Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rendra dan panggung yang melebar

Ws rendra bersama "bengkel teater" mementaskan "panembahan reso" di istora senayan selama 7 jam. menunjukkan dudukan ruang tambahan bagi kehidupan teater kita terasa menjadi teguh. (ter)

6 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Indonesia, pertunjukan drama untuk sepuluh ribu penonton sekaligus adalah mungkin. Ketika Rendra mementaskan Panembahan Reso di Istana Olah Raga Senayan, Jakarta, Kamis dan Jumat pekan lalu, kedudukan ruang tambahan bagi kehidupan teater kita itu terasa menjadi teguh. Itu sebenarnya sudah dimulainya dengan membawa Mastodon dan Burung Kondor, dan kemudian Sekda, di tempat yang sama beberapa tahun lalu. Namun, bila kedua pementasan itu terasa -- berdasar cirinya masing-masing -- masih berada dalam periode kampanye Rendra sebagai "tukang protes", pergelaran Panembahan Reso kelihatan seperti bagian yang lebih murni dari kehidupan seni sendiri. Rendra seperti dengan sadar berusaha melebarkan wilayah Taman Ismail Marzuki. Dan usaha ini dimungkinkan, tentu saja, oleh "popularitas sospol" seniman ini itulah bekal yang mampu menggiring sekitar 7.000 dan 8.000 penonton di malam-malam pertama dan kedua ke hadapan panggungnya. Tak apa. Rendra memang kelihatan sadar betul akan kehausan sebagian publiknya: bagian pertama pertunjukannya dimulai dengan dialog-dialog yang, antara lain, seperti ini: "Negara kacau. Rakyat hidup dalam kemiskinan. Kejahatan merajalela, baik di kalangan rakyat maupun pejabat. Inilah saatnya Anda mengambil alih kekuasaan". Herankah Anda, bila tepuk tangan gemuruh ? Tepuk tangan itu berasal dari bagian-bagian atas gedung -- kelas penonton paling murah, dengan karcis Rp 3.000-an. Merekalah yang, rasanya selalu menanti-nanti lubang untuk bertepuk dan satu dua kali berteriak. Dan dengan menerima umpan seperti itu, seakan sebagai jaminan identifikasi Rendra dengan mereka, bagian publik yang cukup besar ini selanjutnya patuh dan rela untuk tenggelam. Tenggelam di dalam apa? Di dalam alur cerita. Dan ini adalah cerita yang kekuatannya tidak terletak pada semangat protes. Ini cerita tentang perebutan kekuasaan yang biasa, yang menarik karena penuh klik dan penuh intrik. Sebagian penonton memang masih bisa mengharap "yang tidak-tidak", tapi yang sebenarnya memukau mereka adalah daya pikat sebuah cerita silat. Ketika sang raja sudah 85 usianya, dan sangat yakin akan stabilitas kekuasaannya demikian kisahnya, tiadanya persiapan regenerasi yang memadai memungkinkan bangkitnya perpecahan diam-diam. Ini ditopang oleh ketidakpuasan para adipati oleh situasi parah rakyat di daerah-daerah dan kesukaan Raja untuk hanya mendengarkan laporan positif. Salah seorang dari mereka, Panji Tumbal, dengan membawa janji tak resmi rekan-rekannya (termasuk Panji Reso, tokoh utama) untuk memilih tindakan yang sama, memulai memberontak. Raja yang terkejut, mengirimkan tiga putranya untuk menumpas -- dan mengenakan kepada para adipati yang lain, yang kebetulan sedang di Ibu Kota, status tahanan kota. Penahanan itu diusulkan oleh Ratu Dara, salah seorang istri Baginda, agaknya sebagai tindakan ambil muka. Ia mengharapkan agar putranya, Pangeran Rebo, cepat atau lambat naik tahta. Ia tahu bahwa Raja tidak menyukai si Rebo yang kefilosof-filosofan dan sekaligus dungu, dan diam-diam memilih Pangeran Bindi, saudara Rebo dari ibu lain, yang sedang ditugasi memimpin penumpasan Tumbal. Tapi ketidaksukaan kepada Bindi -- yang bengis dan berwatak penindas -- tak hanya ada pada pihak Ratu Dara dan Rebo, melainkan juga menjangkiti dua adik kandung Bindi sendiri, Gada dan Dodot. Untuk memukul Bindi, Tumbal harus dibikin kuat, kata mereka. Dan pergilah mereka -- bersama dua pangeran lain dan pasukan dengan maksud bergabung dengan pemberontak, setelah menerima janji Panji Reso untuk mendukung. Calon raja mereka: Pangeran Gada. Dan siapakah calon raja pilihan para adipati? Di bawah Reso, akhirnya mereka mencanangkan Rebo, yang kebetulan pangeran tertua. Dan bertemulah Panji Reso dan Ratu Dara dalam cita-cita -- selain di tempat tidur. Reso, berikutnya, memberikan kepada Ratu surat Pangeran Gada kepada para adipati, yang isinya mengajak mereka bergabung dengan pihaknya sembari mendukung Tumbal. Surat itu, yang tadinya diminta Reso dari Pangeran Gada sebagai penguat untuk "meyakinkan para adipati", dipesankannya kepada Ratu untuk dihunjukkan kepada Raja. Dan reaksi Raja persis seperti yang mereka harap. Baginda menjadi dekat dengan Ratu Dara dan para adipati, menghapuskan status tahanan kota mereka yang tersebut terakhir itu, dan mengirimkan orang untuk menebas kepala empat pangeran yang sebenarnya sedang menunggu kedatangan Reso dan kawan-kawan. Tetapi Raja, yang sebenarnya baik hati, sudah hancur jiwanya oleh tindak pembunuhannya kepada putra-putranya sendiri itu dan oleh tindakan yang diambil istrinya yang lain, ibu para pangeran itu, yang membunuh diri. Dalam keadaan Baginda yang mabuk berat, tugas melenyapkannya tinggal diserahkan kepada seorang wanita pembunuh bayaran -- yang sebelumnya telah ditugasi Reso untuk membunuh istri Reso sendiri, setelah sang istri berusaha meracun Reso lantaran "tak tahan melihat ambisi suami tercinta". Raja mangkat. Rebo naik tahta. Reso kawin dengan ibunya, dan dialah kini sang panembahan. Dan, jauh di pedalaman, Pangeran Bindi terpukul. Bukan teruama oleh kematian ibunya, apalagi pemenggalan kepala adik-adiknya, melainkan karena direbutnya hak mahkota yang diyakininya sebagai miliknya. Dibantu dua saudaranya dari lain ibu, yang selama ini menjadi stafnya dalam melawan Tumbal (yang sudah bisa dipatahkannya, kemudian dicincangnya setelah menolak bekerja sama), Bindi dan tentaranya kini melanda desa-desa dan lurus menuju Ibu Kota. Di Ibu Kota sendiri Panembahan Reso memperoleh hasil yang lain: di depan para adipati, ia bisa mempertontonkan betapa lucunya tingkah raja baru yang pandir itu, yang membuat semua sangat kecewa. Ratu Dara, dalam pada itu, bergolak jiwanya. Ia tak hanya malu oleh kualitas san putra. Ambisinya sendiri, bersama berahinya kepada kekuasaan dan kekerasan, mendorongnya untuk, akhirnya, membunuh raja yang muda itu -- sambil berharap ia sendiri menggantikannya dengan Reso, suaminya, sebagai pendamping. Sang raja roboh oleh keris ibu sendiri. Dan sang ratu, terhuyung-huyung oleh kegemparan dalam dirinya, dibunuh oleh Panji Sakti, orang paling dekat dan kawan intrik utama sang panembahan. Tidak seorang yang tidak setuju. Mereka bahkan lebih dari setuju untuk mendapat sang panembahan sebagai raja pengganti sementara orangnya sendiri bergaya memperingatkan bahwa yang paling berhak naik tahta sekarang, sebenarnya, justru Pangeran Bindi. Lagak lagu itu tak dimaksud terlalu lama, enu. Reso digandeng, didudukkan di tahta. Perintah-pcrintah kesiagaan perang menumpas Bindi dikumandangkan, dan semua bertelut mengucapkan sumpah setia. Kemudian, sebuah suara tembang perempuan di kejauhan. Dan bayangan-bayangan gelap yang selama ini selalu datang kepada Reso. Tentang istana yang terapung di telaga darah. Tentang Ratu Dara yang menjadi kembar lima dan mencuci rambut di kolam darah. Tentang anaknya, yang ubun-ubunnya bersimbah darah. Monologmonolog, seperti sejak semula. Dan tembang yang redup. Dan tiba-tiba saja perempuan itu muncul. Tiba-tiba saja Panembahan mendekat. Tiba-tiba saja perempuan itu, dalam tembang dan sepenuhnya dalam dunia yang lain, mengangkat tangan dan mengayunkan pisau. Ia adalah Ratu Kenari, wanita dengan kesetiaan tulus kepada negara, ibu dua pangeran anak buah Bindi yang kini bergabung melawan Istana. Panembahan roboh. Juga perempuan itu. Hikmah apakah yang bisa ditarik dari jalinan cerita ini? Mungkin sebuah pandangan muram tentang kekuasaan. Mungkin sebuah kaca benggala. (Tidak percayakah Anda pada kemungkinan ditegakkannya kekuasaan, di mana pun di bumi ini, secara bersih, dan dioperasikan seara bersih? "Saya percaya," Rendra menjawab di luar pentas). Tapi yang lebih penting, inilah pertama kalinya, kalau tak salah, Rendra menghasilkan naskah asli yang terasa bebas dari pamrih. Ia seperti baru pulang dari sebuah tugas lain, meninggalkan apa yang oleh banyak orang dikira sebagai ambisi untuk menjadi empu atau "pusat dunia", menghindari semua asumsi mentah, dan tiba-tiba mendapati kembali -- katakanlah -- kearifan kesenimanan. Dan itulah cerita dengan alur yang kompleks dan kuat -- modal pertama untuk mengikat sebagian besar pengunjung sampai tujuh jam. Dengan dukungan konsep yang selalu sederhana tapi hidup dan kompak dengan pola gerak sehari-hari dan tabuh-tabuhan yang membantu cerita -- yang pada dasarnya merenung-renung dan penuh perundingan -- melaju dengan dinamis, dan dengan penampilan visual yang merupakan modifikasi dari khazanah kisah-kisah lama kita sendiri, kesatuan yang dimunculkan bahkan mengalahkan tuntutan kualitas pemain satu per satu. Orang tahu bahwa Rendra sebagai Reso dan Adi Kurdi sebagai Raja Tua menguasai seluruh gedung dengan penampilan mereka. Di bawah mereka adalah para pemegang peran Pangeran Rebo, Panji Sakti, dan boleh juga Ratu Dara. Orang juga tahu bahwa tokoh istri Reso, misalnya, menunjukkan kelemahan intonasi yang cukup kentara. Tapi orang pun tahu bahwa pemain seperti Nyi Reso diletakkan pada tempatnya: suaranya yang tunggal nada dan memelas bagai pembacaan sari tilawah -- itu acara terJemahan Quran di TVRI -- betapapun telah dipasang pada tokoh yang memang dimaksud menggambarkan cinta dan kelemahan. Pemain adalah bagian. Dan kemampuan organisasi panggung adalah keberhasilannya memadukan aneka bagian. Meski Rendra dan beberapa pemain, di malam pertama, kentara diganggu oleh problem hafalan naskah, dan itu menjadikan tempo menjelang bagian akhir agak terbata. Sudah terbukti: tidak cuma tontonan protes atau yang mewah meriah yang bisa merengkuh tempat seperti Istora, dan dengan begitu mendapat pengunjung yang lebih banyak. Untuk Rendra, dalam pada itu, bisakah dikatakan bahwa hanya "kejutan-kejutan sospol"-nya yang menarik orang, dan bukan nilai pertunjukannya? Naifkah untuk menganggap bahwa setelah seseorang beroleh bekal popularitas, dengan jalan apa pun, masalahnya tinggal kampanye besar-besaran, dan tontonan yang bagus kemudian merupakan jaminan? Ia boleh Rendra, tapi sebenarnya bukan tak ada kemungkinan nama-nama yang lain pula. Apalagi bila memang realistis harapan Rendra -- tentang sebuah drama di Istora (yang bersewa mahal itu) yang tidak usah didukung oleh karcls penonton, melainkan iklan. Bila ada ketidakberhasilan dalam pergelaran kemarin ini, katanya di luar pentas, itu adalah mundurnya para calon pemasang iklan -- dan disebutnya nama beberapa perusahaan besar -- yang mungkin "karena takut". Dengan dukungan iklan, seperti yang -- untuk jenis yang lain -- dinikmati Guruh Sukarno Putra, misalnya, "Saya yakin, karcis sebenarnya bisa dijual hanya beberapa ratus rupiah." Siapa tahu. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus