Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Realis, Realis, Realis

Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan festival teater realis di TIM. Teater Populer dan Teater Gidag Gidig menawan.

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panggung seperti dikembalikan kepada suasana restoran di Yogya tahun 1950-an. Letaknya di pertigaan jalan. Di luar, abang becak terkantuk-kantuk menikmati para buaya keroncong mengalunkan Saputangan dari Bandung Selatan. Dan di dalam….

Timoer Raja Special Mie Djawa & Setoep Djamboe. Interiornya necis. Meja bundar dengan taplak-taplak putih. Bar dengan deretan botol-botol wine. Gebyok kaca patri untuk pembatas ruang. Di malam yang larut itu, tepatnya Desember 1953—seperti tertera pada kalender bergambar Soekarno-Hatta—beberapa kawan lama bersua.

Abu, Samsu, Mantri, dan istrinya, Ratna. Abu (Slamet Raharjo) kini mengaku pejabat tinggi sebuah kementerian, Samsu (Mochamad Sunjaya) direktur ekspor-impor, dan Mantri (Eric M.F. Dajoh) calon duta besar. Mereka saling menyombongkan pengalaman re-volusi. Mantri bercerita tentang penyiksaan dirinya. Abu berkisah bagaimana melumatkan satu kompi NICA.

Obrolan itu memuakkan Hamid (Alex Komang), seorang pemuda. Ia menodongkan pistol. Satu per satu dipaksa membuka kemunafikannya. Termasuk menguji Mantri dengan menyuruh telanjang Ratna. Mantri, demi keselamatannya sendiri, merelakannya, mengagetkan sang istri. "Baiklah saya akan buka baju…," kata Ninik L. Karim yang memerankan Ratna.

Ya, selamat untuk teater Populer. Lama tak muncul, sekali muncul masih bergigi. Akurasi set berpresisi tinggi dan permainan para aktor wajar. Saat diminta tampil dalam festival ini, Slamet Raharjo Djarot memilih Pakaian dan Kepalsuan karya Achdiat Kartamihardja. "Saya tak mau memilih naskah Arthur Miller atau Tennessee William. Saya tak mengenal persoalannya," begitu alasan Slamet.

Sesungguhnya, naskah Pakaian dan Kepalsuan adalah naskah pengarang Rusia Averchenco. Tapi kekuatan adaptasi membuatnya seperti milik asli kita. Berbeda, misalnya, terjemahan tanpa saduran Nyanyian Angsa karya Anton Chekov yang dimainkan Studi Teater Bandung. Sis Triadji, aktor kuat STB, yang meski bagus bermain sebagai Vassili Vasillitch, sang pemabuk, dramawan tua yang merasa sia-sia hidupnya, tak bisa mengangkat imajinasi penonton. Susah membayangkan: dalam dingin Rusia yang menusuk itu, Vassili demikian merasa hampa.

Selama seminggu penuh, tujuh teater berlaga dalam Festival Teater ini. Antusiasme penonton luar biasa dan itu membuktikan bahwa penonton teater masih ada. Bahkan bisa dibilang pementasan Pakaian dan Kepalsuan mencatat jumlah penonton terpadat di Graha Bhakti Budaya sepanjang dua tahun terakhir. Dari Teater Populer hingga generasi baru pengusung realis formalis, Teater Makassar, Teater Aristokrat Jakarta, Komunitas Satu Kosong Delapan dari Denpasar—mereka memainkan Hantu-hantu karya Ibsen, Polisi karya Slawomir Mrozek, Matinya Pedagang Keliling karya Arthur Miller—semua bisa belajar arti penting sebuah riset.

Semuanya harus perfect sampai properti terkecil. Untuk toples saja, misalnya, Teater Populer berkukuh mencari toples bertutup keramik ala 1950-an. Pistol yang dipakai Alex Komang juga dipilih model pistol Colt FN45, karena kebanyakan jenis itulah yang ditinggalkan serdadu NICA pada 1950-an.

"Mebel restoran zaman dulu biasanya rotan. Kami tak memilikinya, jadinya kita ganti dari kayu jati, tapi tetap berukuran rendah seperti tempo dulu," ujar Edi STB, penata panggung Teater Populer. Telepon juga tak asal comot. Edi bersikeras mendapatkan gagang telepon model baheula. "Akhirnya, saya temui di kios barang antik Jalan Surabaya, seharga Rp 200 ribu."

Riset tentang situasi lokasi naskah juga paling mendasar. "Wah, kayak istri Jawa saja, ngawur," seorang penonton tertawa geli ketika melihat adegan Linda Loman berjongkok melepas sepatu suaminya, Willy Loman, saat Komunitas Satu Kosong Delapan Denpasar memainkan Matinya Pedagang Keliling. Tatkala adegan anak-anak Willy Loman—Happy Loman dan Biff Loman—bermain bisbol, kentara sekali betapa adegan itu ingin diamerika-amerikakan. "Akting itu bukan berpura-pura, tapi mesti meyakinkan publik," kata Alex Komang. Dalam bahasa Slamet, akting itu harus make believe.

Tapi ternyata salah juga bila yang disebut make believe itu harus bergaya Teater Populer. Penampilan Teater Gidag Gidig dari Solo membawa naskah lama Putu Wijaya Dag Dig Dug adalah contoh menarik. Panggungnya mengandaikan ruang tamu, tapi jauh dari presisi ruangan sehari-hari. Ada kerai bambu yang diibaratkan pemisah antara ruang depan dan ruang dalam. Bahkan ada sebuah peti mati di ruangan

Selama dua jam pertunjukan menyenangkan. Mereka tidak berusaha melucu, tapi enak ditonton, dan penonton terkekeh-kekeh terus. Ini kisah suami-istri uzur, pensiunan pegawai negeri yang kerjanya tinggal menunggu mati. Mereka yang telah pikun cekcok karena hal remeh-temeh.

"Semalam itu siapa Bu namanya?" tanya si bapak "Khaerul Umam," ujar si ibu dengan logat Jawa yang medok. "Bukan gitu kok, ketoke enak gitu lho ngomongnya, Ha...erul bukan Kaerul kayak kamu gitu," kata si Bapak.

Pementasan ini dinilai A. Kasim Achmad, dosen teater IKJ, paling bagus. Gidag Gidig, menurut dia, jeli, melepaskan diri dari patokan-patokan realisme formal. "Yang dimainkan Gidag Gidig selected realism, yakni sekadar realisme," ujarnya. Keberhasilan menggiring penonton untuk memasuki psikologi kepribadian orang yang sudah tua merupakan pencapaian tertinggi Gidag Gidig. "Teater Populer hanya mengulang yang sudah-sudah. Yang baru ya Gidag Gidig ini," kata Kasim.

Sesunguhnya, yang juga diharapkan menampilkan "realisme lain" adalah Teater Gapit. Kelompok Solo ini selama ini terkenal dengan lakon-lakon berbahasa Jawanya yang betul-betul mampu menampilkan kekerasan realitas masyarakat bawah Jawa. Masyarakat pinggiran yang sehari-hari hidupnya penuh tekanan, caci-maki dan umpatan-umpatan. Tapi dalam kesempatan ini mereka memilih naskah Mainan Kaca karya Tennessee Williams. Dan Gapit terlihat kagok dengan naskah berbahasa Indonesia. "Ya kami memang kewalahan. Apalagi persiapan kami cuma dua bulan—sangat terbatas. Minimal seharusnya enam bulan," ujar Pelok Trisno Santoso, sutradara Teater Gapit

Dari perbandingan dua pertunjukan, Teater Populer dan teater Gidag Gidig, memang terbukti realisme adalah istilah yang licin. Realisme ternyata tak satu arah. Juga kita dapat memperoleh pemahaman bahwa tantangan utama pementasan realis adalah kemampuan mengangkat sisi kontekstual naskah. Problem yang disajikan naskah realis biasanya problem pada zamannya. Dan ketika sebuah kelompok teater menggarap sebuah naskah realis lama, ia harus mampu menangkap kekuatan mana dari cerita itu yang mencerminkan persoalan zamannya sendiri.

Menyaksikan pertunjukan Mainan Kaca yang ditampilkan Gapit, misalnya, kita menjadi bertanya-tanya mengapa problem seorang ibu yang ingin mengawinkan anaknya diketengahkan. Akan halnya Teater Populer, mereka menganggap isi naskah menampilkan kemunafikan para pejuang. Mereka mengaitkan pertunjukan itu sebagai dedikasi atas perjuangan almarhum Munir—seorang aktivis yang selama ini tulus—tak seperti pejuang-pejuang itu.

Mereka bisa menunjukkan itu. Toh, Slamet sebagai sutradara masih tak percaya diri sehingga harus—di awal dan penutup pementasan—menampilkan siluet Munir di panggung.

Seno Joko Suyono dan Dewi Ria Utari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus