Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada Wali Kota Bekasi

Bapak Achmad Zurfaih yang terhormat, sebagai Wali Kota Bekasi, sudilah kiranya Anda sekali-sekali melihat wilayah yang Anda pimpin. Salah satunya adalah Jalan Perjuangan. Lokasinya tidak lebih dari dua kilometer dari kantor Anda yang nyaman di Kota Bekasi.

Sudah bertahun-tahun kami tinggal di sekitar Jalan Perjuangan. Baik penduduk lokal maupun yang tinggal di perumahan-perumahan di sekitarnya (Taman Harapan Regency, Duta Harapan, Wisma Asri, dll.) merasakan betapa tidak nyamannya hidup di Bekasi. Jalan berlubang-lubang dengan diameter lebih dari dua meter dan kedalaman 20 sentimeter.

Bapak Zurfaih yang terhormat, sudilah kiranya Anda sekali-sekali mengontrak rumah di kawasan Jalan Perjuangan. Tidak usah lama-lama, dua minggu sudah lebih dari cukup. Cobalah pula naik angkot dan tidak naik mobil dinas atau mobil pribadi Anda yang nyaman. Anda pasti akan merasakan bagaimana rakyat Anda setiap hari harus menempuh jalan yang tidak lebih panjang dari tujuh kilometer itu dengan penuh penderitaan: pinggang yang sakit, kecipratan air comberan, dan waktu tempuh yang jauh lebih lama.

Sudahkah Anda atau staf Anda menghitung berapa duit yang kami hamburkan, yang seharusnya tidak perlu, gara-gara jalan yang rusak itu? Kami tidak tahu apakah Anda pernah melakukan sidak atau sejenisnya seperti yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu. Kami juga tidak tahu apakah staf Anda semua penganut prinsip ”asal bapak senang” sehingga kerusakan jalan yang begitu parah bisa terlewatkan begitu saja.

Bapak Zurfaih yang terhormat, kami sedih dan putus asa menyaksikan berpuluh-puluh truk tanki Pertamina berbobot mati 8-10 ton atau truk trailer pengangkut hasil industri dari kawasan Babelan melintas di jalan kelas III, yang seharusnya hanya dilewati kendaraan-kendaraan kecil. Mengapa tidak ada sedikit pun pajak atau pendapatan lain dari pabrik-pabrik tersebut yang Anda alokasikan untuk meningkatkan ku-alitas dan kapasitas jalan sehingga memang layak dilewati kendaraan-kendaraan raksasa. Setahu kami, pemerintah daerah yang cerdas akan menomorsatukan wilayah yang punya potensi ekonomi tinggi. Tapi, yang terjadi di wilayah kami justru sebaliknya.

Emmy Taman Wisma Asri Bekasi Utara


Apa Kabar Warga Buyat?

Polemik tentang apakah perairan Buyat Pante itu tercemar atau tidak masih berlangsung terus dan cenderung makin tak jelas juntrungannya. Sementara itu, kasus penyakit aneh yang menjangkiti penduduk di desa itu tetap jadi misteri. Kini substansi permasalahan telah bergeser dari penduduk desa yang terjangkiti penyakit aneh ke pencemaran laut oleh PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR).

Yang jelas, kepolisian telah punya tersangka. Peneliti lingkungan mendapat proyek penelitian dadakan. Media massa kebagian iklan ”layanan masyarakat” PT NMR. LSM mendapat kesempatan tampil dalam pemberitaan yang pada saatnya nanti dapat dipakai sebagai credit point pada pihak donor. Sementara itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup jadi tampak berkompeten sebagai penjaga lingkungan.

Mereka melupakan masalah sebenarnya yang pelik: menguak misteri penyakit aneh yang menjangkiti penduduk Desa Buyat Pante.

Teguh Muljono Jalan Satrio Wibowo Selatan 21 Solo, Jawa Tengah


Klarifikasi Departemen Luar Negeri

Majalah Tempo edisi 29 November-5 Desember 2004, tepatnya pada rubrik Pokok Tokoh (halaman 145), memuat kekesalan pengacara senior Adnan Buyung Nasution. Di situ disebutkan, saat menghadiri rapat di DPR yang membahas hasil otopsi almarhum Munir, Adnan Buyung mengungkapkan kekesalannya karena sulit mengontak Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda.

Kami pastikan bahwa Menteri Luar Negeri tidak berniat menolak menjawab hubungan telepon dimaksud. Sebab, ketika Adnan Buyung Nasution berusaha mengontak, beliau tengah melakukan kunjungan kerja selama dua hari ke Myanmar, pada 11-12 Desember lalu. Lalu, pada 15-22 Desember, Menteri Hassan Wirajuda melakukan kunjungan kerja ke Santiago, Cile, mengikuti sidang APEC.

Selama beliau berada di Myanmar, staf di Departemen Luar Negeri sendiri juga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi via telepon (handphone) dengannya. Ini karena kondisi infrastruktur dan sistem komunikasi di negara tersebut.

Yuri Thamrin Juru Bicara Departemen Luar Negeri


Nasib Gedung-Gedung Bersejarah

Sebuah harian di Ibu Kota memuat berita tentang rencana pembangunan Kota Palembang, pada terbitan 24 November lalu. Intinya, gedung-gedung lama yang menjadi ciri khas Kota Palembang akan dibongkar, diganti dengan mal dan hotel.

Dalam berita itu Wali Kota Palembang, Eddy Santana Putra, mengungkapkan sejumlah kawasan di Kota Palembang perlu ditata kembali untuk menyesuaikan dengan perkembangan kota. Rencana itu meliputi antara lain penataan kawasan sekitar Benteng Kuto Besak dan Pasar Cinde.

Di kawasan Benteng Kuto Besak terdapat banyak bangunan tua bersejarah, antara lain Kantor Wali Kota Palembang (bekas Kantor Perusahaan Air Minum pada zaman Belanda), Balai Prajurit, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (bekas rumah residen Belanda).

Penggusuran gedung-gedung bersejarah semacam itu tidak hanya terjadi di Palembang, tapi juga di kota-kota lain. Di Kota Surabaya, misalnya. Kalau kita melintas ke Jalan Pahlawan, kawasan bisnis zaman Belanda yang dulu dipenuhi bangunan kuno 1900-1920, jalan ini sekarang telah dipenuhi deretan toko aksesori mobil, ban, dan keramik.

Yang juga membuat prihatin masyarakat Surabaya adalah pembongkaran Rumah Sakit Mardi Santosa dan Stasiun Kereta Api Semut. Kalau kita lihat dari luar, bangunan tua itu seolah-olah masih utuh, tapi dalamnya sudah hancur.

Kalau di Semarang, lain lagi masalahnya. Banyak bangunan peninggalan zaman Belanda dengan arsitektur mengagumkan yang tinggal menunggu kehancuran. Tengoklah bangunan Kota Lama sekitar Stasiun Kereta Api Tawang dan Gereja Blenduk. Bangunan-bangunan lama yang banyak dijadikan gudang ini setiap sore selalu tergenang air laut pasang.

Saya berharap pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan pelestarian bangunan-bangunan tua bersejarah dalam programnya, sehingga anak-cucu kita kelak masih bisa menikmati keindahan bangunan peninggalan bersejarah itu.

Indiyarsih S. Wijono Jalan Ampera, Kompleks Polri, Jl. M No. 64 Jakarta Selatan


Penyeragaman Tanggal Merah

Ketika saya naik bus kota, si sopir mengeluh soal pembangunan jalan. Katanya, jalan yang baru saja diaspal, sudah digali lagi oleh salah satu perusahaan BUMN. Tidak lama kemudian digali lagi oleh BUMN yang lain. Itu jelas soal koordinasi. Tidak adanya koordinasi antara BUMN dan juga instansi lain membuat jalan digali berulang kali.

Soal yang hampir sama juga terjadi dalam pembuatan kalender. Saya bingung melihat kalender yang beraneka jenis. Misalnya pada libur Idul Fitri lalu, ada kalender yang hari merahnya hanya jatuh pada Senin. Ada juga Senin dan Selasa. Tapi, ada juga yang mulai dari Senin sampai Kamis diwarnai merah. Hal itu tentu membuat masyarakat menjadi bingung. Mungkinkah tanggal merah pada kalender 2005 mendatang diseragamkan?

Jonter Sihombing Fak. Filsafat Unika. St. Thomas LK III Sinaksak, Pematangsiantar


Soal Rumah Ibadah

Setelah membaca ”Bara di Atas Nama Tuhan” (Tempo, edisi 15- 21 November 2004), saya ingin berkomentar. Di situ, kasus blokade terhadap Masjid An Nur di Timor Leste dipadankan dengan sekolah Sang Timur di Ciledug, Banten. Padahal di Timor Timur sudah ada masjid sejak zaman kolonial Portugal, tak pernah diganggu-gugat sebelum ada perkara dengan Indonesia. Perusakan pernah terjadi terhadap rumah ibadah Islam dan Protestan yang dibangun pada zaman integrasi. Jadi, jangan samakan.

Di Indonesia, Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 1/BER/MDN-MAG/1969 bukanlah ”aturan main”, melainkan aturan untuk mempermainkan orang. Tak mengherankan, sebanyak 9.000 umat Katolik Paroki Santa Bernadetta terpaksa beribadah di sekolah Sang Timur dan jadi persoalan. Padahal persoalan sesungguhnya adalah belum kunjung didapatkannya izin membangun rumah ibadah.

Berdasar SKB tersebut, izin bukan diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan umatnya, malah didasarkan pada selera umat beragama lain. Ibaratnya peluru malah diberikan kepada orang yang tak suka bertoleransi, padahal sudah tahu bahwa agama mana pun tak punya ayat yang menyokong pertumbuhan agama lain.

Beleid itu memang perlu dilestarikan, seandainya Indonesia cuma mengakui hak satu agama yang dianut oleh mayoritas rakyat. Masalahnya, ada lima agama yang hak hidupnya diakui di Indonesia. Lalu mana peran negara yang mengakui hak hidup agama-agama tersebut? Punya hak hidup berarti diakui haknya untuk bertumbuh. Jadi, pelestarian SKB nomor 1/BER/MDN-MAG/1969 akan membuktikan bahwa Indonesia bukanlah negara besar yang kita cita-citakan bersama, melainkan negara kerdil yang pemerintahnya hipokrit.

Innocentius R.S. Yanautama Kompleks Polri Duren Tiga 47 Jakarta Selatan


Penggunaan Dana Jamsostek

Majalah Tempo edisi 29 November-5 Desember 2004 membuat tulisan dengan judul ”Memacu Ambisi Bebas” (halaman 110). Dalam majalah yang sama dimuat juga hasil wawancara dengan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie (halaman 116-117). Intinya mengisyaratkan adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk menggunakan dana Jamsostek untuk pembangunan infrastruktur jalan tol.

Menanggapi rencana itu, kami menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:

  1. Dana Jamsostek adalah uang pekerja atau buruh yang dihimpun dari iuran yang dipungut setiap bulan dari upah yang diterima pekerja/buruh. Selayaknya, dana-dana tersebut diperuntukkan bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya yang sampai saat ini masih sangat memprihatinkan dan banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan.

  2. Selama ini penyaluran dana-dana jamsostek melalui berbagai bentuk investasi di luar kepentingan pekerja/buruh masih sangat tidak jelas dan tidak transparan bahkan sangat berisiko. Karena itu, kami menyatakan menolak jika pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Perekonomian bermaksud mengincar dana Jamsostek untuk keperluan di luar kepentingan pekerja/buruh.

  3. Kami juga mendesak Manajemen PT Jamsostek agar berani menolak setiap bentuk intervensi pihak luar yang berupaya memanfaatkan dana Jamsostek bagi kepentingan di luar kepentingan pekerja/buruh.

  4. Kami mendesak Manajemen PT Jamsostek agar meningkatkan pelayanannya kepada pekerja/buruh dan menerapkan good corporate governance dalam pengelolaan dana Jamsostek sehingga bisa dipertanggungjawabkan (accountable) baik secara hukum maupun moral.

  5. Kami menyerukan kepada seluruh elemen gerakan serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia sebagai salah satu stakeholder yang sangat penting untuk menggalang kekuatan menolak langkah-langkah pemerintah atau siapa saja yang bermaksud menggunakan dana-dana Jamsostek di luar kepentingan pekerja/buruh serta ikut melakukan fungsi kontrol sosial terhadap manajemen PT Jamsostek.

Saepul Tavip Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia


Wartawan Tempo Gadungan

Beberapa hari lalu, saya ditelepon oleh seorang dokter sekaligus dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dia mengabarkan adanya wartawan Tempo bernama Edy Budiarso yang meminta sejumlah uang. Alasannya, ia sedang butuh uang untuk perawatan istrinya yang akan melahirkan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Kejadian tersebut dialami dokter pemilik sejumlah klinik di Jakarta itu saat sedang berbelanja di Sogo, Plaza Indonesia, pada hari Minggu.

Sang dokter yang kemudian penasaran mengontak kantor Tempo. Saya pun sudah bertemu dengan dokter tersebut dan mengklarifikasi bahwa bukan Edy Budiyarso wartawan Tempo yang bertemu dengannya. Lantas dia memberikan kartu nama Tempo, dengan nama ejaan yang salah, Edy Budiarso. Padahal nama saya yang benar Edy Budiyarso.

Kartu nama bodong itu beralamat PT Tempo Inti Media Tbk., Kebayoran Center Blok A 11-A15, Kebayoran Baru, Mayestik, Jakarta 12440. Kebetulan saya sedang ditugaskan menjadi staf redaksi di Tempo News Room dengan alamat tersebut. Namun kartu nama saya masih beralamat di majalah Tempo, Jalan Proklamasi 72, Jakarta.

Keluhan serupa terjadi beberapa hari menjelang Lebaran. Saat itu salah seorang pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga mengalami hal serupa, bertemu dengan orang yang mengaku bernama Edy Budiarso di Plaza Indonesia. Modusnya sama dan juga dilakukan di akhir pekan.

Karena wartawan gadungan tersebut sudah memalsukan identitas Tempo dan identitas saya, saya berharap jika ada pembaca yang mengalami kejadian serupa, segera laporkan ke kepolisian. Lagi pula, wartawan Tempo tidak diperbolehkan menerima sumbangan dalam bentuk apa pun dari orang lain.

Edy Budiyarso Wartawan Tempo Jalan Proklamasi 72 Jakarta


Laporan Kekayaan Menteri

SEBUAH koran Ibu Kota terbitan 25 November memberitakan, masih ada tujuh menteri yang belum menyerahkan daftar kekayaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini berarti mereka sudah terlambat tiga hari. Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar para menteri dan pejabat setingkatnya menyerahkan laporan kekayaannya sebelum 21 November. Jadi, mereka diberi waktu satu bulan sejak dilantik untuk mengisi dengan lengkap dan benar serta menyerahkannya kepada KPK.

Saya sangat kecewa dan jengkel dengan kecuekan para menteri. Tanpa diinstruksikan oleh Presiden pun seharusnya mereka dengan kesadaran yang tinggi memenuhi kewajiban itu. Hal ini juga sebagai wujud keteladanan dalam upaya mencegah korupsi.

Menteri adalah putra Indonesia yang istimewa. Mereka 34 terbaik dari sekitar 220 juta penduduk. Mereka seharusnya tidak memperlihatkan sikap yang justru mencerminkan ketidakpedulian mereka terhadap instruksi Presiden.

Sungguh tidak masuk akal kalau putra-putra pilihan dan istimewa ini tidak mampu menyelesaikan dan menyerahkan laporan kekayaan dalam waktu satu bulan. Soalnya, formulir-formulir isian telah diserahkan oleh tim KPK kepada Presiden SBY pada 19 Oktober 2004. Ini sekaligus menyiratkan bahwa mereka bukan warga negara yang tertib dan baik. Jika setiap tahun selalu menyerahkan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) ke kantor pajak, mereka tidak usah pusing membuat laporan itu. Mereka cukup memindahkannya dari SPT tahunan ke formulir. Kalau menteri saja tidak tertib dan tidak taat asas, bagaimana pemerintah bisa menertibkan warga yang lain? Kalau urusan laporan kekayaan saja tidak bisa diselesaikan, bagaimana mau mengurusi hal-hal lain yang lebih kompleks?

Lebih menjengkelkan lagi ternyata ada satu menteri bekas anggota Kabinet Gotong-royong yang juga belum menyerahkan laporan kekayaan. Padahal, ia pasti sudah paham dan berpengalaman mengisi formulirnya. Saya jadi curiga, jangan-jangan beliau masih belum bisa menemukan cara merekayasa laporannya, supaya penambahan harta selama menjabat menteri tidak terlalu mencolok dan mengundang berbagai kecurigaan publik.

Mumpung belum kebacut, mohon Pak SBY segera menertibkan menteri yang tidak mempunyai sense of priority dalam mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

H. Ir. Wisdarmanto Jl. Gg. H. Sinem RT/RW 008/007 Ragunan, Pasar Minggu Jakarta Selatan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus