STADION sepak bola di beberapa kota di Indonesia belakangan ini berubah menjadi arena adu jotos. Keributan demi keributan terjadi. Adu tendang dan main pukul seolah jadi trend. Celakanya, itu tidak saja melibatkan pemain dan pelatih, penonton pun ikut brutal masuk lapangan. Sejumlah kota sudah "dihukum" oleh PSSI untuk tidak menggelar sepak bola tingkat nasional. Bandung diganjar tiga bulan percobaan dan Semarang kena peringatan keras. Toh semua itu tidak mengurangi adu jotos. Jumat pekan lalu, tawur antarpenonton meledak di Stadion Sriwedari Solo. Saat itu berhadapan kesebelasan Niac Mitra Surabaya melawan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Ja-Teng. Ini pertandingan penting di kompetisi Piala Liga Bank Summa grup II. Sebab, keduanya sudah mengantungi nilai 6. Perlu dicatat, hanya juara-juara dari enam grup yang lolos ke putaran final di Surabaya, mulai 11 Desember ini. Maka, partai itu habis-habisan. Dari Surabaya, Niac Mitra mengerahkan sembilan bis suporter. BPD pun tak mau kalah. Tak dinyana, pada pertandingan yang disaksikan 13 ribu penonton dan juga hadir Ketua Umum PSSI Kardono itu, Niac tertinggal 0-1 sampai babak pertama berakhir. Di babak kedua, satu gol lagi dicetak BPD, 2-0. Ketinggalan dua gol di babak kedua, pemain Niac menjadi panas. Suatu ketika, di babak kedua, Kusnan (Niac) tiba-tiba terlihat adu jotos dengan pemain BPD Siswo Irianto. Dua-duanya kena kartu merah. Sejak itu, main keras mewarnai lapangan Sriwedari. Kekerasan itu rupanya merembet ke penonton. Di menit ke-30 babak kedua, puluhan suporter Niac yang duduk di timur stadion menghambur ke tengah lapangan. Yang mula-mula jadi sasaran adalah kiper BPD Trisno Waluyo, bek kanan Eryono Kasiha, dan si pencetak gol Widiyantoro. Polisi segera berlari menyelamatkan tiga pemain BPD itu dan menangkap perusuh. Ketua Umum PSSI Kardono juga tampak sibuk menenangkan massa. Eh, suporter Niac lainnya malah ikut-ikutan melempar botol minuman dan batu. "Awas, kalau BPD ke Surabaya!" begitu ancaman mereka. Akhirnya, beberapa pendukung Niac ini digiring polisi ke kamar ganti pemain. Keberingasan belum berakhir. Di tempat penonton, tawuran terjadi antara pendukung kedua kesebelasan. Terpaksa pertandingan dihentikan selama tiga jam, dan baru dilanjutkan pukul 22.45. Hasilnya tetap 2-0 untuk BPD Ja-Teng. Niac Mitra pun tersingkir. Sebelumnya, Selasa pekan lalu, baku hantam antarpemain juga terjadi di Palembang. Pada babak kedua menit ke-75, bek kanan Pelita Jaya Ali Garwan di-tackle keras oleh poros halang Aceh Putra Zulkifli Umar. Ali kemudian menjotos Umar, dan pecahlah perang tanding. Pemain cadangan Aceh Putra memasuki lapangan dan ikut gontok-gontokan. Di Bandung, 19 November lalu, kericuhan terjadi ketika Persib Bandung berhadapan dengan musuh bebuyutan Persija Jakarta dalam Kompetisi Divisi Utama PSSI 1989/90. Sejak sore, Stadion Siliwangi yang berkapasitas 25 ribu penonton itu penuh sesak. Ketika pertandingan berlangsung sepuluh menit, dari tribun utara, penonton berlompatan ke lapangan setelah menjebol pagar pembatas. Di tribun selatan, pagar pembatas juga dijebol. Petugas keamanan pun sibuk mengerahkan anjing-anjing herder untuk menghalau penonton. Tapi upaya itu cuma bisa memaksa penonton bergeser sampai batas lapangan. Suasana gerah dan panas itu kemudian dibumbui perkelahian antara Adjat Sudradjat (Persib) dan Kamarudin Betay (Persija). Entah apa sebabnya. Di akhir pertandingan -- hasilnya 0-0 -- penonton Bandung menghambur ke tengah menghampiri pemain-pemain Jakarta. Untung, aparat keamanan cepat bertindak. Akibat kerusuhan inilah Bandung dihukum PSSI. Pada hari yang sama, di Semarang berlangsung pertandingan PSIS Semarang lawan Persiba Balikpapan. Di babak pertama, seorang pemain Semarang memukul bola dengan tangan ketika terjadi perebutan di depan gawang Balikpapan. Walau bola tak masuk gawang, Persiba melakukan protes. "Terus terang, saya tak melihat bola dipukul dengan tangan," ujar Djadja Mudjahidin, wasit yang memimpin pertandingan. Dan pertandingan memang sempat ricuh beberapa saat. Akibatnya, wasit C-1 ini dilarang tampil sampai 21 Januari 1990 nanti. Wasit memang kerap dituding sebagai biang keladi keributan di lapangan. Misalnya, kasus wasit Aksi Siswanto, yang memimpin pertandingan Petrokimia Putra lawan Perkesa Mataram, dalam turnamen Piala Liga Bank Summa di Yogya, pertengahan November lalu. Wasit Aksi dinilai kurang bisa mengendalikan pertandingan, sehingga kericuhan meluas. Aksi kemudian diskors enam bulan tak boleh tampil. "Jadi wasit itu sebenarnya mudah. Pegangannya, pemain itu main bola atau memakan kaki," ujar Muchyidin S.T.P., Ketua Komisi Wasit PSSI. Cuma, di lapangan tak segampang itu. Kalau wasit menyatakan pemain salah, kadang-kadang malah digebuk. Sepanjang 1989 ini tercatat sudah lima orang wasit kena gebuk. "Hukuman gebuk" itu agaknya kurang setimpal dengan honor wasit yang cuma Rp 60 ribu untuk memimpin pertandingan tingkat nasional. "Kalau tingkat daerah, lebih kecil, Rp 5 sampai 12 ribu," ujar Djadja Mudjahidin, satu dari 190 wasit C-1 yang dipunyai PSSI. Hukuman dan skors ini merupakan upaya PSSI menerapkan rules of the game. Itu kata Sekum PSSI Nugraha Besoes. Pokoknya, "How to play the game itu yang harus ditingkatkan," kata Nugraha lagi. Ia menilai, selama ini PSSI selalu terlibat polemik kalau ada masalah dan telat mengambil keputusan. Sekarang, ada kesalahan langsung ambil tindakan. Tapi soalnya adalah memasyarakatkan aturan-aturan bola pada pemain, ofisial, dan juga penonton mungkin lebih penting. Toriq Hadad, Liston P. Siregar (Jakarta), Hasan Syukur (Bandung), dan Kastoyo Ramelan (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini