Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Rehal-herry mohammad

Penyunting : imron hamzah, choirul anam surabaya : jawa pos, 1989.

9 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUS DUR DIADILI KIAI-KIAI Penyunting: K.H. Imron Hamzah & Drs. Choirul Anam Penerbit: Jawa Pos, Surabaya, 1989, 160 halaman SEBELUM ia terpilih sebagai ketua PB NU dalam Muktamar Ke-27 di Situbondo, Desember 1984, Abdurrahman Wahid biasa dipanggil Gus Dur -- dikenal sebagai seorang cendekiawan yang sekaligus budayawan. Itulah sebabnya, ide-idenya meluncur dengan bebas, lepas. Terjadilah dialog-dialog untuk membahasnya. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Tapi, bila seorang cendekiawan plus budayawan diserahi memimpin sebuah ormas seperti NU, masalahnya jadi lain. Sesuai dengan namanya, Nahdkatul Ulama -- kebangkitan para ulama -- dipimpin oleh ulama. Itu artinya, kepemimpinan seseorang akan dijadikan teladan bagi warganya. Sebagai ketua Tanfidziah PB NU, ternyata Gus Dur tak mengganti gaya dan tindakannya. Ia tetap berucap dan bertindak seperti umumnya kaum cendekiawan dan budayawan. Karena itu, ia dianggap bersikap nyeleneh. Sebagai pimpinan NU, ia juga jadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), jadi juri di FFI, membuka Malam Puisi Yesus Kristus, dan mengusulkan agar Assalamualaikum diganti dengan selamat pagi, dan sebagainya. Akibatnya, para kiai sepuh di lingkungan NU marah, sementara banyak jemaah NU yang bingung. Nada-nada sumbang pun mulai berdering. Tentu saja, bila persoalan ini dibiarkan akan menimbulkan keresahan -- di kalangan NU dan umat Islam umumnya -- yang tak berkesudahan. Adalah Robithotul Ma'ahidil Islamiyah (Ikatan Pesantren NU) yang punya rencana jitu. Gus Dur diundang untuk memberi penjelasan soal pikiran-pikiran dan tindakan-tindakannya yang nyeleneh itu. Dialog pun terjadi pada 8-9 Maret 1989, di Pondok Pesantren Darul at-Tauhid, Argowinangun, Cirebon, Jawa Barat. Acara ini dihadiri oleh 200 kiai. Gus Dur Diadili Kiai-kiai berisi dialog di Argowinangun itu. Ia juga mengungkapkan beberapa pemikiran Gus Dur tentang Agama, Politik, Negara, Ideologi, Kemiskinan, Sastra, Parpol, dan lain-lain. Ada kesan, buku ini dipersiapkan untuk menyongsong Muktamar Ke-28 NU di Krapyak, Yogyakarta, untuk memberikan informasi tentang "kenyelenehan" Gus Dur, agar Gus Dur bisa terpilih kembali dalam Muktamar. Itu terlihat dari banyaknya salah cetak, meski ada dua orang penyuntingnya. Herry Mohammad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus