Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Protes sosial danarto

Jakarta : pustaka firdaus, 1987 resensi oleh : sapardi joko damono.

16 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERHALA, kumpulan cerita pendek Oleh: Danarto Penerbit: Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, 134 halaman DALAM buku ini, Danarto mengumpulkan 13 cerpen yang ditulisnya dari 1979 sampai 1987. Di antaranya, Dinding Ibu, saya ringkaskan sebagai landasan pembicaraan ini. Seperti halnya cerita yang lain, cerita ini pun mempergunakan "saya" sebagai pengisah. Pada suatu hari, di sebuah hotel mewah, Ibu berunding dengan bayangannya sendiri. Kedua sosok yang tidak bisa dibedakan itu sepakat berubah peran: bayangan itu akan menjelma manusia dan berperan sebagai Ibu, sedan Ibu akan surut dari kehidupan dan tinggal dalam dinding hotel, menjelma menjadi bayangan. Pertemuan kedua sosok hanya disaksikan si pengisah, yakni anak Ibu, yang memang sengaja diundang. Bayangan yang kini menjelma Ibu itu tampil dalam kehidupan sehari-hari keluarganya, tanpa menimbulkan kecurigaan karena memang tidak ada bedanya dengan Ibu yang asli, meski Ibu-bayangan ini tidak punya bayangan. Sebagai satusatunya orang yang mengetahui rahasia tersebut, si pengisah merasa tertekan. Ia ingin mengungkapkannya kepada orang lain, tetapi tidak tahu caranya. Sementara itu, agar bisa tetap berhubungan dengan Ibu-sejati, yang kini menjadi bayangan di dinding hotel, ia menyewa kamar hotel itu seumur hidup. Pada suatu hari ia mengajak adik-adiknya ke kamar hotel untuk menemui Ibuyang di dinding. Dan Ibu pun muncul di hadapan anak-anaknya. Namun, kemunculan itu diterima sebagai tayangan gambar video model paling baru saja oleh anak-anak. Mereka beranggapan, Ibu yang di dinding itu merupakan produk video terbaru, yang bisa langsung diajak berbicara. Ada beberapa catatan mengenai cerita ini, yang bisa dikait-kaitkan dengan cerita lainnya. Pertama, masalah identitas. Si Ibu memutuskan berubah menjadi bayangan, sedang bayangannya menjelma Ibu. Masalah identitas ini muncul dalam sebagian cerita dalam buku ini. Dalam Lidah Tak Bertulang si pengisah tidak bisa berbuat apa-apa ketika seorang bajingan yang dibunuhnya masuk ke dalam tubuhnya, sementara ia sendiri berubah menjadi asap meronta-ronta tanpa daya. Lenyapnya identitas si pengisah itu digambarkan sangat dramatis. Saya yang ditinggalkannya, berupa asap, meronta-ronta. Melolong-lolong. Memohon dikembalikannya tubuh saya itu. Lamakelamaan asap yang membentuk figur saya itu menyusut. Sebentar lagi habis. Saya tak ada harapan lagi. Saya teringat dua batang hio yang tertancap itu. Saya bergeas ke sana. Tuhan! Habis sudah. Tinggal lidinya saja. Catatan kedua adalah munculnya dua dunia, sini dan sana, secara serentak dalam hampir semua cerita. Bayangan dalam Dinding Ibu masuk ke dunia sana, sebaliknya Ibu yang berasal dari sini berubah "menjadi Tuhan" - atau apa pun istilahnya - dan masuk ke dinding dunia sana. Tarikmenarik antara kedua dunia itu menimbulkan ketegangan yang menjiwai seluruh buku. Ketegangan antara kedua dunia itu juga tercipta secara wajar dalam Langit Mengapa. Bagi saya, cerita ini yang paling kukuh strukturnya: ketegangan antara dunia sini dan sana dibangun dengan rapi dan dipergunakan sebagai perekat untuk menyatukan segala unsur cerita. Ia mengisahkan seorang dukun yang diadili karena didakwa melakukan serangkaian pembunuhan. Sebelum itu, keluarganya sudah merasakan tingkah laku Pak Dukun yang aneh. Di puncak peradilan itu? ketegangan antara dunia sana dan sn menJadi genung ketika Pak Dukun membuktikan keyakinannya bahwa setiap orang yang mendengarkan cerita tentang rasa malu akan meleleh jadi air. Korban cerita rasa malu itu adalah jaksa yang menuntutnya. Catatan ketiga adalah perhatian Danarto terhadap berbagai masalah sosial. Sebenarnya, perhatian itu sudah tampak sejak Godlob, kumpulan cerpennya terdahulu. Hanya, dalam cerpen-cerpen yang suka dikait-kaitkan dengan trance itu masalah sosial merupakan bumbu saja, yang kadang justru berubah menjadi digresi. Dalam kebanyakan cerita dalam Berhala ini, berbagai masalah sosial yang aktual menjadi sasaran utama. Korupsi, bantuan luar negeri, penyelundupan, gali, pembunuhan misterius, dan pengadilan atas seorang dukun, diramunya menjadi fiksi. Apakah Danarto telah melancarkan protes sosial? Ya. Tetapi ia tetap seorang sastrawan. Ia menghadapi berita dengan cerita. membenturkan fakta dengan fiksi, mengadu dunia sehari-hari dengan dunia alternatif untuk menggunakan istilah Umar Kayam dalam pengantarnya. Dan Danarto memang agak menggeser pusat perhatiannya, tanpa mengorbankan ciri khas yang menjadikannya cerpenis terbaik saat ini, yakin ketegangan antara dunia sana dan sini Ketegangan itulah yang dengan cerdik dimanfaatkan untuk menciptakan suasana yang misterius, atau ambigu atau apa saja namanya - hingga kita terpikat membacanya. Perlu dicatat, pengantar Umar Kayam perlu mendapat perhatian tersendiri. Kayam rupanya menemukan pokok pembicaraan - yakni cerpen-cerpen Danarto -- yang memungkinkannya mengutarakan teori mengenai cerita rekaan. Karenanya, bukan kebetulan, karangan itu merupakan salah satu tulisan Kayam yang terbaik mengenai kesusastraan kita. Sapardi Djoko Damono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus