Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menelusuri jejak lewat prasasti

Pengarang: nia kurnia sholihat irfan jakarta: girimukti, pasaka, 1983 resensi oleh: boechari. (bk)

13 Oktober 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERAJAAN SRIWIJAYA Oleh: Nia Kurnia Sholihat Irfan Penerbit: PT Girimukti Pasaka, Jakarta, 1983, 154 halaman SEJARAH Kerajaan Sriwijaya memang merupakan topik menarik untuk dibicarakan. Telah berpuluh sarjana membahas berbagai segi kerajaan itu. Tetapi masih saja banyak masalah yang hingga kini menimbulkan pertentangan pendapat para ahli. Hal itu, antara lain, disebabkan kurangnya sumber untuk penulisan sejarah Kerajaan Sriwijaya apabila dibandingkan dengan rentang waktu eksistensinya - dari abad ke-7 s/d ke-12. Lain dari itu, penafsiran sumber-sumber tersebut sendiri sering kali menimbulkan berbagai permasalahan. Prasasti yang biasanya merupakan sumber utama tidak banyak jumlahnya, dan itu pun tersebar secara sporadis dalam beberapa kurun waktu. Yang terbanyak dari akhir abad ke-7 Masehi, seperti Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talang Tuo (684 M), Prasasti Kota Kapur (686 M). Dari abad sesudahnya tercatat Prasasti Bawang atau Hujung Langit (997 M), Prasasti pada arca Lokanatha dari Gunung Tua, Tapanuli (1024 M), dan prasasti pada sebuah makara dari Solok Sipin, Jambi (1064 M). Peninggalan candi yang penting ialah kelompok Candi Muara Takus dan Muara Jambi. Tapi, masalahnya, penanggalannya hingga kmi belum terpecahkan dengan memuaskan. Selain itu, ada juga beberapa prasasti mengenai Kerajaan Sriwijaya yang terdapat di luar Indonesla. Yaltu Prasastl Llgor A (775 M), Prasasti Ligor B dan Prasasti Nalanda dari pertengahan abad ke-9 M, serta beberapa prasasti dari raja-raja Cola di India dari abad ke-ll M. Berita-berita dari Arab dan Cina, yang juga merupakan sumber luar negeri amat penting, membawa permasalahan sendiri pula. Dalam berita-berita Arab pada abad ke-9 sudah muncul kerajaan yang disebut Zabaj dan Sarbaza atau Sribuza. Kedua nama itu diidentifikasikan sebagai Sriwijaya, sekalipun Zabaj sebenarnya merupakan transkripsi dari Jawaka. Sayang, berita-berita Arab itu banyak yang berasal dari sumber kedua. Lain halnya dengan berita-berita Cina. Berita-berita itu kebanyakan dibuat para pendeta Cina yang, dalam perjalanan dari Cina ke India atau sebaliknya, singgah dan berdiam beberapa waktu di Sriwijaya. Selain itu, berita-berita tentang Sriwijaya juga di buat para pejabat yang mencatat keterangan utusan Kerajaan Sriwijaya yang datang ke Cina. Dengan demikian, berita-berita itu sering akurat. Kesulitan yang dihadapi sejarawan ialah dalam merekonstruksikan nama orang, tempat, atau kerajaan, dan melokalisasikannya. Stanislav Julien pernah menulis karangan tentang metode merekonstruksikan lafal asli nama-nama itu. Tetapi metode itu sering tidak dapat dipakai, karena yang dipergunakan sebagai dasar adalah nama-nama yang terdapat dalam naskah-naskah Cina yang merupakan terjemahan dari naskah keagamaan bahasa Sansekerta. Contohnya, nama yang ditransliterasikan dengan lafal Mandarin menjadi MoHo-sin, menurut sejarawan lain, B. KarIgren, lafal kunonya ialah muok-xa-sien. Kemungkinan rekonstruksinya ialah Mukhastn. Bertolak dari situ kami akan memberikan beberapa catatan atas karya Nyonya Nia Kurnia Sholihat Irfan. Pertama-tama mengenai lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya. Dalam hal ini, Prasasti Telaga Batu, yang berisi persumpahan terhadap barang siapa yang mendurhaka terhadap raja Sriwijaya, memberi petunjuk yang kuat. Karena di antara yang mendapat ancaman itu putra mahkota, pejabat tinggi sipil dan millter, penguasa daerah, dan para abdi raja, maka prasasti itu tidak boleh tidak berdiri di suatu tempat keramat di ibu kota kerajaan - tidak jauh dari istana raja. Dengan perkataan lain, selama Prasasti Telaga Batu itu berfungsi, pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Palembang. Tetapi apakah selamanya ada di Palembang? Tidakkah seperti halnya kerajaan kuno lain, baik di Asia Tenggara Daratan maupun Kepulauan Nusantara, pusat kerajaan itu berpindah-pindah karena berbagai sebab? Apakah kota berbenteng (wanua), yang dibuat Raja Dapunta Hiyang sebagai ibu kota kedua Kerajaan Sriwijaya adalah Palembang perlu dipermasalahkan iagi. Sekalipun masuk akal bahwa kota itu merupakan lokasi Prasasti Kedukan Bukit ditemukan, toh perlu dicatat bahwa tidak ada yang tahu pasti tempat asal prasasti itu. Juga penafsiran lokasi Minanga, tempat Dapunta Hiyang bertolak dengan tentaranya, amat menentukan dalam masalah pusat Kerajaan Sriwijaya. Mengenai lokasi Minanga, Nia - sebagaimana Prof. Slametmuljana - lebih condong menempatkannya di Binanga - di sekitar Sungai Barumun. Tetapi argumentasi yang dlkemukakannya tentang perubahan ma menjadi ba menyalahi kaidah ilmu linguistik. Padanan awalan mar dalam bahasa Melayu kuno ialah me dalam bahasa Indonesia sekarang. Jika Nia mengemukakan pentingnya daerah Binanga dengan menunjuk adanya biaro-biaro di daerah Padang Lawas, hal itu merupakan anakronisme. Sebab, biaro-biaro itu, seperti dapat disimpulkan dari prasasti-prasasti di daerah tersebut, berasal dari abad ke-12 sampai ke-14 M. Dalam kaitan pusat Kerajaan Sriwijaya kiranya perlu ditinjau lagi tafsiran nama Sanfo-ch'i. Nia rupa-rupanya condong mengikuti pendapat Slametmuljana bahwa Sanfo-ch'i merupakan transkripsi dari Suwarnabhumi. Bahwa san merupakan transkripsi dari suwarna, yang diucapkan swarn dan kedengaran san, saya harap hanya Slametmuljana sajalah yang mempercayainya. Juga tanda bunyi ch 'i (Mandarin) tidak mungkin merupakan transkripsi dari mi, karena lafal kunonya ialah dz'iei yang merupakan transkripsi paling tepat untuk jaya. Seyogyanya San-fo-ch'i ditafsirkan sebagai "Tiga [Sri] wijaya". Dengan kata lain, di zaman Dinasti Sung dan Ming, ada tiga tempat yang dianggap sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya. Catatan lain adalah mengenai hubungan Kerajaan Sriwijava dengan Dinasti Sailendra. Yang pasti ialah sejak pertengahan abad ke-9, dimulai dengan Raja Walaputradewa, sampai sekurang-kurangnya abad ke-11, raja-raja Sriwijaya dari wangsa Sailendra. Cakal bakal dinasti ini ialah Dapunta Selendra dari Prasasti Sojomerto. Catatan terakhir adalah tentang rekonstruksi nama dalam berita-berita Cina. Sebaiknya kita menggunakan dasar lafal kuno - antara lain dalam buku Grammata serica recensa, hasil rekonstruksi B. Karlgren - sebagai pegangan. Jadi, Mo-ho-sin, misalnya, mesti kita kembalikan dulu kepada lafal kunonya, Muok-xa-sien, yang merupakan transkripsi dari Mukhasin atau mungkin Bekasm. ARGUMENTASI Nia melokalisasikan Mo-ho-sin di pantai barat Pulau Bangka kurang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang jelas, kita tidak dapat mengambil Mo-ho-nya saja dari nama Moho-sin, lalu menganggapnya sebagai transkripsi dari moha. Juga kata moha (Sanskerta) tidak sama artinya dengan "bangka" itu dapat dilihat dari kamus bahasa Sanskerta atau Jawa kuno untuk kata moha, dan kamus umum bahasa Indonesia untuk bangka. P'o-huang memang dapat direkonstruksikan menjadi Bawang. Tetapi jangan lantas dihubungkan dengan Prasasti Bawang atau Prasasti Hujung Langit di daerah Sekalaberak (dalam buku ini secara konsisten dieja Sekalabekhak, saya kira ini pengaruh informan yang cedal). Sebab, prasasti itu bukan prasastl persumpahan. Sejarah Kerajaan Sriwijaya memang belum dapat diceritakan dengan jelas dan tuntas, karena masih banyak data arkeologis yang terpendam di dalam tanah. Antara lain, terbukti dari temuan sisa-sisa bangunan bata di daerah Lahat, temuan situs permukiman yang penuh kereweng lokal dan pecahan keramik Cina di sebuah areal HPH dekat Palembang, temuan sisa-sisa bangunan bata di luar kompleks Candi Muara Takus. Saya harap Nia masih akan sempat menyempurnakan buku ini dengan data dan pendekatan baru. Boechari Epigraf dan dosen arkeologi Fisipol Universitas Indonesia, Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus