Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tujuh puisi Wiji Thukul terbit dalam jurnal seni Porter Pamphlet No. 02: Days of Living Dangerously edisi kedua.
Semua sajak dibuat Wiji Thukul sebelum aktif di pergerakan buruh dan belum pernah diterbitkan.
Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, giat menelusuri karya-karya kakaknya yang tersebar di tempat-tempat yang pernah disinggahi penyair penentang Orde Baru tersebut.
Rasa dosa membuatku tidur seperti buronan
Tanggung jawab yang ku tinggalkan menjadi bayangan memburu pikiran
Sebelum tidur aku selalu merasa persis bajingan
Maka ku putuskan aku harus pulang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada mulanya aku merasa ketakutan
Tapi aku sadar hidup memang seperti tekanan
Harus dijawab dengan keberanian
Nasib tak pernah bertanya nama kita siapa
Dia memeluk siapapun yang ingin dipeluknya
Kita tidak bisa menolaknya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemarin aku cekcok mulut dengan istri majikanku
Gara-garanya hanya sebuah sendok
Aku mengaduk kopi dengan sendok majikanku
Istri majikanku marah
Aku pun berang
Karena itu semakin kuat keinginanku untuk pulang
Dengan ijazah SMP apa yang bisa ku lakukan?
Ketika aku berpikir aku merasa hidup, kemiskinan semakin sewenang-wenang
Tapi itu bukan alasan bagi kita untuk lari dari kehidupan dan tidak melawan
SEKETIKA puluhan orang yang hadir di Creative Hall, M Bloc Space, Jakarta Selatan, pada Ahad, 24 November 2024, memberikan tepuk tangan setelah Wahyu Susilo selesai membacakan puisi itu. Judulnya Surat Seorang Buruh kepada Adik-adiknya. Sajak itu karya Wiji Thukul.
Puisi itu termuat dalam Porter Pamphlet No. 02: Living Dangerously yang diluncurkan pada hari itu. Majalah yang memuat catatan perjalanan, budaya, dan kenangan ini diterbitkan oleh Peron House, yang didirikan keluarga Leila S. Chudori, novelis dan mantan wartawan Tempo.
Bagi Wahyu, adik Thukul, puisi tersebut teramat spesial. Surat Seorang Buruh kepada Adik-adiknya ditulis oleh Thukul pada 6 Maret 1986, saat bekerja serabutan sebagai buruh di Semarang. Bagi dia, syair tersebut menjadi obat rindu sekaligus pengingat bahwa Thukul adalah sosok kakak yang menyayangi kedua adiknya.
Menurut catatan Wahyu, setidaknya ada tiga judul puisi karya Thukul yang bercerita tentang adik-adiknya. Ketiganya sudah dipublikasikan dalam beberapa buku kumpulan puisi Thukul, seperti Nyanyian Akar Rumput yang dirilis pada November 2019. Bedanya, Surat Seorang Buruh kepada Adik-adiknya merupakan puisi baru alias belum pernah dipublikasikan dalam bentuk buku ataupun surat kabar.
Penyair yang lahir dengan nama Wiji Widodo pada 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah, ini menentang rezim Orde Baru lewat puisi. Thukul mulai menulis sajak ketika duduk di bangku sekolah dasar dan tertarik pada dunia teater di sekolah menengah pertama. Melalui teman sekolahnya, ia ikut kelompok Teater Jagalan Tengah atau Jagat.
Penyair Wiji Thukul membaca puisi dalam acara Pasar Malam Puisi di Erasmus Huis, Jakarta, 1991. Dok.TEMPO/Rully Kesuma
Pada 1988, Thukul menjadi wartawan selama tiga bulan. Sejak saat itu, puisi-puisinya diterbitkan dalam media cetak, baik di dalam maupun luar negeri. Selain membuat sajak, Thukul menulis cerpen, esai, dan resensi puisi. Melalui karya-karyanya ini, ia menerima Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting di Belanda pada 1991.
Thukul mengobarkan perlawanan terhadap otoritarianisme melalui kata-kata. Karena suaranya yang lantang, penyair ini dituding sebagai provokator negara. Seiring dengan maraknya penangkapan aktivis, dia hidup dalam pelarian sejak 1996. Kontak terakhir dengan istrinya, Sipon, berlangsung pada Februari 1998. Saat itu usianya 34 tahun. Hingga kini, setelah lebih dari seperempat abad, Thukul tak kunjung diketahui keberadaannya.
Surat Seorang Buruh kepada Adik-adiknya yang dibacakan Wahyu Susilo pada Ahad lalu menjadi pembuka acara peluncuran jurnal seni Porter: Days of Living Dangerously edisi kedua. Yang membuatnya spesial adalah jurnal yang diinisiasi oleh Leila S. Chudori—jurnalis, penulis, dan kritikus film—itu memuat tujuh puisi karya Wiji Thukul yang belum pernah dipublikasikan.
Wahyu punya andil besar dalam menemukan puisi-puisi lama tersebut. Ia tak lelah menelusuri keberadaan karya kakaknya yang berserak di berbagai tempat. Salah satunya Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta, yang menjadi tempat bersandar Thukul pada 1986-1988. "Dia dulu pernah berkarya di sana," kata Wahyu di lokasi acara.
Wahyu juga mengais jejak abangnya di rumah seorang sahabat di Tegal, Jawa Tengah. Sebab, pada 1980-an, lewat bantuan kawannya itu, Thukul merilis kumpulan puisinya.
Sang adik kini makin bersemangat mengumpulkan sisa-sisa puisi Thukul. Terutama puisi yang dibuat abangnya sebelum aktif di gerakan buruh. Menurut Wahyu, sebelum 1990 merupakan periode Thukul menimba proses kreatif sebagai penyair. "Dari puisi gelap, puisi kontemplasi, menjadi puisi-puisi yang bisa menggerakkan massa," ujarnya.
Untuk majalah Porter Pamphlet, Wahyu awalnya menyetorkan sepuluh judul kepada tim kurator. Namun, setelah proses seleksi dan pemeriksaan, hanya tujuh karya Thukul yang benar-benar belum pernah dipublikasikan.
Wahyu juga mendapati karya tulis Thukul non-puisi. Di antaranya tiga cerita pendek sederhana tentang pencemaran lingkungan dan kehidupan sehari-hari. "Misalnya tentang anak kecil yang kehilangan lapangan bermain. Belum bercerita tentang perlawanan dan pergerakan, masih kisah di kampung," ucapnya.
Dia harus mengais karya abangnya di kediaman para kerabat. Sebab, semua barang milik Thukul raib setelah aparat menggerebek rumahnya di Solo pada 1996, dari koleksi buku, catatan, sampai kaset musik. Menurut Wahyu, Thukul gemar mendengarkan musik bertema pergerakan dan kritik sosial, seperti karya Iwan Fals, Remi Silado, dan Doel Sumbang. "Sampai sekarang barang-barang itu tidak pernah dikembalikan," tuturnya.
Eks aktivis buruh migran itu berharap anak muda bisa lebih mengenal puisi Thukul. Apalagi, Wahyu melanjutkan, kondisi politik di Indonesia saat ini kurang-lebih sama dengan apa yang ditentang Thukul lewat karya-karyanya. "Biar mereka tahu sejarah dan bisa mencontoh perlawanan dengan kebudayaan seperti yang dilakukan Wiji Thukul," kata Wahyu.
Jurnal seni Porter 2: Living Dangerously.
Editor majalah Porter Pamphlet nomor 2, Ananda Badudu, mengatakan tujuh puisi karya Thukul yang belum dipublikasikan itu ibarat harta karun. Sebab, sajak-sajak tersebut ditulis sebelum ia masuk gerakan buruh. "Kita bisa tahu Wiji Thukul sedang mencari gaya puisinya sebelum ajek dengan gayanya," ujar musikus sekaligus mantan jurnalis Tempo itu.
Leila S. Chudori, inisiator majalah Porter Pamphlet, menyebutkan proses kurasi menjadi kunci. Sebab, tim harus memastikan bahwa ketujuh puisi tersebut betul-betul belum pernah dipublikasikan sama sekali. Mereka memeriksa satu per satu sepuluh puisi Wiji Thukul yang disetorkan Wahyu. "Harus teliti. Sebab, takutnya pernah dipublikasikan oleh beberapa pihak, seperti penerbit independen," ucap Leila.
Selain puisi Wiji Thukul, Porter Pamphlet No. 02: Days of Living Dangerously menyajikan naskah berjudul Hanya Ada Satu Kata karya sineas Yosep Anggi Noer, novel Rahasia Sultan Agung karya penulis Seno Gumira Ajidarma, serta cerpen Di Pulau Makam Tak Bernisan yang merupakan bagian dari semesta Laut Bercerita karya Leila S. Chudori.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo