Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Racikan Isu Kontemporer dari Post-Teater di Era Post-Truth

Di luar kelaziman pertunjukan teater, ponsel penonton pada pementasan itu malah dibebaskan untuk dipakai sebebas mungkin.

1 September 2024 | 23.04 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Moch Wail memainkan peran dengan bantuan cahaya ponsel penonton dalam pertunjukan Post Teater di studio teater ISBI Bandung, Jawa Barat, 30 Agustus 2024. Pertunjukan teater ini melibatkan interaksi aktif antara penonton dengan pemeran sebagai pertunjukan hasil tesis penciptaan karya Eka Nusa Pertiwi. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bandung - Aktris dan sutradara, Eka Nusa Pertiwi menggelar pertunjukan Post-Teater di Studio Teater Institut Seni Budaya Indonesia atau ISBI Bandung pada Jumat malam, 30 Agustus 2024. Pementasan yang berlangsung selama satu jam lebih itu merupakan hasil dari tesis penciptaan seni pertunjukan Eka di ISBI Bandung. Puluhan penonton dilibatkan dari sebelum hingga setelah pertunjukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orasi seperti demonstrasi oleh seorang perempuan di atas meja menyambut para penonton di lorong depan pintu masuk ruang pertunjukan. Isunya mulai dari geger politik kalangan elit hingga persoalan sampah di lingkungan. Sebagai kalimat penutup, penonton diminta untuk menyalakan lampu senter di handphone masing-masing yang telah ditutupi stiker kecil sehingga cahayanya berwarna-warni.

Pertunjukan Teater yang Tak Lazim

Di luar kelaziman pertunjukan teater, ponsel penonton pada pementasan itu malah dibebaskan untuk dipakai sebebas mungkin. Lampu senter pada ponsel yang dipasangi stiker mungil berwarna-warni oleh pemiliknya, berfungsi menerangi ruang pertunjukan yang gelap gulita. Kameranya bisa dipakai untuk memotret, merekam video, bahkan menyiarkan pertunjukan secara langsung lewat akun media sosial. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara lewat aplikasi WhatsApp, pesan berupa teks, gambar, serta video datang bertubi-tubi ke masing-masing gawai penonton. Isi pesannya macam-macam, seperti sepotong kisah perajin kain lurik. Pelantang suara di ponsel bebas dipakai agar terdengar kuping hingga ruangan semakin ramai. Sementara masalah lainnya menempel di tembok, yaitu pada kertas-kertas bertuliskan pendapat, cerita, dan pengakuan tentang kondisi alam dan budaya di sekitarnya. 

Suasana semakin pecah ketika para aktor yang menyelinap di keramaian penonton beraksi dengan cara khas masing-masing. Secara spontan, penonton yang duduk di lantai bangkit lalu bergerak mengikuti para aktor dari sudut ke sudut ruangan, pun oleh aba-aba dari gerakan pantomim. Dalam pertunjukan tanpa panggung, penata lampu dan suara itu, Eka yang menjadi sutradara ikut berbaur bersama penonton. 

Moch Wail memainkan peran dengan bantuan cahaya ponsel penonton dalam pertunjukan Post Teater di studio teater ISBI Bandung, Jawa Barat, 30 Agustus 2024. Pertunjukan teater ini melibatkan interaksi aktif antara penonton dengan pemeran sebagai pertunjukan hasil tesis penciptaan karya Eka Nusa Pertiwi. TEMPO/Prima Mulia

Libatkan Banyak Pemain

Pementasan Post-Teater yang melibatkan pemain seperti Eko Bambang Wisnu, Wanggi Hoed, Nida Hanifah, dan Moch.Wail itu diawasi oleh dosen Arthur S. Nalan, Ipit S. Dimyati, serta pengamat pertunjukan Kedung Darma Romansha. Adapun tim penguji tesisnya yaitu Jaeni, Benny Yohannes, dan Afrizal Malna. 

Menurut Benny, keberhasilan yang paling terlihat dari pertunjukan itu adalah upaya mengkondisikan penonton untuk bisa menciptakan teaternya sendiri. “Penonton mungkin bertanya kenapa saya ada di sini, kenapa saya harus mengalami ini, masih pentingkah ini untuk saya,” katanya seusai acara.

Pertanyaan personal itu menurut Benny bisa saja digugurkan oleh dominasi kerumunan penonton yang memberikan stimulasi lebih kuat. “Jadi kalau ini mau disebut Post-Teater, salah satunya adalah kematian sutradara,” ujar dia. Alasannya karena penonton juga bisa membuat teaternya sendiri yang tidak harus atau memerlukan lagi pengarahan alias penyutradaraan secara langsung. 

Tentang Post-Teater

Post-Teater berlatar kondisi perubahan dalam budaya, media dan teknologi, hubungan sosial dan struktur masyarakat yang mengalami pergeseran signifikan. Teater sebagai cerminan dari dinamika itu menurut Eka Nusa Pertiwi, kini menghadapi transisi penting dari teater konvensional menuju post-teater. Pertunjukannya merefleksikan realitas yang semakin terfragmentasi di era post-truth ketika keyakinan subjektif kerap mengalahkan fakta objektif. “Post-Teater hadir sebagai eksperimen yang merefleksikan isu-isu tersebut dengan menggali cara baru untuk mengartikulasikan dan menanggapi realitas yang kian terfragmentasi," kata Eka, Jumat, 30 Agustus 2024. 

Cerita dalam pementasannya menggali isu-isu kontemporer, termasuk dominasi perusahaan besar dalam ekonomi global melalui strategi penyebaran berita palsu di media sosial, konflik Palestina, potensi modal budaya sebagai kekuatan ekonomi global, regenerasi pengrajin tradisional yang hampir punah. Isu lain yang diangkat tentang industri fast fashion dan dampaknya pada lingkungan, nasib buruh, pemutusan hubungan kerja, dan ancaman robotisasi serta kecerdasan buatan alias AI. 

Selain itu, menurut Eka, Post-Teater melibatkan kru dan penonton sebagai pembuat sekaligus penampil dalam pertunjukan yang terinspirasi dari konsep Audience as Performer dari Caroline Heim. Semua yang hadir akan terlibat secara aktif mulai dari pra hingga setelah pertunjukan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus