KEMISKINAN DI PERKOTAAN Penyunting: Dr. Parsudi Suparlan Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1984, 284 halaman KOTA adalah permukiman yang penuh paradoks, karena warganya saling berebut kepentimgan. Akibatnya, kota bukan saja menjadi tempat konsentrasi kekayaan dan kekuasaan, tetapi juga menjadi tempat konsentrasi terbesar penduduk yang hidup dalam tinkat kemiskinan mutlak. Dan kemiskinan itu tidak hanya diukur dari segi ekonomi, melainkan juga dari segi kebudayaan dan kejiwaan. Antropolog Oscar Lewis dalam buku ini, misalnya, menjabarkan pola-pola kelakuan dan sikap yang ditunjukkan orang miskin, sehingga terbentuk sebuah "kebudayaan kemiskiman". Juga diuraikan hubungan antara kota, yang disiapkan bagi permukiman orang berharta, dan kemiskinan sebagai sisi gelap kota yang, kalau dilihat dari jendela etalasenya, serba gemerlapan. Digambarkan pula cepatnya proses urbanisasi - tentang rakyat yang hidup sulit di desa dan ternyata melarat ketika bermukim di kota - yang menciptakan - kelas ekonomi kuat dan kelas ekonomi lemah dalam mayoritas. Empat dari tujuh karangan dalam bab akhir buku ini memuat hasil penelitian kehidupan orang miskin di Pulau Jawa. P. de Kat Angelino, misalnya, menguraikan bagaimana kehidupan buruh batik yang dililit rantai utang. Hidup dalam utang telah membawa implikasi corak hubungan sosial antara majikan dan buruh (halaman 141), tingginya timgkat gadai-menggadai harta. Bagaimana mengukur tingkat kemiskinan seseorang? Sosiolog Sayogyo mengukur miskin dengan beras (240 kg per tahun untuk orang desa, dan 360 kg per tahun untuk orang kota), tapi Parsudi Suparlan, antropolog yang juga penyuntimg buku ini, mengukurnya dari "rasa miskin" ketika seseorang membandingkan kehidupannya dengan orang lain. Meski beberapa tulisan kurang relevan dengan situasi sosial Indonesia (misalnya tulisan Elliot Liebouw), buku ini baik disin-3k, terutama untuk mereka yang menekuni masalah perkotaan. Sayangnya, tak ada penelitian dan sudut kota, sepertl tidak efisiennya birokrasi kota dan mengapa sumber daya kota lebih banyak melayani kaum elite. Juga mengapa sektor informal tidak pernah mendapat perlakuan sama dengan sektor formal. Padahal, di situlah letak sumber ketimpangan yang paradoksal sifatnya. Toeti Kakialatu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini