MENONTON tari adalah mengalami penghayatan yang sedang melintas. Maka, jika tarian itu berarti, sebagian ungkapannya yang terkuat akan mengendap dalam ingatan, dalam perasaan. Inilah yang mungkin terjadi pada kebanyakan penonton yang menyaksikan pertunjukan Retno Maruti bersama kelompok tarinya, Padnecwara, di Taman Ismail Marzuki, 28-29 Agustus. Mereka menarikan "Abimanyu Gugur". Karya ini pertama kali disusun pada akhir 1976, dan merupakan karya perdana yang memastikan tempat Retno Maruti di antara deretan penata tari Indonesia yang terkemuka. Sejak itu, Maruti dengan tegas memperkenalkan seleranya sendiri, yang berbeda dengan para penata tari lain yang sama-sama menggarap kesenian Jawa. Sardono W. Kusumo dan Sal Murgiyanto, misalnya, menggarap perakitan baru dari berbagai gaya ungkap dengan sasaran-sasaran untuk melontarkan surprise. Hampir sejalan dengan itu, para penata tari dari ASKI Surakarta atau dari Pusat Kesenian Jawa Tengah di Solo pun mencari kejutan-kejutan, ditambah pula dengan sifat khas garapan mereka yang umumnya mencari "pemadatan": menolak keberlarut-larutan yang menandai susunan klasik tari Jawa. Berbeda dengan mereka semua, Maruti dengan mantap mencari kedalaman, dan menghidupkan kedalaman rasa itu, yang ditangkapnya sebagai nilai dasar kesenian Jawa. Melalui karya-karyanya dapat dirasakan jiwa yang merdeka. Namun, ia tidak terhanyut dalam gelora sorak sorai orang mencanangkan modernisme. Memang bukan kesan revolusioner yang rupanya ada di hatinya. Ia lebih cenderung kepada ketenangan dan kebeningan. Dan ibarat lubuk yang tenang dan bening, ia justru mampu memperlihatkan apa yang terjadi nun di kedalaman. Maruti lebih banyak jasanya dalam mengasah permata-permata kesenian Jawa menjadi lebih berkilau. Karya-karyanya bertolak dari perbendaharaan seni yang telah menjadi klasik dalam perkembangan kesenian Jawa. Dalam "Abimanyu Gugur" ini ia menggunakan jenis tari bedaya sebagai model dasar. Satu perangkat bedaya dalam tradisi tari Jawa keraton terdiri dari sembilan penari wanita. Untuk "Abimanyu Gugur" Maruti menggunakan dua perangkat bedaya, dengan harapan memperluas kemungkinan komposisinya. Di samping itu, berbeda dengan bedaya yang "normal", di sini penari tidak hanya menari, melainkan juga berolah vokal (nembang), baik secara kelompok maupun individual. Penari dengan tembang individual melambangkan tokoh-tokoh tertentu yang membentuk alur dalam balada ini. Balada tari yang diilhami karya sastra Danarto ini mengemukakan empat kejadian yang merupakan puncak-puncak alur. Sebuah tari pembuka oleh seperangkat bedaya, dengan tata tari yang santai beriringkan ketawang Mijil Wigaringtyas yang hampir-hampir bersuasana senang hati, mengantar ke puncak alur yang pertama, yaitu Abimanyu dan Utari berlaga kasih. Sepasang penari menyatu dalam sejumlah motif tari yang lugas dan pelan, dan ujar kesetiaan ditembangkan bergantian: Abimanyu menyumpahkan kematiannya sendiri. Maka, ramalan nasib buruk pun membayang. Pada puncak alur kedua, seekor katak meloncat dari genangan darah di perkemahan perang, naik ke singgasana Abimanyu. Dalam suasana gusar oleh kejadian itu Abimanyu menerima perintah untuk maju sebagai senapati. Pengantar ke puncak alur kedua itu mampu memberikan kesan dalam. Seperangkat bedaya yang kedua muncul berderet di bagian belakang pentas, di atas dataran hitam yang ditinggikan. Dalam kostum bercitra satria, wiru besar dan selempang perang, dengan tata warna yang dipenuhi selingan merah tipis, mereka mulai menari dengan "memanggil" gending Kinanti Lobong yang menyuarakan suasana keramat dengan tingkahan-tingkahan kemanak-nya. Sementara di pentas bawah perangkat bedaya yang pertama, dalam kostum dodot besar dengan paduan warna merah-dalam dan hitam dengan buntal hijau di depan pinggang -- yang keseluruhan tata bentuknya menyiratkan kewibawaan dan pengabdian -- menari dalam penempatan yang tldak simetris di pentas. Sementara pemandangan itu menyiratkan para pelaku Baratayuda di bawah dan para apsara di atas. Dan di saat-saat lain yang lebih panjang, dengan pilihan gerak-gerak yang serba meliuk dan menggelimpang, keseluruhan penari dalam semburat merah di pentas atas dan bawah itu serasa menghadirkan genangan darah kental yang berpusar di perkemahan perang. Puncak alur ketiga adalah gambaran perang besar di medan Kuru. Para penari menyandang busur. Pada awal adegan, kedua perangkat bedaya dihadapkan sebagai dua pihak. Pada saat-saat selanjutnya kedua perangkat berbaur menjadi keseluruhan peristiwa perang, yang berakhir dengan robohnya Abimanyu dalam kepungan musuh. Dalam penyusunan perang yang beramai-ramai itu tampak Maruti belum memanfaatkan sebaik-baiknya peluang untuk menyusun komposisi dengan garis-garis serta perpindahan-perpindahan kesan secara lebih jelas, sehingga rasa yang ditimbulkannya pun akan dapat lebih mantap. Abimanyu roboh dan tertumpuk bangkai: akhir suatu adegan tari yang halus. Dan ini mengantar kepada puncak alur yang keempat, yang juga merupakan puncak keharuan dalam karya ini. Dalam kegelapan medan yang penuh bangkai, pelan dan sendiri, mendekatlah Sembadra, mula-mula dengan suaranya, kemudian dengan sosoknya. Menyibak tumpukan bangkai, satu demi satu. Dalam Mijil macapat tanpa iringan, ia bertanya, "Mana, anakku yang cakap itu?" Tembang lipuran Arjuna dan tembang pamitan Abimanyu memulihkan suasana dari puncak ketegangan, dan menutup karya tari ini. Dan orang bisa menyempurnakan kenangannya: andai kata semua suara penari sekuat Retno Maruti, dan Mamiek Marsudi. Edi Sedyawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini