teater dan Teater Dipo menjadi pemenangnya. Keunggulan tiap kelompok teater mulai tampak. Mereka dilirik pentolan Teater Dinasti yang notabene para murid W.S. Rendra di Bengkel Teater untuk memperkuat armadanya. Tak terkecuali Teater Dipo, yang dinilai bagus dalam tata musik, khususnya gamelan. Sius, yang sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Seni Rupa, turut bergabung pada 1978-1979. Tak hanya bermain musik, Sius acap bermain teater di atas panggung, meskipun tak pernah mendapat peran utama. “Biasanya hanya bala dhupak,” ucap Sius, lalu tertawa.
Drawing wajah Gubernur DIY Sultan HB X, dan istrinya GKR Hemas dalam Pameran 400 Drawing di Taman Budaya Yogyakarta, 10 Agustus 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Sius, yang punya latar belakang seni rupa, juga diberi peran mendesain undangan. Kepiawaian itu meningkat dan membuatnya dijadikan penata panggung. Sius ingat, pada 1985, ia membantu pementasan monolog Butet Kartaredjasa, Untung Rahardjo, dan Novi Budianto. Ia memasang layar di sisi belakang panggung. Saat Butet tampil, Sius muncul dan menggambar layar itu dengan cat semprot. Lampu panggung menyorot layar, yang membingkai lukisan seperti bayangan layar pementasan wayang. “Itu gambar abstrak. Selesai menggambar, saya terus lari. Gabung sama Djaduk (Djaduk Ferianto) main musik,” tutur Sius.
Bagi Halim HD, tata panggung beberapa pementasan Teater Dinasti garapan Sius dan Pang Warman, yang akrab dipanggil Ipung, sangat berkesan. Ada tiga lakon yang dipentaskan dan semuanya di lingkungan Keraton Surakarta, yakni Geger Wong Ngoyak Macan dan Patung Kekasih di Sitihinggil pada 1982-1983 serta Topeng Contong di Pendapa Sasana Mulya pada 1984-1985. Dari ketiga lakon itu, tata panggung Patung Kekasih dinilai Halim lebih bagus lantaran panggung dibuat menyatu dengan publik. “Itu langka. Saya kira sulit diciptakan di tempat lain. Dan itu masih jadi perbincangan kami saat ini,” ujar Halim.
Panggung saat itu, kata Halim, dibuat seperti di tengah penonton, yang diperkirakan mencapai 700-800 orang. Ada yang duduk lesehan, ada yang berdiri. Antara panggung dan penonton nyaris tak berjarak. Jauh dari tata panggung di gedung pertunjukan seperti di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, sekalipun. Penonton bisa menyaksikan pertunjukan di tengah mereka dari berbagai arah. Halim melihat suasana penuh totalitas karena ada interaksi antara penonton dan tontonannya.
Perkakas panggung pun teramat sederhana, hanya sebuah kursi. Tak perlu ada hiasan latar panggung lantaran penontonlah yang menjadi latar belakang panggung itu. Kemudian lampu-lampunya jauh dari lampu pertunjukan canggih masa kini. Sius dan Ipung menggunakan bohlam pijar yang ditata memanjang dari selatan ke utara. Dan hal itu dirasakan Halim mampu menciptakan suasana keseharian seperti di rumah, di jalanan. Halim menduga tata panggung demikian bertolak dari pengamatan atas seni pertunjukan tradisional yang terbiasa mengamen dari satu tempat ke tempat lain dan tanpa sekat dengan penonton. Sius pun mengamini. Konsep pemanggungan Teater Dinasti memang ia nilai lebih banyak mengeksplorasi kesenian rakyat atau tradisional, khususnya Jawa.
Sejak 1991, Vincensius Dwimawan tinggal di Jakarta. Dia berkiprah di dunia jurnalistik selama 27 tahun. Ia bekerja di lingkungan Femina Group sebagai penata desain majalah Dewi. Setelah pensiun, Sius kembali bersentuhan dengan jagat teater Yogyakarta, menampilkan wajah gembira para aktivisnya yang ia kenal sejak 1980-an.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo