Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Apa-apa yang Kau Sebut Rumah, puisi M. Rifdal Ais Annafis
Mendengar Silampukau, puisi Moch. Aldy M.A.
M. Rifdal Ais Annafis dan Moch. Aldy M.A. menulis puisi di berbagai media.
RUANG sastra pekan ini diisi oleh puisi-puisi karya M. Rifdal Ais Annafis dan Moch. Aldy M.A. Rifdal Ais Annafis adalah penulis buku puisi Artefak Kota-kota di Kepala (2021). Ia juga pemenang sayembara Payakumbuh Poetry Festival (2021). Kini Rifdal menjadi pengarsip dan bakul buku di Komunitas Kutub Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Moch. Aldy M.A. adalah pendiri Gudang Perspektif, editor-ilustrator Omong-Omong Media, editor buku-translator OM Institute, dan Project Manager Pekan Sastra Bogor. Karya-karyanya terbit di berbagai media massa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
M. Rifdal Ais Annafis
Apa-apa yang Kau Sebut Rumah
bila tubuhmu selesai menandai sejumlah masa depan lewat garis-garis pendek jemari dan
perutmu dihisap kemiskinan dan tengkorak kepalamu hanya menghafal obsesi bercinta datanglah
ke bukit dengan menaiki sederet tangga yang selalu berhak melempar pertanyaan tentang
mengapa dua bola matamu gampang terpukau dan dua betis rapuhmu selalu menurut tanpa sedikit
saja memberontak atau bibir tebalmu demikian mudah berujar
bila kakimu telah sampai ke tangga 178 dan kau belum betul-betul menemukan jawaban
bersegeralah menatap langit dan menangkupkan tangan ke dada seraya melempar kalimat yang
dapat dengan mudah membuat iba sehingga mata batinmu terbuka dan jawaban-jawaban
yang mereka lontarkan bisa kau jawab pelan-pelan
bila ritual yang terkesan ganjil dan jadul tersebut dianggap cukup
tubuhmu akan melayang sendiri lalu segera sampai di atas bukit dengan kenangan
panjang beserta sejumlah penyesalan yang nanti dapat dibasuh dengan iman
bila kau telah dirasuki segar langit
selamat datang dalam rumah.
Yogyakarta, 2024
Moch. Aldy M.A.
Mendengar Silampukau
malam belum terbenam
waktu itu pukul dua
di rumah bordil
aku bertanya pada
pekerja seks komersil:
selamat malam… maaf
kira-kira berapa harga
LT someone to talk. tiga kali
pelukan plus puk-puk
kepala. dua jam pillowtalk &
satu kecupan panjang di kening?
ia sejenak bergeming
kemudian cengar-cengir
menganggapku konyol
mucikarinya ikut nyengir &
aku nampak amat tolol
malam belum terbenam
sedang birku belum habis &
pikiranku masih dibombardir
kredo kafir filsafat Prancis:
hidup hanyalah celaka dua belas
tiga belas & kesialan-kesialan lain
yang kecutnya senantiasa
lidah kita anyar cicipi
malam belum terbenam
mereka masih tak mengerti
demi setan, aku tidak ingin
deepthroat. aku ingin deeptalk
aku ingin seorang matang
yang bersetia mendengar
pengar sambat-sambatku
kutuk-serapahku pada hari buruk
yang memahami dunia
punya kebuntuan yang sama
sebab basian hampir niscaya
menciptakan kampung halaman
tanpa alasan
kini malam sudah terbenam
tapi hambar aspal telanjur
melagukan syair jahanam:
di antara riuh jalan kota &
dasar kerat-kerat bir, ribuan
tuhan kalah & menggigil
seolah-olah gugur
berkali
satu per satu
dalam tempur tak terpahami.
(2024)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo