Malam itu, sembari mengisap rokoknya dalam-dalam, Nano, demikian panggilan akrabnya, menatap panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, tempatya berlatih. Di panggung, ada bangunan dari kayu yang menandai set panggung pertunjukan Opera Ikan Asin telah berdiri: kayu-kayu yang membentuk dua rumah kumuh bertingkat dua dan sebuah penjara. Sesekali, Nano memberi instruksi kepada asistennya, Rita Matumona, untuk memperbaiki tata cahaya. Di atas panggung, ada awak Teater Koma yang selama 22 tahun menjadi organ kehidupan kelompok itu: Ratna Riantiarno, Salim Bungsu, dan Idris Pulungan berseliweran mementaskan saduran dari karya Brecht itu, untuk kedua kalinya.
Dalam soal tata artistik dan tata cahaya, Nano memang agak "cerewet". Properti panggung, Nano ngotot harus menggunakan prop yang diinginkan. "Saya menyampaikan kepada Ratna, saya tidak mau properti itu hanya terdiri dari imaji saja. Dan saya juga tidak mau efisien dalam pementasan ini. Misalnya saya minta kursi antik, harus ada. Saya minta dibuatkan patung kuda, ya, harus ada," tutur Nano, tegas.
Tentu saja ada yang istimewa dalam pementasan Opera Ikan Asin kali ini, selain ongkos produksinya sebesar Rp 150 juta dengan sponsor yang tak terlalu ramai di zaman krisis moneter seperti ini. Hal yang istimewa itu adalah the return of Nano on stage: Nano kembali manggung. Meski dari pementasan dua pekan itu ia hanya akan bermain sebanyak dua kali. Ini sangat istimewa karena pada pertunjukan Opera Ikan Asin pertama pada 1983, Nano bukan hanya menunjukkan dirinya sebagai seorang pimpinan teater yang andal, tapi juga seorang aktor yang sangat luwes dalam menguasai panggung. Dan, pada saat itu, nama Teater Koma mulai menanjak hingga ia menjadi sebuah kelompok teater yang memiliki kedudukan yang unik dalam dunia kesenian di negeri ini.
Teater Koma memang fenomenal. Dia lahir dari "rahim" dua ibu, yakni Riantiarno yang berasal dari Teater Populer, pimpinan Teguh Karya; dan Ratna Madjid, yang berasal dari Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer. Teater Koma, sebagai "putra" dari perkawinan kedua tokoh teater ini—yang menikah pada 1978, setahun setelah Teater Koma lahir—kemudian menjadi buah hati yang melejit bagai meteor di dunia panggung. Bermula dari pementasan Rumah Kertas yang sukses besar dengan penonton "full-house", Nano kemudian melanjutkannya dengan pementasan-pementasan berikutnya, yakni Maaf, maaf, maaf; J.J; Bom Waktu, dan Opera Kecoa, yang segera menggegerkan penonton berduit di Jakarta. Harga karcis yang "wajar" dicatut oleh para pencatut hingga ratusan ribu, tetapi toh penonton bersedia membelinya. Inilah fenomena yang jarang, atau bahkan tak pernah dialami teater lain.
Tampaknya Teater Koma menjadi sebuah saluran rasa frustrasi warga Indonesia yang lelah dengan opresi Orde Baru. Pada masa jaya inilah, Teater Koma kemudian mengurus diri menjadi kelompok yang profesional dalam arti manajemen. Artinya, mereka mencoba menggaji awaknya dengan jumlah yang cukup untuk zamannya. Namun, menurut Nano, Teater Koma tetap merupakan teater paguyuban yang tak sepenuhnya menerapkan manajemen modern yang rigid. Nano dan Ratna tidak ingin setiap pemain bermain hanya karena uang. Perbedaan gaji tiap pemain ditentukan oleh kontribusi dalam pertunjukan dan senioritas. Penggajian dilakukan secara terbuka. Di tempat latihan—dulu di kawasan Setiabudi, kini di Bintaro—terdapat sebuah papan putih yang menjelaskan posisi pemasukan dan pengeluaran. "Teater Koma bisa bertahan 22 tahun karena perpaduan antara yang modern dan paguyuban," tutur Nano. Mungkin karena kombinasi itulah, Teater Koma, yang semula beranggota 12 orang pada 1977, beranggota 200 orang saat ini, ditambah lagi 400 anggota tak tetap.
Tentu saja, menjadi anggota Teater Koma tak berarti harus berseliweran di atas panggung. Nano menunjuk Sari Madjid, salah satu pentolan Teater Koma yang kini merangkap sebagai Manajer Panggung Teater Koma, misalnya, yang kini sangat dikenal sebagai manajer yang andal. "Kini, jika orang bertanya siapa stage manager yang paling baik di Indonesia, orang akan menyebut nama Sari Madjid. Dia sekarang sering dipakai oleh pertunjukan dari luar negeri," tutur Nano dengan nada bangga. Kebanggaan itu juga terlihat dari sosok Nano karena kelompoknya mampu bertahan, kompak, tahan banting, meski selama 22 tahun itu banyak dicaci oleh kritikus dan kalangan teater sendiri karena dianggap "berselera rendah", "terlalu verbal", "jorok", atau "vulgar". Tetapi saat Teater Koma mengalami serangkaian pelarangan—dan yang terbesar adalah peristiwa pelarangan drama Suksesi pada 1990—ia tetap dibela oleh para seniman, termasuk mereka yang mencaci pementasannya. Pelarangan demi pelarangan menyebabkan Nano capek. Dia diam, dan untuk waktu yang cukup lama mengumumkan untuk "merenung". Orde Baru saat itu masih centang perenang dengan kukunya, dan Nano berhenti bertapa dan mementaskan drama-drama yang "serius" seperti RSJ atau The Crucible karya Arthur Miller.
Opera Ikan Asin, yang disadur dari karya Brecht, memang sebuah pentas ulang, meski kemudian Nano memberikan sentuhan kontekstual dengan memasukkan persoalan bank-bank di masa kini (baca: Kemudian Opera Teater Koma). Tetapi, ia adalah sebuah hasil perenungan seorang Norbertus Riantiarno.
Leila S. Chudori dan Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini