SEKALIPUN di Jakarta harga dolar sempat naik beberapa rupiah belakangan ini, di pasar uang dunia dolar sedang mengalami minggu-minggu tenang. Masalahnya adalah apakah ini ketenangan semu - sebuah gejolak masih berlangsung di bawah permukaan. Dan kalau stabil, sampai kapan sebelum gejolak baru muncul? Bagi Indonesia, yang sekitar 60% utang luar negerinya dalam mata uang bukan dolar, tapi yang nantinya terpaksa dibayar dengan dolar, turun naiknya kurs dolar terhadap mata uang lain merupakan sebuah kekhawatiran tersendiri. Sebab kalau harga dolar turun lagi 10% atau 0% tahun ini, seperti yang diramalkan beberapa ekonom utang luar negeri Indonesia langsung naik 12%. Padahal, tak ada tambahan utang yang masuk. Bagi Indonesia, harga dolar ternyata punya peran yang sama dengan harga komoditi ekspor lain. Gerak-gerik harganya bisa mengancam neraca pembayaran, seperti gerak-gerik harga minyak. Pada umumnya dirasakan, kurs dolar sekarang ini belum merupakan kurs yang tepat. Pada kurs sekarang ini, defisit neraca perdagangan AS masih bisa mencapai US$ lCO milyar, suatu jumlah yang masih dirasa terlahl besar. Bila defisit ini harus turun, barang ekspor AS harus dibikin lebih kompetitif, dan jalan yang paling garnpang adalah lewat penurunan nilai dolar. Profesor Rudiger Dornbusch dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) mernperkirakan bahwa dolar bisa turun 0% lagi, dan kalau industri Jepang begitu hebat daya saingnya, nilai dolar perlu turun 40% lagi. Mudah-mudahan ini hanya sebuah skenario yang terburuk. Resesi yang diperkirakan muncul lagi tahun ini akan mengurangi perrnintaan di AS, hingga impor bisa ditekan, tanpa nilai dolar harus turun lagi. Ilmu ekonomi mencoba memperkirakan kurs yang wajar di antara beberapa mata uang dengan mengembangkan konsep "Purchasing Power Parity" (PPP), sebuah teori yang dikembangkan pertama kali di Spanyol pada abad 16. Teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa kurs sebuah mata uang terhadap mata uang negara lain pada dasarnya merupakan pencerminan adanya perbedaan tingkat harga dl negara-negara itu. Dengan kata lain apabila inflasi di negara A jauh lebih tinggi dari inflasi negara B, maka barang B akan diborong oleh konsumen A Impor dari B akan berlangsung terus sampai A kehabisan devisa. Tapi sebelum hal ini terjadi, A biasanya akan melakukan penyesuaian kurs - dalam hal ini devaluasi - untuk mengurangi impornya. Penyesuaian kurs masih diperlukan lagi, sampai neraca perdagangan keduanya bisa dinggap seimbang. Kelemahan PPP, seperti juga keterbatasan teori ekonomi lain adalah karena apa yang terjadi dalam dunia nyata selalu berbeda dengan model ideal seperti yang diasumsikan. Pada keadaan sesungguhnya, harga bukanlah sesuatu yang mulus seperti ongkos produksi plus sekian persen laba. Ada unsur eksternal yang berada di luar kekuasaan produsen. Ada tarif bea masuk, ada proteksi, pajak, efisiensi, atau ketatnya regulasi. Kesulitan yang lain adalah pemilihan periode yang mana yang dijadikan titik tolak pengukuran inflasi, karena ini akan menghasilkan perhitungan inflasi yang berbeda. Akibatnya, perkiraan kurs yang tepat lewat PPP tak bisa lepas dari tanda tanya. Perkembangan yang pesat pada pasar modal dan uang di seluruh dunia akhir-akhir ini telah menambah kompleksitas pembentukan kurs. Tingkat inflasi -. dengan demikian PPP - seolah tak punya relevansi lagi dalam pembentukan kurs. Dia lebih banyak ditentukan oleh sentimen pasar, sekalipun beberapa negara, lewat bank sentralnya, sekali-sekali melakukan intervensi untuk memperkecil pengaruh pasar ini. Deregulasi pasar uang yang melanda seluruh dunia menyebabkan pasar uang mengalami perkembangan luar biasa. Negara industri sudah mencabut peraturan-peraturan yang membatasi aliran modal. Ini mempercepat mobilitas ahran modal di seluruh dunia. Modal yang berputar di sini diperkirakan mencapai lebih dari 10 kali lipat nilai barang dan jasa yang diperdagangkan. Dia telah tumbuh mejadi sebuah sektor yang lepas keterkaitannya dengan aliran barang. Dia telah berkembang menjadi sebuah sektor yang tidak riil. Sebuah arena tempat orang, tanpa menambah produksi fisik, bisa memperoleh untung besar. Laba yang diperoleh beberapa perusahaan raksasa, seperti General Motor dan Toyota, sebagian besar tidak berasal dari penjualan mobil, tapi dari ikut main di pasar uang. Peter Drucker mungkin merupakan orang yang pertama kali melihat tidak riilnya pasar uang ini, tapi dia belum tahu pasti implikasi fenoma yang dilihatnya itu. Mungkin dia tak mengira bahwa pasar uang ini bisa berkembang menjadi sebuah monster yang sulit dilawan. Kekuatannya sudah begitu besar. Dia bisa mendikte harga dolar. Kalau dia sedang "in the mood", dolar bisa tenang. Kalau dia melihat yang aneh dalam hubungan beberapa variabel ekonomi, kurs dolar bisa dipermainkan. Ini biasanya terjadi karena dia menelan angka statistik yang masih mentah yang bocor dari Departemen Perdagangan AS, atau karena Ronald Reagan keseleo lidah ketika bicara soal kurs. "Adalah sebuah skandal," kata Dr. Johannes Witteveen, bekas Direktur Eksekutif IMF, di depan anggota ISEI diJakarta baru-baru ini, "bahwa belum banyak yang dilakukan negara-negara industri dalam masalah sepenting kurs ini." Tapi, memang, apa yang bisa mereka perbuat? Konsekuensi deregulasi pasar uang dan sistem devisa bebas adalah ketidakpastian kurs. Lagi pula, pasar uang tahu bahwa para pemimpin negara mdustri adalah politikus yang penuh perhitungan. Sebentar lagi AS akan mengalami pergantian presiden. Angka pertumbuhan ekonomi AS yang baru diumumkan menunjukkan bahwa resesi yang diramalkan itu bisa mulai kuartal ini. Dalam suasana ini, jelas tak ada yang berani mengambil tindakan drastis yang bisa menstabilkan kurs. Akibatnya, di bawah perrnukaan pasar uang yang tenang itu masih terasa gejolak yang belum reda. Tak heran kalau banyak orang tak peduli lagi dengan nilai dolar. Salah satunya adalah Perdana Menteri Jepang Noburu Takeshita. "Hanya Tuhan yang tahu berapa nilai dolar sebenarnya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini