Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Rehal-Putu Setia

Pengarang: Slamet Suseno Jakarta: Gramedia, 1984. (bk)

1 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI KUTU SAMPAI KE GAJAH Oleh: Slamet Soeseno Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1984, 213 halaman BUKU ini bukan kumpulan kisah Jenaka. Tetapi cerita Slamet Soeseno - pensiunan pegawai tinggi Departemen Pertanian dan pernah menjadi asisten ahli di IPB - tentang dunia binatang akan membuat Anda tersenyum-senyum bahkan mungkin terpingkal-pingkal. Yang dituliskannya adalah, binatang yang tidak asing bagi kita: nyamuk kacoak belalang ayam. Hanya saja begitu membaca buku ini kita seperti baru saja mengenal binatang yang tiap hari kita lihat itu. Kumpulan artikel pendek dunia fauna ini yang sebelumnya dimuat majalah bulanan intisari dikelompokkan menjadi empat bagian: kelompok serangga kelompok ikan kelompok burung, dan kelompok binatang yang dilindungi. Setiap binatang yang dibicarakan selalu disertai asal usul, kemudian kebiasaan binatang itu anatomi tubuhnya pengembangbiakannya sampai kepada cara matinya. Kalau ia binatang bermanfaat dimakan atau dijadikan peliharaan diberikan Slamet Soeseno cara memeliharanya bahkan cara memasaknya untuk hidangan di meja makan. Tetapi jika binatang itu musuh manusla nyamuk misalnya diberikannya teori membasminya. Cara Slamet Soeseno membuat perbandingan amat memikat - penuh gurau. Untuk menceritakan rumah siput misalnya ia mempersilakan pembaca memilih: bagi mereka yang berkiblat ke arah makan-makan rumah siput diandaikannya nasi tumpeng. Atau seperti payudara bagi mereka yang berorientasi ke arah itu (halaman 22). Slamet Soeseno yang mendapat hadiah terbaik Yayasan Buku Utama (1978) dalam buku ini juga "meluruskan" apa yang selama ini seolah-olah menjadi "pengetahuan" masyarakat. Burung kenari misalnya, tak ada hubungan dengan pohon kenari. Burung ini ternyata dari Kepulauan Kanari di repas pantai Afrika Barat. Demikian pula tangkur buaya yang sampai kini di daerah terpencil dianggap alat kelamin buaya jantan dan dijadikan jimat ternyata ikan kili-kili (Syngnathoides biaculeatus). Dan kenapa scgerombolan gajah bisa mengamuk di Sumatera? Dari sekian dalil yang disuguhkan Slamet, ada satu hal yang menarik: gajah bisa mengamuk karena sudah tua dan sakit-sakitan. Jadi bukan gajah sehat yang menunjukkan kejagoannya. Di samping itu tentu ada sebab lain. Misalnya habitatnya dimasuki manusia yang merusakkan ketenteraman gajah. Yang menyebabkan buku ini enak dibaca walau penuh nama-nama Latin adalah cara Slamet membuat perbandingan. Ia, misalnya bercerita tentang telinga- belalang yang letaknya di dekat lutut kaki depan. Bagaimana kalau mereka berdiskusi atau ngobrol? "Ia tidak memanjangkan leher (yang memang tiada) tetapi menjulangkan pahanya seperti model foto dalam majalah syuuur itu. Dan ia menikmati lagu walang kekek dengan dengkul " tulis Slamet. Bagaimana mungkin kita tak tersenyum? Sebelum membaca isi kita sudah dihadang judul-judul yang keorisinilannya hanya bisa ditandingi Srimulat. Misalnya Gajah sebagai Pemilu, Pawai Kaum Belalang, Muktamar Kaum Berbulu, atau yang ini lebih seram Skandal Seks Kaum Belut. Kita tertawa dan pengetahuan pun bertambah. Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus