PEMENTASAN yang buruk, kata sebuah buku panduan penyutradaraan, bisa diselamatkan naskah yang bagus. Pementasan yang sukses, dengan naskah jelek, akan tidak memberikan sesuatu yang lebih berharga daripada yang sudah disebut.
Itu karena konsep estetika si penulis buku (terbitan New York awal 1960-an) memandang ''sesuatu yang berharga" berhubungan dengan sebuah kearifan besar, kesadaran akan suatu keagungan, baik dari peristiwa seperti yang digerakkan takdir, yang pembangunannya dalam plot membimbing publik memasuki katarsis_yang dalam tragedi didapat lewat pembinaan rasa haru sampai ke puncak.
Per naskah, wisdom seperti itu mewujudkan dirinya dalam kalimat-kalimat yang di luar pementasan biasanya lalu menjadi ''mutiara-mutiara hikmah". Contoh mudahnya: karya Shakespeare. Contoh kurang mudah: karya ''realistis" Faulkner, Ibsen, Tennessee Williams, dan siapa lagi. Mereka melibatkan emosi dan merangsang pikiran—menawarkan katarsis dan ''kebijaksanaan".
Tapi itu ''kuno", kata Grotowsky. Dari tokoh eksperimen 1960-an dalam progresi aktif ini tidak bisa diharapkan toleransinya kepada sikap bergantung pada naskah yang benar ada repetoar. Kemudian akting—yang, sebagai bukan usaha menghidupkan watak, tidak lagi berada dalam kungkungan ''realisme" Stanislavsky dan Boleslavsky.
Bisa dipahami, dengan begitu, bila katarsis juga bukan katarsis lewat jalan tradisional. Atau sama sekali bukan katarsis. Dan hanya untuk soal kedua ini—dan bukan naskah—sebagian teater garda depan beroleh sosok gurunya pada Bertolt Brecht, yang salah satu naskahnya dipentaskan Teater Koma dengan apiknya.
Brecht (Jerman, 1899-1956) memang tokoh antikatarsis. Dan Teater Koma sangat mengerti. Pementasannya, Threepenny Opera, yang oleh Nano Riantiarno disadur menjadi Opera Ikan Asin, adalah sebuah suguhan yang bukan saja tidak mengundang orang menentukan sikap, tetapi juga tidak menginginkan mereka terlibat secara emosional. Ada sebuah jarak—seperti yang kita rasakan di antara kita dan para pelawak, yang diisi keakraban tapi bukan pemihakan. Bedanya, di panggung bukan sekumpulan besar lelucon, melainkan hidup.
Hidup yang penuh kasak-kusuk. Hidup para pengemis dan juragan para pengemis. Hidup seorang bandit yang diceritakan baik hati (oleh para pelacur), seorang gadis putri bos pengemis yang jatuh hati kepada si jagoan yang banyak pacar, dan akhirnya ''menikah dengan meriah", di sebuah gudang, dengan hadirin beberapa anak buah dan dengan hadiah barang-barang colongan atau rampasan, seorang komisaris polisi yang korup dan kawan dekat si benggolan, yang selalu berusaha—dan pernah berhasil—menghalangi penangkapan rekannya itu oleh anak buahnya sendiri, para polisi anak buah yang juga serakah, yang tindakannya menyebabkan lepasnya sang tahanan dari kurungan.
Yang berusaha keras agar si jagoan digantung adalah si bos pengemis (pemilik perusahaan Juselormis, ''Juru Selamat Orang Miskin", koordinator semua peminta-minta dengan pemotongan penghasilan mereka) karena kemarahannya kepada percintaan putrinya dengan si begundal tukang todong dan tukang perkosa yang sudah pula punya istri yang lain (kedua istri sempat bertemu, di depan sel sang suami).
Lalu ada pelaksanaan hukuman gantung. Tapi juga ada, akhirnya, utusan Gubernur Jenderal (ya, cerita bermain di Batavia zaman Hindia Belanda) yang, dari punggung kuda, di depan tiang gantungan, membacakan pengumuman. Isinya: pengampunan kepada si penjahat, pemberian tunjangan rutin sekian gulden, pengangkatannya sebagai anggota Volksraad, dan hadiah rumah di Depok, Jawa Barat.
Mestinya semua itu kritik sosial. Dan mestinya penonton marah: pemerasan orang melarat, korupsi, dan seterusnya. Kritik memang ya. Apalagi tekanan yang diberikan sutradara dan penyadur, Riantiarno, menyesuaikan diri dengan satu perkembangan aktual di Tanah Air. Ini dinyanyikan beramai-ramai oleh si gadis yang, sepeninggal si bajingan yang ditahan, bersama anak buah suaminya mengambil alih perusahaan gelapnya dan bermaksud mendirikan bank.
Kita akan menjauhi kejahatan
Ya, kita harus mendirikan bank
Untuk itu kita perlu uang
Apabila masih juga kurang
Tak ada salahnya kita mencuri
Semua bank didirikan atas asas ini
Tapi pengungkapan hidup yang bisa dirasakan berada di panggung paling-paling sebuah ledekan. Penonton tertawa, gerrr, tertawa berkali-kali. Mestinya pengampunan di saat akhir itu membangkitkan pemberontakan mereka. Tapi tidak. Seperti kata Tukang Celoteh, yang berdiri di luar dan di dalam bangkai:
Kisah ini berakhir dengan bahagia
Yang ditonton yang baik-baik
Orang kaya tak suka cerita yang sedih
Dan itu khas Brecht. Jangan jatuh ke dalam emosi atau terperangkapnya dalam sikap. Ini kumpulan ironi. Hidup sebenarnya menggelikan juga, tetapi bukan komedi. Brecht, memang, seperti juga ditulis dalam buku programa, sering memenangkan justru pihak yang jahat. Inilah ''teater obyektif" itu—yang juga tanpa sedikit rasa pahit, bahkan seandainya kita mampu menangkap semua kata yang dinyanyikan bersama dengan melodi-melodi datar, yang menjadi penyeling jalan pikiran atau peningkah progresi.
Tapi, bila tanpa didengar jelas pun tontonan ini memikat, yang sedang bergerak di panggung adalah sebuah teater dewasa. Dan Brecht memberikan bahan yang pas benar dengan karakter grup yang ringan, cekatan, dan ''antikatarsis", dengan penguasaan medium yang untuk ukuran kita selesai.
Di situ kekuatan datang dari dua pihak: naskah dan pemanggungan, yang mana pun yang pantas disebut lebih dulu. Seperti juga ketika mereka mengubah pendekatan terhadap takhayul Opera Ular Putih Cina yang sedianya tragis (1994), teks yang bagus menelurkan hasil yang bulat dan tidak pincang seperti bila kemampuan penguasaan medium disuplai oleh karangan sendiri—atau oleh hasil saduran yang terlalu sarat dimuati kehendak kritik sosial, seperti pada sebagian pementasan Teater Koma tahun-tahun lalu.
Tapi itu problem umum dunia kesenimanan kita. Bukan masalah struktur atau dramaturgi, untuk teater. Tetapi, yang ditangkap telinga—hal yang menyebabkan buku penyutradaraan itu (saya lupa penulisnya) bicara tentang ''naskah yang bagus". Pada kita, untuk sebuah grup yang matang, yang mungkin terjadi adalah belum matangnya sikap yang menjadi ibu kandung pelahiran seni, khususnya bila itu dicerminkan oleh kritik—yang bisa sangat kocak, namun mentah. Orang boleh saja mempertimbangkan tradisi berpikir kita, sebagai bangsa, yang masih teramat muda dan tanpa kegemaran menukik. Maka yang muncul, dari segi substansi, baru kesimpulan-kesimpulan pertama. Memang, ini problem teater naskah.
Syu'bah Asa, Pengamat Teater
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini