MAUT dan gila-gilaan. Itulah reli mobil dari Paris di daratan Eropa, yang gemah ripah, ke Dakar di Senegal, negeri miskin di Afrika yang tandus. Menempuh 12.380 km menerobos Gurun Sahara, reli ini selalu minta korban sejak diadakan Thierry Sabine, warga Prancis, 1978. Sampai kini korbannya 26 orang, termasuk Sabine, yang tewas pada 1986 ketika helikopter yang ditumpanginya untuk mengawasi jalannya reli jatuh dihantam badai gurun yang ganas di dataran Gourma Rhahous. Pada reli ke-12 yang dimulai 25 Desember ini tiga pembalap Indonesia ambil bagian. Dengan nomor start 54 A mereka adalah Dali Sofari, 43 tahun, Tinton Soeprapto, 44 tahun, dan Richard Hendarmo, 34 tahun. Setelah start di Place de la Concorde, Paris, peserta menyeberang dengan feri ke Aljir di Aljazair. Dan mulailah medan ganas itu: dataran tandus, panas, berdebu, dan berpasir di Sahara. Sekali-sekali ditemui ada "oasis" yang hijau seperti di El Golea. Selebihnya cuma pasir, pasir, dan pasir. Pembalap Amerika, Chuck Stearns, yang ikut reli ini pada 1984, punya nasihat: "Kalau tak suka mengendarai sepanjang hari dan setiap hari, jangan ikut reli ini." Selama 22 hari mengarungi Sahara, banyak peserta yang rontok. Suhu di sana di bawah nol derajat Celcius pada malam hari, dan hampir 40 derajat di siang hari. Belum lagi neraka debu pasir. Paris-Dakar menguji ketahanan, ketabahan, dan inteligensia seorang manusia. Itu cita-cita Thierry Sabine. Reli ini lebih mengetes kemampuan manusia ketimbang kecanggihan mesin. Dan sejak 12 tahun lalu, menderulah mobil Land Rover, Porsche, Mitsubishi, atau merk lainnya melintas di benua hitam Afrika dan menimbulkan ingar-bingar di dusun-dusun melarat. Tahun lalu, sebuah mobil pereli Prancis menabrak seorang wanita di Afrika Barat, dan penonton itu tewas bersama dua anaknya. Pada 1983, Mark Thatcher ikut reli gila ini. Tapi ia akhirnya cuma menyibukkan panitia dan Pemerintah Aljazair. Putra PM Inggris Margaret Thatcher ini dinyatakan tersesat di gurun dan terpaksa Margaret Thatcher secara pribadi minta bantuan tentara Aljazair untuk mencari anaknya. Mark bisa ditemukan, masih untung. Pada 1984, kakak beradik Albert dan Caroline dari Kerajaan Monaco juga ikut menjajal diri. Keduanya rontok di tengah jalan. Masih hebat karena keduanya bisa mencapai Agadez di Nigeria, setelah 10 hari perjalanan dari Aljir. Agadez memang jadi patokan. Sabine pernah berkata, "Dari Agadez inilah ParisDakar dimulai." Karena, selepas Agadez akan ditemui gurun pasir Tenere yang kerap membuat orang tersesat. Wilayah ini demikian kering -- kabarnya hujan turun sekali dalam tiga tahun -- dan berbukit-bukit pasir. Biasanya, hampir separuh peserta rontok di sini. Umumnya terperangkap pasir lunak yang merendam ban mobil mereka. Menyetir mobil di sini memang serba salah, kata Chuck Stearns, "Terlalu cepat akan terbalik, terlalu lambat akan tertinggal atau tersesat." Kondisi Sahara dan Tenere memang tak sama dengan lautan pasir di Gunung Bromo, Ja-Tim, tempat Tinton dkk. beruji coba. Senin pekan lalu, yang dicari Tinton adalah perbandingan. "Kami ingin merekam suasana gurun pasir," alasan Tinton. Bertiga memasang tenda kuning berukuran 2 x 2 meter. Namun, Tinton dkk. ternyata menginap di Pondok Wisata Bromo Permai, masih di kawasan Gunung Bromo. Padahal, di Sahara nanti, pereli-pereli kawakan tidur dalam sleeping-bag dan menggali pasir untuk melawan dingin. Tinton bertekad sampai finish di Dakar. "Itu target kami," ujarnya. Ia dan Richard sudah berhenti merokok. Mobil yang akan mereka kendarai juga canggih, Mitsubishi Pajero 6 silinder dengan kekuatan 3.000 cc. Mobil jenis ini belum masuk ke sini. Yang dipakai di Bromo, Pajero 2.600 cc. Lumayan. Selama tiga jam, tiga orang itu meliuk-liuk di lautan pasir dan melompati gundukan kecil di Bromo. Yang tak enak, menurut Tinton, ia sering ditanya soal dana Rp 1 milyar yang dipakai untuk reli nanti. "Masa, uang segitu gede untuk foya-foya," kata Tinton, menirukan ejekan teman-temannya. Dana sebesar itu memang tak dirogoh dari kantungnya sendiri, meski bukan tak keluar modal sama sekali. Pabrik rokok Djarum Kudus, misalnya, mengeluarkan dana Rp 400 juta sebagai sponsor utama. Belum lagi sponsor-sponsor lainnya. Mau tak mau, Paris-Dakar memang bukan sekadar adu gengsi. Di sana ada adu sponsor, adu kuat merk mobil, dan ajang promosi berbagai produk yang akan dipajang di badan mobil. Soal hadiah tak ada artinya, karena hadiah pertama cuma Rp 10 juta, sementara uang pendaftaran saja sudah Rp 30 juta. Toriq Hadad dan Herry Mohammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini