Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mencari teori yang pas

Pengarang: m. amien rais et al. yogyakarta: plp2m, 1984 resensi oleh: farchan bulkin. (bk)

1 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRISIS ILMU-ILMU SOSIAL Dalam Pembangunan di Dunia Ketiga Oleh: Dr. M. Amien Rais et al Penerbit: PLP2M, Yogyakarta, 1984, 207 halaman. BUKU ini yang merupakan kumpulan karangan dan wawancara mungkin bisa dinilai pertanda semakin kuatnya kesadaran ilmuwan sosial akan adanya krisis ilmu sosial di Indonesia. Usaha mencari susunan dan bentuk krisis ilmu sosial serta kemungkinan menghadapinya tak diragukan lagi memang merupakan usaha yang rumit dan pelik. Sadar akan kesulitan itu penyunting dengan rendah hati menilai buku ini sebagai "kumpulan tulisan mengenai soal-soal yang sedikit banyak menyinggung keberadaan ilmu-ilmu sosial dalam kaitannya dengan penyesuaian kaidah-kaidah ilmiah pada perubahan lingkungan realitas sosial" (halaman ix). Sekalipun tidak komprehensif dan tuntas menukik pada persoalan krisis ilmu sosial buku ini telah menunkap beberapa dimensi pokok krisis ilmu sosial. Pemikiran-pemikirtan alternatif - yang selalu kuat dirasakan keperluannya dalam situasi krisis - oleh penyunting dirasakan bisa dicari dengan pertanyaan-pertanyaan pokok misalnya soal penjiplakan konsep Barat, struktur sosial dan sejarah kekuasaan serta statusquo dan tentunya peranan ilmu sosial dalam masyarakat dan politik (halaman x). Tidak semua penyumbang sembilan ilmuwan sosial secara langsung membicarakan krisis. Toety Herati Noerhadi dan P.N. Usman Tampubolon hanya membicarakan metodologi dan matematisasi ilmu sosial. Amien Rais yang juga memberikan Kata Pengantar mengedepankan krisis sebagai persoalan pemilihan terhadap mazhab liberal dan Marxis yang "akhir-akhir ini mendapat pasaran di Dunia Ketiga" tapi "tidak banyak relevansinya dengan masyarakat Indonesia" dan banyak mengandung kelemahan (halaman 10, 22--24). Soedjatmoko mengetengahkan dimensi lain: ilmu pengetahuan telah terbentur pada masalah yang tidak dapat diatasi dengan hanya berpegang pada kaidah-kaidah yang dihasilkannya sendiri. Ilmu pengetahuan memerlukan kerangka referensi di luar dirinya sendiri terutama yang menyangkut masalah etis nilai budaya serta masalah yang berhubungan dengan hayat dan umat manusia (halaman 101 -102). Krisis ilmu sosial menurut Hidajat Nataatmadja tidak hanya terjadi di Indonesia atau di negara sedang berkembang. Dalam skala global juga terjadi di Barat. Dikemukakan oleh Hidajat sumber krisis ilmu sosial terletak pada pemaksaan penggunaan ilmu obyektif untuk dipakai mempelajari manusia sebagai subyek halaman 128). Chris Manning satu-satunya ilmuwan asing yang memberikan sumbangan dalam buku ini, menilai keterbelakangan andil ilmu sosial disebabkan kaum intelektual tidak begitu bebas menyuarakan aspirasi mereka. Kebebasan yang mereka miliki semu sifatnya. Faktor lain: banyak konsep ilmu sosial yang diterapkan di Indonesia sangat ahistoris dan juga asosia terlepas dari proses sejarah bangsa Indonesia dan struktur sosial yang ada (halaman 178-179). Sehubungan dengan yang dikemukakan Chris Manning Arief Budiman lebih jauh melihat bahwa berkuasanya teori modernisasi di Indonesia merefleksikan - di satu pihak - "kenaifan" ilmuwan sosial Indonesia serta ketidakbebasan nilai ilmu sosial, dan - di lain pihak - bagaimana "ilmu sosial cenderung untuk mendukung sistim pemerintah yang ada yang menguntungkan sekelompok orang di dalam masyarakat" (halaman 155-156). Penciptaan kondisi sosial ekonomi yang menguntungkan ekspansi kapitalisme negara maju telah membawa Arle kepada kesimpulan bahwa: "Dalam pengertian inilah teori modernisasi menjadi semacam imperialisme intelektual yang membuat kaum terpelajar di negara-negara terkebelakang bukan saja tidak menentang ekspansi kapitalisme dunia ke negerinya sendiri, mereka bahkan menganggap bahwa ekspansi itu merupakan harapan negeri mereka untuk keluar dari kemiskinan. Karena itu mereka mengelu-elukan kedatangan modal dan bantuan asing" (halaman 164). Identifikasi krisis yang berbeda tentu membawa ilmuwan sosial untuk menawarkan jalan keluar dan alternatif yang berbeda pula. Amien Rais menawarkan suatu sikap untuk "open-minded dan electic, yaitu terbuka dan selalu mencari dan mengambil apa yang paling baik dan paling cocok dari aneka ragam teori yang ditawarkan" (halaman 29). Hidajat Nataatmadja setelah memberikan refutasi terhadap dogma-dogma yang mendasari sams kontemporer menawarkan agama dengan keyakinan bahwa "agama merupakan ilmu subyektif yang haq". Beberapa bentuk sintesa antara dogma-dogma ilmu pengetahuan kontemporer dan agama antara lain berpegangpada etika agamawi yang bisa dijabarkan dalam bentuk ideologi dalam batas-batas konsensus sosial agama menjadi satu dengan sains sains mulai dari keyakinan agamawi sains menegakkan verifikasi kebenaran agamawi dan kemampuan sains terbatas karena pengenalan diri dalam arti spiritual tidak bisa dijangkau melalui metodologi sains melainkan dengan ritus agamawi (halaman 36). Jika Soedjatmoko menyinggung kebangkitan "teori kritis" sebagai aliran yang menyangkal obyektivitas ilmu-ilmu sosial, Ignas Kleden menawarkan itu sebagai jalan keluar. Ignas mengemukakan tiga jenis kritik teori: kritik empiris kritik epistemologis dan kritik ideologis. Usaha menegakkan lembaga kritik teori sebagai pemecahan kemacetan ilmu sosial mungkin akan lebih saling membantu dengan pengusahaan peta bumi ilmu sosial Indonesia. Peta bumi diharapkan bisa menghindari situasi di mana "banyak karya-karya ahli ilmu-ilmu sosial kita baru pada taraf komentar-komentar pendek" dan bukan "sebuah teori yang utuh lepas apakah teori itu merupakan teori yang orsinil atau cangkokan" (halaman 160). Penyebab situasi ini, menurut Arief, adalah karena ketidakterbukaan mengenai asumsi-asumsi yang dipakai dalam komentar-komentar pendek itu. Pendeknya peta bumi ilmu sosial merupakan peta asumsi. Dengan peta bumi ini juga bisa diharapkan kita akan bisa lebih tegas dalam menghadapi ilmu sosial Indonesia dan bisa mengetahui kemajuan serta kemundurannya. Arief menambahkan perlunya dicoba pendekatan struktural untuk mengungkapkan aspek baru dari persoalan yang kita hadapi - dengan catatan bahwa pendekatan ini memang tidak menguntungkan kepentingan luar negeri yang menanamkan modalnya di negara terkebelakang dan tidak disukai pemerintah yang berkuasa. "Karena dia mempertanyakan kembali sistim sosial yang ada yang sudah memapankan pemerintah yang ada" (halaman 168). Beberapa hal kiranya baik untuk dicatat. Dilihat dari segi perabaan adanya persoalan atau krisis dalam ilmu sosial, buku ini patut disambut. Tetapi dari segi pembeberan pencarian struktur dan esensi krisis ilmu sosial buku ini mungkin masih merupakan tahap awal. Pencarian struktur dan esensi krisis mungkin hanya bisa dilakukan melalui penilaian yang komprehensif dan mendalam mengenai peranan dan perkembangan ilmu sosial pada aman modern di Dunia Ketiga dan di Eropa serta Amerika - suatu hal yang tidak muncul dalam buku ini. Teori modernisasi dan teori-teori liberal hanya ditinjau ketidakcocokannya dengan Indonesia, tetapi tidak dipersoalkan apakah teori-teori itu juga cocok di Eropa dan Amerika. Munkin kesadaran yang perlu dikembangkan adalah bahwa krisis ilmu sosial tidak hanya terjadi di beberapa tempat tetapi terjadi di hampir seluruh kawasan dunia. Farchan Bulkin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus