Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bung besar dari condet

Pementasan "bung besar" oleh kelompok condet di tim, jakarta. ray sahetapy, sutradaranya, mampu mengembangkan lakon menjadi lebih luas. satir dalam suatu pementasan multimedia, menjadikan surealistis.

16 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNG Besar akhirnya menadi seorang yang jujur. Ini bukan saja karena beban berat persoalan hidup yang menindih. Juga bukan karena usia makin menumpuk. Melainkan makin arifnya pemikiran. Bekas pejuang yang akhirnya menjadi pemimpin bangsa Ini sadar bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Bung Besar mengakui, dia bukanlah pemimpin yang baik. Ia penuh kecurangan dan penyelewengan. Juga masa lalunya yang khianat menghantumya terus. Ia sudah bosan dengan segala sandiwara yang dilakukannya ketika berkobar-kobar berpidato. Justru kesadaran ini datang ketika dia sedang di puncak kejayaannya. Bung Besar ingin mundur dari kancah perjuangan bangsa. Namun, Anwar berpendapat lain. Penasihat politik ini justru mendorong Bung Besar untuk bertahan. Ini mengingat belum ada tokoh yang pantas menggantikannya. Sementara itu, Sri Ayu, istri Bung Besar, membujuk Anwar - yang juga kekasih gelapnya - untuk menggantikan Bung Besar. Anwar menolak. Ia tak berambisi. Juga mengakui bahwa ia tak punya karisma. Lakon ini disadur dari Bung Besar karya Misbach Yusa Biran - satu dari tiga lakon pemenang sayembar6 1958 Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Pada lakon asli Misbach, Ayu dan Anwar akhirnya bunuh diri. Lalu Bung Besar ditangkap. Sedang versi Ray: Bung Besar mati, lalu Anwar penggantinya, dengan Ayu sebagai pendampingnya. Pertunjukan ini menampilkan enam adegan. Dan tiga yang menarik, diantaranya ketika Bung Besar bertemu Sultan, kepala rumah tangganya, berikut lima jongosnya. Ini sebenarnya pertemuan rutin. Mereka mengobrol perkara remeh-remeh. Di sini kemampuan pingpong dialog para pemain, juga bahasa tubuh mereka, terutama Sultan dan para jongos, sungguh melahirkan adegan yang semarak. Bagaimana para jongos, di belakang punggung Si Bung, menari-nari ketika Sultan dihardik untuk meninggalkan ruangan oleh Si Bung. Ini membuat Bung Besar terpikat untuk menarinari bersama mereka, sembari menembaki jongos-jongosnya dengan telunjuk tangannya. "Tembakan" ini membuat para jongos bergelimpangan sambil menari. Seorang jongos yang belum kebagian tembakan berseru kepada Si Bung, "Saya juga, Bung. Saya juga, Bung." Adegan menarik lainnya adalah ketika panggung memajang layar bioskop. Pada layar inilah disorotkan film video gambaran tentang kepemimpinan Bung Besar. Lewat gambar-gambar animasi (yang diambil dari film asing), muncul simbol-simbol tntang gaya kepemimpinan Si Bung. Ada kesan kediktatoran dalam keperkasaan. Gambar-gambar ini lalu disambung dengan kesibukan Si Bung dalam panggung politik. Tampak ia memasuki teras gedung dikerubuti para pendukungnya. Adegan yang manis adalah ketika film video ini disambung adegan sebenarnya. Ini mengingatkan Laterna Magica karyl sutradara seorang Cekoslovakia. Tampa kesibukan di pintu gedung ketika BungBesar, diiringi Ayu, Anwar, Sultan, d, para pejabat, memasuki ruangan. Ia dambut para pendukung yang banyak jumlahnya. Para wartawan sibuk sekali dengan kameranya. Termasuk kamera video. Adegan di tangah-tengah para penonton ini disambung di atas panggung. Bung Besar berpidato berkobar-kobar yang selalu disambut tepuk para pendukungnya. Sampai suara letusan tembakan terdengar, disusul kekacauan. Bung Besar tewas. Adegan akhir juga menarik. Lebih dari sepuluh laki-laki, yang hanya becelana pendekr mengerumuni jenazah Bung Besar. Sementara itu, di latar belakang tampak Anwar duduk di kelilingi Ayu, Sultan, dan para pejabat. Seorang Bung Besar Baru telah lahir dengan suasana kerajaan mafia. Adegan akhir ini monumental. Meski para pendukung sudah berusaha keras, agaknya permaman mereka belum benar-benar bisa dicatat. Mochtar Badillah sebagai Bung Besar, Dewi Yull sebagai Sri Ayu, Ray Sahetapy sebagai Anar, masih mengalami kesukaran memunculkan tokoh-tokoh itu di pentas. Para pemain belum siap. Lebih-lebih tak adanya dukungan kelengkapan properti dan handprops yang sungguh-sungguh mampu menggambarkan suasana kemewahan kehidupan seorang pemimpin besar. Pada adegan makan, misalnya, Bung Besar menghamburkan semua perangkat makan dari meja. Ia ingin sekali mendengar dencing keporak-porandaan piring, gelas, tempat minum, sendok, garpu, dan sebagainya. Namun, yang terdengar hanya bunyi barang-barang plastik yang terbanting. Adegan ini sama sekali tdak mampu meyakinkan penonton bahwa Bung Besar benar-benar pemimpin besar yang kaya-raya dan hidup amat mewah. Jika ada pemain yang menarik, itulah Muhammad Amin sebagai Sultan dengan kelima jongos stafnya (Emigo, Bey, Gallis, Bambang, dan Rino). Inilah ansambel yang manis kompak, dan kocak. Sementara itu, Gatot BW - penata artistik - terengah mengatasi panggung yang luas. Ia belum konsisten dengan desain properti. Penggabungan yang supermodern terasa tidak klop dengan yang klasik. Pakaian dan tata rias terasa kerja tergesa-gesa. Tetapi tata lampu, bolehlah: mampu memberikan suasana dimaksud. Video karya Roy, Enison, Najib, Pinky menopang keberhasilan adegan. Sedang tata musik karya Toni Prabowo sungguh kuat Ia agaknya sedang mengembangkan musik minimal. Pementasan 8 s/d 10 April 1988 di Graha Bhakti Budaya, TIM, oleh Kelompok Condet ini berhasil berkat Ray Sahetapy, sutradaranya. Keputusan untuk menjangkau multimedia, menambah adegan yang melahirkan suasana surealistis, panjang pertunjukan yang 11/2 jam, itu semua keputusan cerdas dari sutradara. Ketangkasan Ray juga pada kendali yang ketat terhadap sejumlah pemain dan adegan, hingga tak berlarut. Di tangan dia, Bung Besar mengembang lebih luas. Kelompok Condet (Ray-Gatot-Tonny-Rio), yang menghabiskan Rp 30 juta untuk pementasan ini, Jangan-jangan merupakan kekuatan baru. Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus