DI negeri ini, tubuh berjatuhan seperti tanpa harga di tanah yang penuh darah. Tapi sekumpulan roh tetap melindungi mereka...," tulis Clara Del Valle dalam buku hariannya. Buku harian itu menjadi sebuah dongeng panjang, mengisahkan perjuangan mereka yang kini hanya tinggal sekumpulan roh. Itulah novel The House of the Spirits. Karya sastrawan Cili, Isabelle Allende, yang sudah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa ini dianggap sebagai magical realism, realisme magis. Itulah sebuah novel yang mengaburkan batas antara mimpi dan realitas, sejarah dan dongeng, imajinasi dan kenyataan. Untuk memindahkan novel semacam ini ke sebuah film epik, dibutuhkan tangan sekaliber Bille August, sutradara Denmark, murid sutradara terkemuka Swedia, Ingmar Bergman. Meski Allende hanya menyebut "sebuah negara antah-berantah di Amerika Latin" sebagai seting, peristiwa politik yang digambarkannya menyiratkan itu adalah Cili. August, sesuai dengan novel Allende, memulai film dengan adegan Blanca Trueba (Winona Ryders) membaca buku-buku harian ibunya, Clara (Meryl Streep). Melalui penuturan buku harian itu, kita memasuki tahun 1920-an, ketika Clara kecil, putri keluarga kaya raya Del Valle, yang cantik, lincah, dan pandai meramal itu mengagumi kekasih kakaknya, Esteban Trueba (Jeremy Irons). Sayang sekali, Rosa, kakak Clara, meninggal dunia. Esteban kemudian bekerja keras, dan ia sukses menjadi tuan tanah kaya raya, berpengaruh, dan memiliki banyak kekasih. Esteban mengawini Clara, dan membuahkan Blanca. Dengan cerdiknya, Allende (yang adalah keponakan Presiden Cili, Salvador Allende, yang tewas terbunuh) mulai memasukkan warna politik ke dalam kisahnya. Esteban terpilih sebagai senator sayap kanan. Celakanya, putrinya sendiri, Blanca, berhubungan diam-diam dengan Pedro, seorang petani pemberontak. Ketika angin politik mulai memihak kaum kiri, Esteban terpojok. Kaum petani menang, seorang presiden baru terpilih. August, yang pernah memenangkan Oscar di Academy Award dan Palm D'Or Festival Film Cannes untuk film Pelle the Conquerer dan Best Intentions, adalah satu dari sedikit sutradara Eropa yang mampu meringkas sebuah roman sastra yang begitu panjang, kompleks, dan banyak karakter ke dalam film yang menarik. Visualisasi kisah yang berlatar pemberontakan ini tidak terjebak pada eksploitasi darah. Adegan-adegan yang sebetulnya menyiratkan kekerasan, misalnya Esteban memerkosa pekerjanya atau ketika Blanca disiksa oleh rezim militer, dibuat sehalus mungkin. Kepiluan itu ditampilkan dengan close-up raut wajah mereka yang tertindas. Lalu, Clara dan adik iparnya, Ferula (Glenn Close), yang nyaris menjadi sepasang lesbian, digambarkan dengan cara yang humoristis: sang pastor kelabakan ketika Ferula membuat sebuah pengakuan tentang fantasinya terhadap tubuh kakak iparnya. Perjalanan periode tahun 1920-an hingga tahun 1970-an, saat Cili mengalami pergolakan politik yang fluktuatif, dipancarkan melalui pendirian politik keluarga Trueba yang tercerai-berai. Esteban bersikukuh menganggap kaum kanan bisa bekerja sama dengan militer untuk mengembalikan stabilitas. Clara, istrinya, berperan sebagai seorang "bidadari" yang menyadarkan suaminya yang naif dalam membaca peta politik. Putrinya, Blanca, dan sang kekasih, Pedro, terus setia pada revolusi petani. Anak tiri Esteban, hasil perkosaan, bergabung dengan militer dan menjadi salah satu pemimpin kudeta. Ketika pemerintah sayap kiri pimpinan Salvador Allende jatuh (dalam film, nama pemimpin tidak disebut), angin berbalik arah. Ternyata, keadaan darurat menjadi sebuah situasi abadi yang menyenangkan bagi pihak militer. Saat itulah Esteban, yang hak istimewanya sebagai senator dicabut rezim militer, menyadari ketololannya. Akhirnya, semua tersiksa di bawah rezim militer. Tapi roh-roh menjadi sumber semangat untuk melawan penindasan. Ketika Blanca hampir sekarat disiksa dan diperkosa kakak tirinya yang menjadi pemimpin rezim militer, roh Clara pun datang. "Janganlah berharap untuk mati, karena kehidupan membutuhkanmu. Hidup adalah keajaiban yang patut disyukuri," kata Clara sambil mengusap luka-luka putrinya. Dan Blanca membuka matanya, mencoba untuk tetap hidup. Roh di sini tidak diperlakukan sebagai hantu. Ketika roh orang mati datang mengunjungi keluarganya, adegan itu dibuat seolah-olah itu adalah kunjungan manusia biasa, dan terjadi dialog biasa. Maka, ketika roh Clara, roh Ferula, dan mereka semua yang sudah mati datang mengunjungi bumi, keajaiban itu terasa karena suasana keharuan yang timbul dalam adegan pembicaraan antara mereka yang mati dan yang hidup. Realitas dan mimpi, imajinasi dan kenyataan, berbaur menjadi satu. "Karena kekuatan roh itulah...," tulis Clara dalam buku hariannya, "maka yang masih hidup akan terus hidup dan meneruskan perjuangannya."Leila S.Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini