Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA memulainya dengan gerakan-gerakan seperti pemanasan. Josh Marcy, sang koreografer, duduk bersama empat penarinya. Dia seperti berbisik, mengucapkan kata-kata yang kurang jelas dari bangku penonton. Tangan, kaki, dan tubuh mereka dilemaskan, duduk bersimpuh. Ada yang bertumpu pada lutut dan tangan. Lalu Josh bersama penarinya berbaring. Ada yang meringkuk dengan tangan terjulur, ada yang miring atau setengah telentang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam terang cahaya di panggung Teater Salihara, Jakarta Selatan, Josh Marcy mengantarkan empat penarinya, yakni Althea Sri Bestari, Florentina Windy, Nudiandra Sarasvati, dan Syanindita Prameswari, dalam koreografi berjudul Performing Spiral. Penampilan mereka membuka program Musim Seni Salihara Berseni Kembali pada Sabtu dan Ahad, 6-7 Agustus 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Josh menyusun koreografinya secara bertahap sejak 2018. Sepotong demi sepotong gerakan dengan satu, dua, lalu menjadi empat penampil dengan kompleksitas koreografinya. Dalam ritme yang lambat, koreografi Josh mengeksplorasi gerak tubuh seperti gerak putaran spiral. Josh pun mengajak penonton berinteraksi untuk merasakan pengalaman eksplorasi gerak tubuh mereka.
Sementara Josh mengajak penonton, para penari bergerak perlahan secara individu ataupun berpasangan. Tampak sepasang penari bergerak lambat dalam keintiman tubuh, duduk berhadapan saling memeluk dan berdiri dengan tetap berpelukan. Lalu salah satu dari sepasang penari lain terbaring menghadap ke atas dengan tubuh terbuka di bagian atas. Pasangannya memegang lehernya dan memuntir perlahan hingga tubuh penari secara otomatis terbalik dan tengkurap.
Setelah itu, ia pun mencoba memuntir bagian kaki, mengangkat kaki kanan dan membalikkan dalam posisi kembali terbaring menghadap atas. Bagian tangan pun tak ketinggalan. Dalam posisi duduk dan kaki terbuka lebar, tangan terjulur dan ikut diputar. Josh juga mengekspos gerak pasangan penarinya yang duduk berimpitan depan-belakang. Penari bagian belakang merengkuh dan membimbing gerak tangan pasangan di depannya. Pada rangkaian gerak lain, pasangan penari ini terlihat seperti saling menggendong di belakang punggung mereka.
Penonton bisa melihat detail gerakan yang disuguhkan penari dalam panggung yang terang. Ada kalanya lampu diganti warna ungu saat mereka bergerak sambil merentangkan tangan bergerak memutar. Hingga kemudian lampu menyorot empat penari yang merapat pada bagian tembok di bagian latar. Kali ini mereka sudah berganti celana pendek dan kembali mengenakan kaus. Perlahan mereka membungkuk, sembari mengekspos bagian punggung, melanjutkan gerakan berpasangan.
Josh menjelaskan, Performing Spiral sebagai sebuah karya tari bukan hanya menjadi pertunjukan, tapi juga sebagai praktik terbuka dan refleksi tubuh dalam praktik sosial sehari-hari. Ia menggagas pertunjukan ini sebagai suatu peleburan dari latihan terbuka dengan pertunjukan tari. Seperti halnya metode pelatihan yang diterapkan kepada penari. Tak mengherankan, gerakannya pun seperti gerakan kegiatan sehari-hari dan dieksplorasi.
Dalam memunculkan gerakan-gerakan itu, Josh melalui diskusi panjang dengan penarinya saat proses latihan. Terutama ketika opsi para penari harus menanggalkan pakaian bagian atas mereka. “Saya tidak mau terburu-buru. Pada bagian itu, saya merundingkannya dengan mereka,” ujar Josh kepada Tempo, Kamis, 12 Agustus lalu. Ia menawarkan gerakan demi gerakan yang akan ditampilkan berangkat dari kesadaran para penari, terutama untuk mengeksplorasi gerak pada bagian tubuh tertentu secara lebih detail.
Ia menerangkan konsep gagasan karya dari gerak tubuh dengan memperlihatkan detail, bagaimana gerakan spiral otot-otot tubuh seperti di punggung, pada tarikan napas dari bagian torso mereka. “Ini akan lebih terlihat dengan tanpa pakaian. Bagi kami, pakaian kami bahasakan sebagai perpanjangan tubuh dan ruang, sebagai ekstra layer of skin,” ujarnya.
Josh menyadari keterbukaan, ekspos tubuh, bukan hal yang lumrah dalam pertunjukan koreografi di Indonesia. Karena itu, ia memutuskan lebih lama, yakni sebulan sebelum pertunjukan, untuk meyakinkan secara artistik buat memperlihatkan detail gerak spiral ini. Lalu mereka mencobanya saat latihan. Saat gladi resik, ketika masih mengenakan pakaian dalam yang berbentuk seperti stagen sewarna kulit, kata Josh dalam tinjauannya, para penari malah merasakan gerak imaji mereka terbatasi. Bukan karena otoritasnya sebagai koreografer, tapi mesti ada persetujuan, concern, dan kesadaran dari para penari.
Koreografer yang aktif mengembangkan riset gerak bertajuk “Body Space” sebagai pendekatan artistik ini juga ingin menampilkan persepsi dan konstruksi ruang. Tembok panggung bagian belakang pun dimanfaatkan ketika para penari mendekat dan membungkuk dengan fokus sorotan lampu. Dengan posisi panggung arena pula pandangan penonton bisa dimaksimalkan kepada penari. Bukan hanya detail gerakan, tapi juga ketika para penari menunggu gerakan berikutnya atau tengah berganti baju.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo