STERIOTIP ETNIK, ASIMILASI, INTEGRASI SOSIAL Penulis: M. Bambang Pranowo dkk. Penerbit: PT Pustaka Grafika Kita, Jakarta, 1988, 305 halaman PERSATUAN lebih enak dipidatokan. Buat masyarakat Indonesia yang pluralistik, kerumitan ini masih ditambah pergeseran nilai-nilai tradisional ke modern, campur aduknya corak kehidupan kota dengan desa. Lima tulisan lepas, hasil penelitian Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (PLPIIS) di buku ini, berusaha memotret kerumitan itu. Tiga tulisan pertama membeberkan interaksi sosial orang kampus, orang asing, dan masyarakat kompleks perumahan industri, ketiganya dengan masyarakat kampung di sekitarnya. Ini semua di Aceh. Lalu, soal asimilasi etnis Arab di Ampel-Surabaya. Terakhir, komunitas Cina di Polewali, Sul-Sel. Benang merah yang menyatukan kelima tulisan lepas ini adalah persoalan sulitnya menciptakan akomodasi. Misalnya, pembangunan kampus Darussalam. Ini sebenarnya cita-cita pimpinan DI/TII Daud Beureuh. Tapi, begitu kampus Darussalam Banda Aceh diresmikan pada 1959, persoalan muncul. Dosen dan mahasiswa -- tentu, hampir semua pendatang -- dituduh mau mengubah tatanan lama di situ, termasuk tradisi keagamaan. Tembok prasangka juga terbangun oleh pandangan steriotip, baik orang Aceh maupun orang asing. Tenaga asing ini adalah pengajar di Darussalam, dan pekerja di kawasan industri. Ada bule yang dipukul oleh orang Aceh gara-gara dia berbicara bahasa Inggris. Si Aceh, yang tak paham bahasa Inggris itu, menyangka ia sedang diomongkan. Lalu, marah. Lain pula yang terjadi di Ampel, Surabaya. Di sana, terjadi keharmonisan antara orang Arab dengan warga setempat. Tapi, proses integrasi ini ditolong oleh faktor kesamaan agama, yaitu Islam. Dan ditunjang oleh Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab pada 4 Oktober 1934. Berbeda dengan etnis Atab, pendatang Cina di Polewali, Sul-Sel punya kecenderungan hidup mengelompok sesamanya, meski tak berbentuk China Town. Lebih dari setengah komunitas ini berstatus WNA. Alasan mereka tak mengajukan naturalisasi, terutama, karena prosedur pengajuan yang berbelit-belit dan berusia lanjut. Problem di Aceh mendominasi buku ini. Apakah karena orang Aceh itu, seperti penegasan Ibrahim Hasan, punya sikap percaya diri dan kepahlawanan yang tinggi, tapi tak suka bekerja keras? Hedy Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini