Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Saat Sonata Membelai Batavia

Di tempat-tempat elite Batavia, abad ke-19, orkes mengalunkan musik klasik Barat. Sebuah periode Eropanisasi di tanah Jawa.

5 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu hari pada tahun 1917. Nikolai Vorvolomeyev, anggota Leningrad Philharmonic Orchestra, Rusia, memutuskan tak kembali ke negaranya selepas konser di Hong Kong. Kampung halamannya adalah negeri yang diroyan revolusi: kekuasaan berpindah dari kelompok pro-Tsar ke kaum proletar, Oktober 1917. Bersama beberapa orang rekannya, pemain selo itu lari ke Hindia Belanda dan terdampar di Batavia.

Nikolai melupakan kampung halaman, tapi tak melupakan musik. Bersama seniman-seniman musik Belanda, antara lain Ivone Baarspoel, ia berusaha mendirikan orkes simfoni. Usaha panjang itu berbuah. Pada 1942, Batavia Philharmonic Orchestra lahir dengan 40 pemain Belanda dan Rusia. Orkes ini tumbuh menjadi salah satu yang terbesar di Asia masa itu. "Bahkan sudah bisa disejajarkan dengan orkes simfoni yang ada di Eropa," kata pengamat musik Suka Hardjana.

Batavia Philharmonic pimpinan Ivone Baarspoel adalah sebuah tonggak sejarah perkembangan musik klasik di Indonesia. Tapi itu bukanlah perkenalan pertama negeri ini dengan musik klasik. Ketika Inggris menguasai tanah Jawa (periode Raffles, 1811-1816), Batavia kota yang memiliki slogan "Beauty, Music and Wine." Waktu itu, musik klasik menjadi bagian acara makan malam di rumah-rumah kalangan menengah atas.

Raffles memang berupaya mengubah gaya hidup masyarakat Indies. Ia lalu mengembangkan tata cara masyarakat Eropa dalam semua aspek kehidupan di Hindia Belanda. Dalam pesta-pesta makan malam, etiket Eropa dibangun: para suami berdampingan dengan istri-istrinya (tak terpisah, seperti sebelumnya); pesta adalah satu kesempatan untuk mengenakan pakaian terindah, mendengarkan pembacaan puisi, dan menikmati resital musik.

Java Government Gazette, mingguan milik pemerintah Raffles yang terbit di Batavia, 6 Februari 1814, mereportase satu acara ulang tahun Ratu Inggris yang dirayakan masyarakat Eropa di Yogyakarta: "Tepat pada pukul 8 malam acara tarian rakyat dimulai. Dibantu dengan selingan minuman, acara ini berlangsung hingga tengah malam. Setelah makanan dihabiskan, lagu-lagu yang baik dimainkan untuk mengiringi acara pemberian selamat yang patriotik kepada anggota keluarga kerajaan dengan minuman yang ditenggak dengan antusias. Pesta ini kemudian dilanjutkan dengan acara berdansa yang meriah di ruang dansa hingga matahari terbit keesokan harinya."

Tak disebutkan jenis musik pengiring dansa itu. Tapi pada masa itu kegiatan musik mencakup pelbagai konser. Pengamat musik Franki Raden dalam sebuah artikelnya di TEMPO mencatat beberapa kelompok orkes yang giat berpentas. Kegiatan musikal itu kian marak ketika di Batavia berdiri Military Bachelor Theater (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) pada 1814. Sejak saat itu, Raffles berhasil mengubah kegemaran para wanita Indies dari bermain kartu menjadi mendengarkan musik.

Dalam artikel yang sama, Franki melukiskan perkembangan menarik: mata pelajaran musik dimasukkan ke sekolah-sekolah khusus perempuan; Java Government Gazette memuat iklan lowongan bagi pemusik profesional, khususnya untuk pemimpin orkes, posisi dengan tugas melatih, menyutradarai, dan menulis komposisi untuk orkes. Franki Raden mencatat nama John White, pemimpin The His Majesty 14th Regiment Orchestra di Semarang. Ia memperoleh uang dengan mengorganisasi konser yang khusus memainkan musik mereka—periode baru ketika komponis Haydn, Mozart, dan Beethoven mendapatkan penghasilannya sendiri.

Kelompok musik semakin banyak. Aneka instrumen berikut partiturnya dijual bebas. Instrumen yang paling banyak dijual di pasaran adalah barrel organ dan pianoforte. Pada masa itu, instrumen piano di Eropa merupakan sebuah simbol status masyarakat kelas me- nengah. Instrumen ini biasanya dijual bersama-sama dengan barang-barang mewah. Periode ini adalah periode booming-nya industri piano. Dan saat itu komponis juga banyak membuat karya untuk piano, khususnya untuk jenis musik ringan, seperti mars, rondo, dan lagu militer yang digarap dalam bentuk variasi. Nah, jenis musik itu juga populer di Jawa, terutama karena sering dimainkan dalam peristiwa sosial.

Begitulah. Ketika Inggris hengkang dari tanah Jawa pada akhir 1816, kebiasaan itu berlanjut, menjadi budaya masyarakat kolonial Belanda. Perkembangan musik klasik yang drastis terjadi pada 1910-1930, saat mulai dibangunnya stasiun radio. Saat itu, hampir di setiap provinsi ada stasiun radio—yang kemudian menjadi cikal-bakal Radio Republik Indonesia (RRI). Nah, setiap stasiun itu kemudian marak mendentingkan musik klasik. Menurut Suka Hardjana, kegiatan utama Batavia Philharmonic sendiri dilakukan lewat corong radio seminggu sekali—di samping menggelar konser di sejumlah tempat di Batavia.

Setelah Proklamasi, lebih-lebih sesudah penjajah angkat kaki, Batavia Philharmonic tak kedengaran lagi. Pergelaran orkes yang mengusung musik klasik mulai sepi. Lalu, sekitar tahun 1950, muncul dua orkes baru: Orkes Radio Jakarta dan Orkes Studio Jakarta. Dengan pemain semuanya asing, sebagian besar mantan anggota Batavia Philharmonic, Orkes Radio mengkhususkan diri di jalur musik klasik. Orkes ini dipimpin Henk te Strake. Sedangkan Orkes Studio, yang dipimpin Jos Cleber, memainkan musik klasik ringan dan musik hiburan (pop). Para pemainnya blasteran antara pribumi dan asing.

Kedua orkes itu bertahan lama. Orkes Radio bertahan hingga 1960. Setelah Henk te Strake, tampil orang Indonesia, Lim Kek Tjiang, memimpin orkes ini. Orkes Radio bubar pada awal 1960, bersamaan dengan pelarangan musik "ngak-ngik-ngok" oleh Bung Karno. Sedangkan usia Orkes Studio Jakarta lebih panjang. Orkes ini bertahan sampai sekitar 1972 dan beberapa kali mengalami pergantian pemimpin. Setelah Jos Cleber, tampil Syaiful Bachri, Iskandar, Isbandi, dan Soetedjo memimpin orkes itu. Yang disebut belakangan kemudian memimpin Orkes Keroncong Jakarta.

Menurut Suka Hardjana, sebetulnya sepanjang 1970-an, selain Orkes Studio Jakarta, bermunculan orkes yang mengusung musik klasik. Ia sendiri, misalnya, mendirikan Orkes Ensembel Jakarta pada 1972. Orkes yang diperkuat 14 pemain itu khusus memainkan musik klasik. Dan orkes ini menjadi satu-satunya orkes musik klasik yang main di luar studio radio. "Hingga sekarang, secara institusi masih ada, tapi tidak eksis lagi," ujar Suka, salah satu pemain klarinet cukup andal, diplomatis.

Setelah terbakarnya gedung Studio V RRI, yang getol mengadakan konser, pada Juli 1985, pergelaran orkes musik klasik benar-benar vakum. Para penggemar musik kelas berat ini hanya bisa menikmatinya lewat rekaman, seperti piringan hitam, kaset, dan compact disc, atau sesekali lewat tayangan televisi, atau melalui siaran sejumlah radio yang masih setia mengudarakan acara musik klasik.

Orkes musik klasik mulai dipopulerkan kembali pada Juni 1991, saat muncul Twilite Orchestra. Dikomandani Addie M.S., Twilite Orchestra mencoba mendentingkan musik orkestrasi. Selain Twilite Orchestra, orkes sejenis bermunculan. Sebut saja orkes yang dipimpin Erwin Gutawa, Purwatjaraka, dan yang terakhir Andi Rianto. Hanya, kalau mau jujur, musik yang mereka usung cenderung ngepop.

Nurdin Kalim, Arif Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus