SESUDAH BERSIH DESA Penulis: Satyagraha Hoerip Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta, 1989, 176 halaman KUMPULAN cerita pendek Sesudah Bersih Desa karya Satyagraha Hoerip (lahir di Jawa Timur, 7 April 1934) berisi 13 cerita pendek. Jadi, bukan 14 sebagaimana kata pengantar penerbitnya. Dua cerpen terakhir memakai label bonus, "digarap dengan gaya surealisme", tulis penerbitnya. Dalam Sore Itu -- cerpen pertama -- kita dihadapkan pada nasib Camat Prabowo di zaman romusha. Dia dihajar oleh tentara Jepang karena tidak menyerahkan tujuh orang romusha. Untuk tindakannya yang patriotik itu, ia dihadiahi siksaan yang membuat istrinya berdoa: "Kiranya bangsa Indonesia lekas-lekas saja merdeka...." Cerpen itu tak memberikan apa-apa, kecuali suasana Jawa, alam pedesaan, dan masa perjuangan. Plus kecermatan seorang jurnalis yang bawel merekam semua percakapan sehari-hari. Lalu bagaimana? Mungkinkah ini semacam kayonan di dalam pertunjukan wayang. Sekadar kulo nuwun sebelum dalang menukik? Makanan "pemancing lapar" dalam menu masakan Eropa? Dalam cerita kedua, Mbah Untung, penulis menunjukkan kemahirannya menyusun plot. Mula-mula kita dibuai dengan berbagai ilustrasi yang menunjukkan mata seorang jurnalis. Tentang lelaki yang melakukan perjalanan ke pedalaman dan butuh tukang pijit. Kita hampir-hampir terjerumus untuk mendahului apa yang hendak diceritakannya. Tetapi kemudian kita cukup terpukau ketika Mbah Untung, tukang pijit yang hari itu hanya diberi uang kecil -- karena hendak diuji keteguhannya, dengan harapan esoknya akan diberi persenan yang layak -- ternyata mati ditabrak truk gandeng bernomor polisi L. Setelah itu, muncul cerpen Sesudah Bersih Desa, yang memikat dan saya anggap terbaik dalam kumpulan ini. Tentang Sadermo yang mimpi menjadi Aswatama ketika menyusup ke kubu Pandawa sesudah perang Bharatayuda selesai, untuk memenggal kepala Banowati. Kita tak tahu apa yang akan terjadi, karena kita disibukkan oleh persoalan sawah dan perkara pudarnya kejantanan Sadermo. Tiba-tiba lelaki itu berjalan mencari istrinya dengan membawa arit. Kita ikut deg-degan. Lalu menduga ia akan membunuh orang lain yang disangkanya istrinya yang berkhianat. Ternyata, penulis tak main-main. Itu benar istrinya. Tragis dan mengharukan. Dalam hampir semua cerita, penulis menarik kita ke dalam panorama Jawa. Ada tembang-tembang dan nama-nama tokoh dari dunia perwayangan. Buku ini memang menjual suasana. Masalah sosial bercampur dengan masalah-masalah individu, yang diceritakan dengan spontan dan santai. Mengherankan, bagaimana penulis yang hidup di Jakarta -- dan pernah menjadi seorang wartawan -- masih dapat menceritakan semuanya itu dengan tempo "Jawa". Kecermatan dan perhatiannya pada detail menarik. Meskipun kadang kala kita harus bersabar karena penulis jadi menikmati sendiri berbagai ilustrasinya. Penulis kawakan ini bercerita dengan fasih, sering penuh humor. Seperti orang bercakap-cakap dengan temannya. Spontan dengan memakai bahasa yang akrab, kadang kala nyangkut kata-kata bahasa Inggris dan Jawa. Cerita-ceritanya pun jadi terasa intim. Kita dibawanya duduk tenang dan mendengarkan semuanya dengan sabar. Dalam Kenalan di Awang-Awang, tokoh cerita bertemu dengan seseorang yang tampak begitu anti-kepincangan di Indonesia. Dia berkowar tentang perlunya hukuman mati buat mereka yang sudah korupsi sampai 700 juta. Tetapi ketika sampai di bandara Changi, Singapura, orang itu sudah ditunggu polisi untuk diborgol, guna menebus dosanya memanipulasi 16 juta dolar Amerika di sebuah bank asing. Ini cerita biasa. Tapi sebagai ide ia amat kuat mengepalkan opini penulis, bahwa yang paling keras berteriak maling, ternyata paling belepotan. Dua cerita dalam bonus: Beruang-Beruang dan Sketsa-Sketsa, adalah usaha unjuk gigi. Penulis seperti ingin membuktikan bahwa ia tidak hanya sibuk dengan tema realistik dan panorama manusia Jawa. Ia pun mulai melepaskan dirinya dari bumi dan bercerita seperti orang mimpi. Surealistik? Berbeda dengan cerpen-cerpen Danarto yang kita kenal sebagai penulis yang surealistik itu, kedua cerpen bonus Satyagraha tidak meyakinkan. Yang menonjol baru ide-ide dan gaya yang belum saling mendukung. Sesudah Bersih Desa menunjukkan, Satyagraha sebagai penulis cerpen belum "pensiun". Ia masih bergelora. Ia berusaha memberikan sentuhan "lokal" pada khazanah sastra kontemporer Indonesia yang konon dianggap "terasing" ini. Dengan bahasa dan ungkapa-nungkapan yang santai, ia menunjukkan bahwa seorang sastrawan tak lapuk oleh usia. Hanya keinginannya untuk menulis apa yang dinamakan "sastra terlibat" kadang kala terasa sebagai "pekik dan teriakan". Padahal, cerita-ceritanya mengingatkan kita: yang maling kuat berteriak maling, sebenarnya maling belepotan. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini