Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ditahan, Bukan Tahanan

Polisi tegal memenangkan praperadilan. tapi pertanyaan masih belum terjawab alan meninggal akibat dianiaya polisi atau dikeroyok masyarakat?

6 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYEBAB kematian Alan Siahaan, 27, sampai kini masih teka-teki: akibat dikeroyok masyarakat atau polisi. Tapi yang pasti, Pengadilan Negeri Tegal, Senin pekan lalu, menolak gugatan praperadilan keluarga Mendiang yang menyatakan bahwa Alan mati akibat dikeroyok polisi setelah ditahan secara tidak sah di Polresta Tegal. Menurut hakim, Polresta tidak bisa disalahkan menahan tidak sah, karena secara resmi instansi penyidik itu memang belum pernah mengeluarkan surat penangkapan dan penahanan -- kendati sempat memeriksa dan memasukkan ke sel sebelum korban meninggal. "Korban berada di tahanan Polresta bukan karena ditangkap, tapi diserahkan masyarakat," begitu alasan Hakim Nona Djumirah, yang mengadili perkara praperadilan itu. Lalu tentang kematian korban? Hakim Djumirah tidak berniat mempersoalkannya. Sebab, kata hakim itu, soal kematian bukanlah wewenang lembaga praperadilan untuk mengusutnya. Sebab itu, sampai kini, belum tuntas adakah Polresta bebas dari tuduhan mengeroyok korban. "Memang kemenangan itu tidak berarti penyidikan atas polisi yang menangani kasus Alan dihentikan. Tapi, setidaknya, hasil sidang itu bisa dijadikan bukti bahwa polisi tidak menganiaya korban," ujar Kepala Seksi Penerangan Polda Ja-Teng, Letkol (Pol) Sriyono. Sebaliknya, pihak keluarga korban tetap berkeyakinan bahwa Alan mati akibat dianiaya petugas. Sebab itu, melalui Pengacara Luhut Pangaribuan dan Mas Achmad Sentosa, mereka masih meneruskan pengaduan ke Polda dan Pom ABRI. "Sebab, kami yakin bahwa kematian Alan akibat dianiaya polisi," kata ayah kandung korban, F. Siahaan, purnawirawan Polri. Siapa yang mengeroyok Alan memang bisa menjadi perdebatan panjang. Pemuda bertubuh tegap dan berkulit hitam itu merantau dari kota kelahirannya, Medan, sebagai pedagang bawang antarpulau. Suatu malam, 31 Mei lalu, pemuda lajang itu ditemui dua orang temannya Pieter Simbolon dan Tiko, di bar Hotel Karlita. Konon ketika itu, Pieter menyampaikan persoalan pertengkarannya dengan Encus, pedagang ikan yang juga dikenal Alan, gara-gara soal cewek penghibur. Malam itu juga, sekitar pukul 2.00 dinihari, bersama empat orang lainnya mereka menuju rumah Encus di Jalan Hang Tuah. Tak mereka sangka, Encus, yang kaget didatangi tamu di tengah malam itu, berteriak, "Rampok !" Menurut polisi, orang-orang yang mendengar teriakan itu berdatangan. Komplotan Pieter sempat menghindar, sementara Alan tertangkap, dan dihajar sebelum diserahkan ke polisi. Pukul 9 pagi dalam keadaan sekarat, pemuda itu dibawa ke Rumah Sakit Kardinah. Tapi jiwanya tidak tertolong lagi. Tapi, menurut pihak keluarga, korban diserahkan masyarakat hanya dengan sedikit luka. Di tahananlah tragedi itu terjadi. Pemuda itu dipukuli petugas dan kepalanya dibentur-benturkan ke tembok. Beberapa orang sesama tahanan, kata pihak keluarga Mendlang, menyaksikan kejadian itu. "Seandainya pun Alan memang dikeroyok, seharusnya polisi malam itu juga membawa korban ke rumah sakit bukan memasukkannya ke sel," kata ayah korban, F. Siahaan. Sayang, pengadilan tidak hendak menuntaskan persoalan itu. "Sebab tindakan polisi itu bukan termasuk wewenang lembaga praperadilan," kata Djuminah. Hakim wanita itu juga tidak menganggap polisi salah walau Alan sempat diinteroasi dan dimasukkan ke sel tahanan. "Ia ada di tahanan bukan karena ditangkap polisi, tapi karena diserahkan masyarakat yang menangkapnya dengan tuduhan hendak merampok," kata Djuminah. Keluarga korban tentu saja kecewa dengan keputusan hakim itu. "Keputusan hakim itu benar-benar tidak adil," ujar F. Siahaan yang sengaja datang dari Medan mengikuti sidang praperadilan itu. Ia kecewa karena hakim semata-mata hanya mempersoalkan segi formal saja: sah dan tidaknya penangkapan, tanpa menyinggung-nyinggung soal Alan yang pernah dimasukkan ke sel, juga kasus pemukulan oleh petugas terhadap Alan. Tapi Ketua Pengadilan Negeri Tegal, Soeroto, menganggap bahwa keputusan bawahannya sudah cukup adil. Tentang kekecewaan keluarga Mendiang, kata Soeroto, wajar saja. "Setiap keputusan memang tidak bisa memuaskan kedua pihak," kata Soeroto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus